Kebijakan penghentian sementara (moratorium) izin di hutan dan lahan gambut segera berakhir Mei 2015. Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memberikan kepastian kebijakan ini berlanjut tetapi tampaknya asal copy paste dari kebijakan lama, alias tak ada penguatan. Koalisi masyarakat sipil menilai, kondisi itu berbahaya bagi hutan alam negeri ini. Merekapun mendesak pemerintah melanjutkan moratorium dengan beberapa catatan perbaikan.
Teguh Surya dari Greenpeace Indonesia mengatakan, sampai revisi terakhir peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) November 2014, hutan dan lahan di Indonesia masuk kawasan moratorium sekitar 63,8 juta hektar. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hutan tak terlindungi seluas 42,8 juta hektar.
“Ini sisa hutan dan lahan gambut yang lupa diselamatkan. Total cukup besar. Komitmen Jokowi itu harus jadi ruh bagi perpanjangan moratorium. Kalau hanya copy paste dan hanya teruskan warisan SBY tanpa nilai tambah, ruh komitmen itu hilang,” katanya di Jakarta, Kamis (26/3/15).
Dari hasil analisis Greenpeace, kala moratorium diperpanjang tanpa penguatan, maka bersiap-siap 5,7 juta hektar hutan berpotensi hilang. Kawasan seluas ini, katanya, merupakan wilayah-wilayah hutan yang terbebani izin empat konsesi dan tumpang tindih serta masuk moratorium. “Kalau hanya perpanjangan komitmen, review perizinan tak ada, kawasan itu akan hilang. Ini konsekuensi pertama, 5,7 juta hektar hutan alam dipertaruhkan.”
Greenpeace juga membuat skenario kedua, kalau-kalau moratorium tak diperpanjang atau terlambat perpanjangan, selain 5,7 juta hektar, kata Teguh, maka tambah lagi kawasan alokasi penggunaan lain dan hutan produksi konversi dalam moratorium seluas 4,3 juta hektar akan lenyap.
Dia yakin, saat ini sudah banyak pemerintah daerah yang bersiap-siap menandatangani izin andai moratorium ada jeda waktu sedikit saja. “Gubernur-gubernur nakal itu sekarang menunggu. Kalau 13 Mei tak ada tanda-tanda perpanjangan, mereka akan tanda tangan izin,” ujar dia.
Sisilia Nurmala Dewi, dari Devisi Advokasi dan Kampanye HuMA mengatakan, niat awal ada moratorium untuk memperbaiki tata kelola hutan primer dan lahan gambut. Jadi, tolak ukur, moratorium selesai jika ada perbaikan tata kelola. Namun, katanya, sampai saat ini dia tak paham, sejauh mana tata kelola itu berjalan.
Padahal, katanya, seharusnya, ada laporan kepada publik mengenai apa saja yang sudah dilakukan terkait upaya penyempurnaan tata kelola ini, misal soal satu peta (one map). “Hingga, kami masyarakat sipil bisa memantau. Seharusnya, ada jelas, perbaikan tata kelola itu sampai tahap mana? Perpanjangan berapa lama? Perlu berapa? Harus ada bayangan, harus ada perencanaan baik.”
Dia menilai, penting bagi Jokowi menetapkan satu organisasi tertentu tak harus di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai vocal point pertanggungjawaban moratorium ini.
Koalisi, katanya, melihat dasar hukum moratorium lewat instruksi presiden (inpres) tak terlalu kuat untuk nilai kebijakan yang begitu penting. “Sekarang itu inpres bersifat peraturan individual yang kongkrit. Tapi call tujuan ini besar. Maka, buat perkuat itu penting misal dengan perpres hingga mengikat atau peraturan pemerintah karena mencakup banyak sektor,” ujar Sisilia.
Koalisi juga menyoroti pasal pengecualian dalam inpres moratorium agar dihapus. Yakni, mengecualikan izin-izin yang sudah keluar sebelum kebijakan moratorium ada, dan wilayah buat ‘kepentingan nasional’. Alhasil, yang terjadi tiap enam bulan revisi PIPIB kawasan hutan masuk moratorium berkurang.
Soal penyempurnaan tata kelola, katanya, pemerintah diminta segera kaji ulang (review) izin-izin konsesi di kawasan hutan. Namun, katanya, jangan hanya berhenti pada review perizinan, penting juga, pemerintah membuat sistem agar berbagai masalah, seperti tumpang tindih, konflik dan lain-lain tak terjadi lagi.
Mereka juga mengusulkan agar perlindungan, pengakuan dan penguatan hak dan ruang kelola masyarakat adat/ lokal. Yakni, memperjelas tatacara pengakuan hak dan membangun mekanisme resolusi konflik sumberdaya alam.
Koalisi juga mendesak, agar pemerintah mengawali pembaharuan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam khusus kehutanan, untuk mendukung perbaikan tatakelola selama periode moratorium. Termasuk, katanya, aturan-aturan terkait lingkungan hidup diselesaikan, misal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). “Ini penting buat agenda penyempurnaan tata kelola.”
Begitu juga soal resolusi konflik. Menurut dia, tak ada sama sekali instruksi atau mandat soal resolusi konflik dalam inpres. “Bicara penyempurnaan tata kelola hutan tak lepas dari penyelesaian konflik.”
Untuk itu, mereka berharap, moratorium tak hanya diperpanjang tetapi diperkuat dengan memasukkan resolusi konflik. “Mungkin ini peluang lebih besar karena ada penggabungan kementerian dan ada Menteri Agraria. Kami ingin inpres SBY itu dilihat kembali. Kelemahan-kelemahan itu diperbaiki,” ucap Sisilia.
Tak jauh beda dikatakan M Kosar dari Forest Watch Indonesia. Dia menyoroti selama masa moratorium, revisi PIPIB seolah-olah hanya buat pemanfaatan bukan perlindungan hutan. “Dari analisis kami kehilangan hutan alam, sudah capai 4,6 juta hektar dan 1,1 juta hektar di wilayah PIPIB. Ini yang tantangan besar buat Jokowi,” katanya.
Dia juga mempertanyakan capain perbaikan tata kelola dalam masa moratorium. “Capaian gak jelas. Siapa lakukan apa, itu gak jelas. Ini yang harus segera dilakukan Jokowi, perjelas semua.”
Masalah penting lagi, kata Kosar, hutan alam di luar PIPIB sangat luas dan harus diselamatkan. FWI menilai, banyak hutan alam yang secara ekologis sangat penting, terutama di pulau-pulau kecil tetapi tak masuk moratorium. “Seperti hutan alam di Aru, tak masuk moratorium padahal secara ekologis miliki peranan penting.”
Tak pelak, di penghujung 2014, sebelum lengser, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, masih sempat mengeluarkan peta indikatif arahan buat pemanfaatan hutan di Kepulauan Aru.
“Ini yang semestinya jadi perhatian bagi pemerintah saat ini buat tunjukkan keseriusan dalam melindungi hutan.”
Dia juga melihat, kebijakan saat ini, masih melihat ekosistem hutan alam secara integral, hanya hutan primer alam, hutan sekunder diabaikan. “Padahal, ini penting jadi hal yang perlu diselamatkan,” katanya.
Tak jauh beda dengan Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional. Dia mengatakan, hutan negeri ini sudah mengalami eksploitasi selama empat dekade dari 1970 an sampai 2015, maka perlu istirahat buat pemulihan.
Kebijakan moratorium, katanya, semestinya bisa menjadi obat jika jeda sementara ini benar-benar menjadi momentum pemulihan lingkungan hutan bukan hanya istirahat.
Sayangnya, kata Zenzi, moratorium belum berjalan efektif dalam menyelamatkan hutan Indonesia. Karena, selama empat tahun kurun dalam waktu moratorium, masih terjadi proses penerbitan izin buat hutan tanaman industri seluas 1,1 juta hektar.
Dari 2011-2014, ada proses pelepasan kawasan hutan seluas 7,8 juta hektar, di tujuh provinsi. “Setelah dicek di lapangan, kebanyakan kalau tidak konsesi buat kebun ya tambang. Artinya, moratorium izin tak terjadi dalam empat tahun terakhir. Karena masih ada proses penerbitan izin.”
Padahal, katanya, kebijakan moratorium SBY ini merupakan inisiatif baik. Namun, tak berjalan efektif karena masih berbasis waktu dan wilayah tertentu. “Moratorium itu akan efektif kalau dalam masa itu ada target akan dicapai, misal di satu provinsi target tutupan hutan sekian, maka izin di provinsi itu harus berhenti. Kalau kawasan hutan berkurang maka ada review. Jadi, ada langkah-langkah jelas.”
Menurut dia, moratorium efektif jika wilayah target tak hanya hutan alam dan kawasan gambut. Lalu, moratorium efektif bila ada sanksi tegas terhadap pelanggaran inpres itu. “Kita lihat dalam kawasan moratorium terbit izin oleh pemda, seperti di Kalimantan Tengah dan Indragiri Hilir, Riau. Tak ada sanksi apa-apa,” ujar dia. Untuk itu, makna moratorium harus diperkuat dan inpres mempunyai kekuatan hukum bagi pelanggar.
Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Dessy Eko Prayitno, menggarisbawahi soal pilkada serentak pada Oktober 2015. Jika sampai, perpanjangan moratorium lengah, akan dimanfaatkan oleh kepala-kepala daerah buat segera menerbitkan izin bekal dana kampanye. Pijakan moratorium, katanya. juga semestinya lebih tinggi dari inpres.
Menurut dia, ICEL juga mencermati masalah kehutanan ini masih tak ada transparansi pemerintah. “Misal, soal capaian moratorium itu macam apa sih? Kita tak ada gambaran sama sekali. Juga soal peta-peta konsesi, itu seperti apa sih? Mana peta valid dan mana tidak. Ini harus jadi hal yang diperhatikan pemerintah.”
Beri masukan
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ketika dikonfirmasi soal penguatan dan capaian moratorium, mengatakan, senang mendapatkan masukan. “Kalau ada evaluasi seperti itu, kasih tahu saya saja, pasti saya pelajari. Akan kita perbaiki,” katanya di Jakarta, Jumat (27/3/15). Menurut dia, saat ini penting political will dari pemerintah. “Itu yang saya minta ketegasan ke kantor Menko Ekuin.”