Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, ketidakjelasan status kawasan hutan, menimbulkan masalah seperti tumpang tindih perizinan antar perusahaan maupun lahan masyarakat. Bahkan, ada izin di hutan konservasi dan lindung. Data KPK, pada 2014 setidaknya 1,3 juta hektar izin tambang dalam kawasan hutan konservasi dan 4,9 juta hektar di hutan lindung.
Taufiquerachman Ruki, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK mengatakan, tumpang tindih pertambangan di kawasan hutan juga terjadi di Sumatera Bagian Utara, seperti Sumatera Utara, Aceh, Riau, dan Sumatera Barat. Di Aceh, 31.000 hektar hutan konservasi, dan 4,9 juta hektar hutan lindung, salah satu di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Di Sumut, tumpang tindih izin pertambangan 2.200 hektar di hutan konservasi, 136 ribu hektar hutan lindung. Di Sumbar, 190.000 hektar hutan konservasi, dan 97.000 hektar hutan lindung. Untuk Riau, tumpang tindih 240.000 hektar di hutan konservasi, dan 10.000 hektar hutan lindung.
“Masalah ini sangat penting dituntaskan. Sinergitas sangat diperlukan. Pengelolaan sumberdaya manusia, tanggung jawab seluruh elemen bangsa, ” katanya, dalam monitoring dan evaluasi gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam di Medan, Selasa (24/3/15). Acara ini juga dihadiri Dian Patria, Ketua Tim Kajian Sumberdaya Alam, Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK, empat gubernur se-Sumbagut dan 18 kementerian/lembaga, serta bupati/walikota dari Aceh, Sumbar, Sumut, dan Riau.
Pengusutan dan penyelidikan soal ini, katanya, akan dilakukan. Dengan data itu, KPK akan ‘menguliti’ satu persatu, siapa yang bertanggungjawab.
Dia mengatakan, kehancuran sektor kehutanan dan pertambangan ini, terjadi karena semrawut-nya sistem yang terjadi di Indonesia. Ini sesuai fakta yang ditemukan adanya masalah tumpang tindih perizinan hingga beroperasi dikawasan hutan.
KPK, juga menemukan tumpang tindih izin antara kuasa pertambangan dengan pemilik hak guna usaha (HGU), antara PKP2P dengan kehutanan, dan industri dengan usaha pertambangan masyarakat.
Menurut dia, beberapa kepala daerah sudah sadar. Pengusaha ada yang mengembalikan izin, karena tumpang tindih.“Ada juga bupati tegas mencabut IUP.”
“Semua pelan-pelan kita tangani. Iumpang tindih izin tambang sudah lebih 15 tahun. Ini harus dibereskan. Siapa yang bertanggungjawab akan menanggung apa yang dilakukan. Satu persatu kita kuliti dan teliti.”
Ratusan izin tambang bermasalah
KPK juga sedang fokus memonitoring dan evaluasi gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam Indonesia. Data KPK, di Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), empat provinsi izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah alias non clean and clear (CNC), yaitu Sumatera Barat, Aceh, Riau, dan Sumut. Di empat provinsi itu, ada 706 IUP status CNC, dan 695 IUP non CNC.
Dari 113 IUP di Aceh, ada 94 IUP kurang bayar, senilai Rp22,6 miliar untuk iuran tetap, dan Rp59,2 juta royalti. Di Riau, ada 71 dari 90 IUP kurang bayar, iuran tetap senilai Rp17,1 miliar, dan royalti Rp3,6 miliar.
Sedangkan di Sumbar, dari 212 IUP, 159 kurang bayar, iuran tetap Rp12,9 miliar, dan royalti Rp2 miliar. Di Sumut, dari 32 IUP, 28 kurang bayar senilai Rp 8,1 miliar untuk iuran tetap.
Ruki, menyatakan, dari tata kelola, ada persoalan piutang negara dari pemegang IUP mineral dan batubara. Terdapat 352 IUP kurang bayar di empat provinsi itu, katanya, lebih Rp66,5 miliar. Iuran tetap Rp60,7 miliar, dan royalti Rp5,7 miliar.
“Ini terjadi dalam 2011-2013. Hasil kajian KPK sektor mineral dan batubara, juga menemukan 2014 tidak semua eksportir batubara, melaporkan hasil pada pemerintah. Ini berpotensi kerugian negara.”
Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut dan tiga perwakilan gubernur yang hadir mengatakan dengan UU Nomor 23 tahun 2014, perizinan ditangani provinsi. Jadi, jika izin keluar oleh kabupaten/kota menjadi tanggung jawab provinsi mengevaluasi.
Dia menyatakan, akan ada pembahasan serius dan evaluasi detail. Jika ada potensi perusakan alam, bahkan tumpang tindih, maka provinsi akan mencabut izin.