,

Bangganya Ferdi Semai Menjadi Petani

Tidak banyak orang yang ingin jadi petani. Terutama masyarakat perkotaan yang sudah terbiasa hidup dengan fasilitas mewah dan penuh hiburan. Penolakan menjadi petani karena terasumsi petani itu miskin dan hidupnya penuh keterbatasan.

Namun, dogma tersebut tidak berlaku bagi Ferdi Semai. Lelaki kelahiran Palembang tahun 1973 ini justru meninggalkan gemerlap kota dan memilih menjadi petani di pinggiran Kota Palembang. Tepatnya di Desa Muara Air Hitam, Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, Sumatera Selatan.

Di lahan rawa pasang-surut, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari Sungai Musi, Ferdi membeli lahan seluas dua hektar. Saat dibeli, sebagian lahan berbentuk sawah dan setengahnya berupa rawa yang dalam setahun bisa terendam air hingga tiga bulan itu, ia olah.

“Dalam dua tahun terakhir, rawa ini yang saya manfaatkan sebagai lokasi tanaman sayuran. Saat terendam, fungsinya diubah menjadi tempat pembesaran ikan,” kata Ferdi, saat ditemui di pondok kayunya, Rabu (25/03/2015).

“Sebagian lahan yang agak tinggi, mungkin akan dijadikan kebun jelutung, karet, dan sejumlah tanaman khas rawa. Sementara yang berupa sawah, selain saya yang menanam, dibebaskan juga kepada warga untuk menanam padi,” ujarnya.

Di Palembang, Ferdi dikenal sebagai pelukis. Dia sempat merantau ke Bandar Lampung, Lampung, selama 15 tahun. Di kota itu dia bekerja di sebuah surat kabar, kemudian bergabung dengan production house pembuatan film dokumenter, dan aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat (NGO) kebudayaan.

Dijelaskan Ferdi, bekerja di kota ternyata tidak memberikan “kebahagiaan” yang dicarinya. “Semuanya terlihat semu. Berkesenian, berkarya, tidak dekat dengan alam dan masyarakat, yang ternyata membuat saya seperti tukang seni. Sibuk melayani masyarakat kota yang selalu lapar, tapi tidak ada yang saya dapatkan. Tiba-tiba saja hidup menjadi tua dan kosong,” katanya.

“Tiba-tiba saya memutuskan ingin menjadi petani. Saya yakin menjadi petani akan mendekatkan saya dengan alam dan masyarakat. Itu sudah saya rasakan sekarang,” ujarnya.

Dulu, lahan ini merupakan rawa yang tergenang air. Kini, setelah ditata akan dijadikan kebun sayuran dan jelutung. Foto: Herwin Meidison
Dulu, lahan ini merupakan rawa yang tergenang air. Kini, setelah ditata akan dijadikan kebun sayuran dan jelutung. Foto: Herwin Meidison

Membuat sungai

Saat datang ke Desa Muara Air Hitam, Ferdi menumpang di rumah penduduk. Setelah “membaca” lahannya, Ferdi tertarik untuk mengelola lahan miliknya berupa rawa seluas setengah hektar. Lokasinya berada di tepi sebuah kanal atau parit, yang dibuat tentara Jepang, saat Perang Dunia II.

Langkah berikutnya, Ferdi membangun sebuah pondok kayu yang dibantu masyarakat. Saat pondoknya selesai, tibalah musim penghujan, yang  membuat rawa itu digenangi air setinggi setengah meter. “Pernah suatu malam, saya tidak dapat pulang ke dusun. Saya terjebak di pondok. Tidak ada perahu. Ular, tikus, naik ke atas pondok. Itu pengalaman yang tidak terlupakan. Semalaman saya tidak tidur. Apalagi saat itu pondok ini belum dialiri listrik,” kenang Ferdi.

Dari pengalaman itu, Ferdi berpikir untuk memperdalam dan memperlebar kanal yang berada di depan pondoknya. Ferdi berasumsi, jika kanal tersebut dijadikan sungai, maka rawanya tidak lagi banjir. Bagaimana melakukannya? Dia pun mengusulkan ke pemerintah untuk melakukan normalisasi anak Sungai Musi. Setelah delapan bulan menunggu, bantuan itu pun terwujud.

Ternyata itu tidak gampang dilaksanakan. Warga yang berada di sekitar kanal, tidak semuanya setuju, apalagi harus menyumbangkan lahan milik mereka sepanjang 10 meter dari kanal. “Banyak yang bawa parang. Mereka marah dengan saya. Tapi setelah saya jelaskan manfaatnya. Seperti dapat dijadikan angkutan untuk membawa hasil bumi, seperti getah karet dari kebun, sebagian setuju. Tapi ada juga tidak setuju. Saya sendiri mengorbankan tanah sekitar 15 meter dari tepi kanal, sepanjang lima kilometer,” ujarnya.

Kini, kanal itu menjadi sebuah sungai. Lebarnya mencapai 4-5 meter. Dalamnya mencapai 4 meter. Perahu maupun speed bord dapat melaluinya. “Warga kemudian menghargai upaya saya dengan menamai anak sungai ini, Sungai Semai,” ujarnya.

Hulu Sungai Semai ini akan menuju ke Sungai Musi. Masyarakat sekitar memberikan nama Semai sebagai penghargaan kepada Ferdi atas pemikiran dan kepeduliannya terhadap pengelolaan lingkungan. Foto: Herwin Meidison
Hulu Sungai Semai ini akan menuju ke Sungai Musi. Masyarakat sekitar memberikan nama Semai sebagai penghargaan kepada Ferdi atas kepeduliannya terhadap pengelolaan lingkungan. Foto: Herwin Meidison

Objek Wisata

Apa yang dilakukan Ferdi selama dua tahun ini baru sekitar 10 persen dari mimpinya. Selain berkebun sayuran, bersawah, memelihara ikan, berkebun jelutung, karet, tanaman hutan, serta beternak bebek dan kambing, dia pun ingin membuka kolam pemancingan ikan yang dikelola masyarakat, serta perpustakaan lingkungan bagi anak-anak.

“Target saya lima tahun ke depan, lokasi ini dapat dijadikan objek wisata agro. Selain membuat saya hidup makmur dan tenang, juga membuat masyarakat di sini kian sejahtera,” katanya.

Bagaimana pembiayaan proyek tersebut? Ferdi menjelaskan, selain menggunakan dana pribadi, dia pun mendapatkan bantuan dari keluarganya. “Saya senang jika ada pihak yang mau membantu, yang setuju dengan apa yang saya mimpikan.”

“Saya percaya jika tidak dilakukan saat ini, maka lima tahun ke depan wilayah ini akan habis hutan dan rawanya untuk perumahan, pabrik, dan perkebunan,” ujar Ferdi.

Ferdi Semai bangga menjadi petani. Selain menemukan kedamaian, pemikirannya juga bermanfaat bagi petani yang berada di Desa Muara Air Hitam, Kota Palembang. Foto: Herwin Meidison
Ferdi Semai bangga menjadi petani. Selain menemukan kedamaian, pemikirannya juga bermanfaat bagi petani yang berada di Desa Muara Air Hitam, Kota Palembang. Foto: Herwin Meidison

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,