Warga Kecamatan Buyat, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, kembali resah oleh pertambangan. Beberapa tahun silam, lokasi ini heboh dengan pro-kontra operasi Newmont Minahasa Raya. Kini, warga berancang-ancang melaporkan PT Boltim Primanusa Resources (BPR) karena beroperasi tanpa sosialisasi kepada warga. Sebaliknya, Jackson Kumaat, pemilik BPR, malah akan balik melaporkan beberapa warga dengan tuduhan pemerasan.
Sekitar 14 warga Desa Buyat menggelar temu media di LBH Manado, Selasa (17/3/15). Mereka mewakili 800 warga tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Buyat Bersatu. Mereka menyatakan, BPR tidak layak hadir di Buyat karena tidak pernah berkomunikasi dengan warga kala beroperasi di hutan Garini. Bahkan, izin eksplorasi perusahaan baru diketahui warga setelah LBH Manado berkomunikasi dengan pemerintah kabupaten.
Meskipun IUP eksplorasi dimiliki, namun perwakilan warga Buyat kecewa karena penebangan sudah mulai. “Perusahaan tidak pernah sosialisasi kepada warga. Kami mencari tahu izin mereka. Kalau IUP eksplorasi kenapa perusakan hutan? tanya Edi Sengkey, perwakilan warga Buyat.
“Warga menolak perusahaan tambang sejak Agustus 2014. Awalnya peninjauan. Tiba di lokasi, warga menemukan eskavator dan menyaksikan ada pohon ditebang.”
Berdasarkan penuturan Edi, Garini berstatus hutan lindung dikelilingi sungai. Dia khawatir, penebangan pohon menimbulkan bencana di Buyat, karena 1991 pernah banjir berdampak 12 rumah tergusur.
Menurut Alfian Lasabuda, perwakilan warga, BPR mulai membuka lahan sekitar April-Mei 2014. Kabarnya, pemerintah kabupaten mengeluarkan IUP eksplorasi 2010. “Perusahaan akan produksi emas. Mereka sembunyi-sembunyi. Lokasi pertambangan ditempuh hingga tiga jam. Warga tidak mengetahui pasti awal masuk dan kapan penebangan pohon dimulai.”
Alfian meyakini, kehadiran perusahaan menimbulkan gesekan antarwarga pendukung dan penolak. Akibatnya, hubungan kekerabatan makin renggang. Mereka cemas kalau-kalau cara kekerasan digunakan untuk memecah-belah persatuan warga Buyat.
Menurut dia, kehadiran tambang tidak memiliki dampak positif menopang ekonomi warga. Berdasarkan pengalaman, banyak warga Buyat memilih jadi petani meski daerah itu menjadi lokasi tambang berskala besar. “Zaman Newmont banyak pekerja datang dari luar. Satu atau dua orang warga Buyat kerja di sana. Ada atau tidak tambang, warga tetap bertani.”
Hendra Baramuli, Direktur LBH Manado, mengatakan, berdasarkan investigasi di lapangan, melihat pertambangan menyebabkan perusakan lingkungan, seperti pohon-pohon ditebang dan aliran sungai tertimbun.
“LBH Manado sementara mengumpulkan bukti-bukti untuk upaya hukum. Sebab sudah 23 Januari 2015 mendatangi bupati dan dinas-dinas terkait, seperti BLH, ESDM dan Kehutanan, tapi masih mengumpulkan bukti-bukti yang kami minta. Ini sudah satu bulan belum direspon. Jika mereka lalai, kami akan menempuh jalur hukum.”
Sejak 28 November 2014, warga Buyat mengadu ke LBH Manado. LBH Manado turun lapangan. Mereka konfirmasi kepada bupati dan dinas terkait. Sehan Landjar, Bupati Boltim, dalam rilis LBH, membenarkan ada izin eksplorasi.
“Adapun izin-izin yang kami minta, izin prinsip, lokasi, usaha pertambangan, pinjam pakai kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan dan surat peringatan penghentian aktivitas tambang (pertama dan kedua).”
LBH Manado menarik beberapa catatan penting. Pertama, sosial kegiatan BPR memecah warga masyarakat, antara menerima dan menolak. Situasi ini, khawatir memunculkan konflik horizontal baik mental maupun fisik.
Kedua, pemerintah Boltim harus segera merespon dengan transparan dan akuntabel kepada masyarakat, terkait kegiatan pertambangan BPR.
Ketiga, pantauan di lapangan, BPR telah merusak lingkungan. Ini mengancam lingkungan hidup di mana lokasi perusakan posisi strategis penunjang sumber kehidupan masyarakat.
Laporkan warga ke polisi
Sedang Jackson Kumaat, pemilik BPR, kala dikonfirmasi Mongabay, membantah tuduhan itu. Sejak 2010, BPR mendapatkan IUP dari pemerintah kabupaten. Lokasi pertambangan seluas 2.200 hektar di hutan produksi, bukan lindung.
“Kami masuk tahap produksi, sudah ada IUP, kok,” katanya ketika berkomunikasi via telepon dengan Mongabay, Kamis (26/3/15).
Tuduhan pencemaran lingkungan juga dibantah. Sebab, tim Amdal dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado pernah mengambil sample udara dan air. “Nggak ada pencemaran. Memang ada penebangan pohon, tapi kami akan reboisiasi. Kami akan tanam pohon lagi.”
Dia menambahkan, sosialisasi sejak lama kepada warga, 800 tandatangan dukungan warga Buyat didapat, ditambah lagi dukungan enam sangadi (kepala Desa) Kecamatan Buyat bersatu.
Pria yang akrab disebut Jacko ini, meragukan kemurnian protes 14 perwakilan warga itu. Dia menilai, ada unsur iri hati. Mereka kecewa karena tidak bisa bekerja di perusahaan.
“Nggak mungkin semua kerja. Kan, berdasarkan kualifikasi orang-orang Buyat. Yang kerja sama saya banyak.”
Sebelumnya, kata Jacko yang juga Ketua KNPI Sulut ini, pada Desember 2014, 14 perwakilan warga Buyat menemui dia ke Jakarta. Mereka meminta ganti-rugi Rp200 juta, Rp80 juta biaya tiket pesawat. Bahkan, dia menyebut telah transfer sampai tiga tahap.
Perwakilan warga dinilai melakukan pemerasan. Sebab, pada Januari-Februari ada warga Buyat meminta uang, namun Jacko tidak mengabulkan permintaan itu. Dia mengaku memiliki bukti transfer ke salah satu perwakilan warga yang pergi ke Jakarta. Dia juga menyimpan SMS warga yang minta kirim uang. Jackson sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk melaporkan kasus ke kepolisian.
“Saya membuat laporan tindak pidana pemerasan ke Polda Sulut. Bukti-bukti sangat jelas. Mereka harus pertanggungjawabkan, mereka peras saya apa enggak. Sekarang, mereka bilang minta ganti uang transpor, kenapa minta ganti sama saya, sedangkan saya sedang dihantam?” “Intinya, sih, kalau gerakan mereka murni banyak yang kasihan sama mereka. Banyak yang iba, kalau mereka murni.”