,

Permasalahan Perkebunan Sawit di Morowali Tak Kunjung Usai, Ini Penyebabnya

Sejak diperkenalkan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Perkebunan Nusantara XIV yang kini berganti menjadi PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (PT. SPN) pada 1999, masyarakat di Desa Mayumba, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, telah menentangnya. Mereka protes, karena lahan yang digunakan untuk perkebunan itu mencaplok tanah adat mereka.

Kini, polemik perkebunan sawit di Kabupaten Morowali Utara pun bertambah, seiring bertambahnya jumlah perusahaan. Apa latar masalahnya

Deputi Direktur Perkumpulan Evergreen Indonesia Sulteng, Agustam Nome, mengatakan masyarakat sampai saat ini terus melakukan perlawanan. Warga menuntut kembali lahan mereka yang telah diambil alih oleh perusahaan. Sebagaimana yang dilakukan terhadap PT. SPN, masyarakat juga menuntut PT. Agro Nusa Abadi (PT. ANA) yang berada dibawah payung grup PT. Astra Agro Lestari.

Perkebunan PT. ANA seluas kurang lebih 7.000 hektar saat ini seluruhnya berada di atas lahan masyarakat tanpa proses pelepasan hak atau jual beli. Padahal, sebagian besar lahan-lahan tersebut memiliki bukti surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT), surat keterangan terdaftar (SKT), dan sertifikat hak milik (SHM).

“Sekarang, banyak SKPT yang keluar, dan terjadi tumpang tindih lahan. Karena di atas SKPT ada lagi SKPT yang keluar. Sehingga, diperlukan uji keabsahan SKPT. Rencananya, kami akan serahkan berkas kasus yang kami damping ini ke tim sengketa lahan yang dibentuk oleh pemerintah daerah,” kata Agustam kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (28/03/2015).

Perkumpulan Evergreen bersama dengan Walhi Sulteng sejak Oktober 2014 telah melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat di Desa Bunta, Tompira, Bungin Timbe, Malino, Peboa, Toara, dan Desa Toara Pantai, yang berkonflik dengan perusahaan PT. ANA.

“Masyarakat di sana sering kali melakukan penghadangan aktivitas masyarakat ketika menuntut hak-hak mereka. Tak jarang aksi ini berujung konflik.”

Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng menjelaskan, jika dipetakan ada empat persoalan mendasar yang menyebabkan mengapa persoalan sawit di Morowali Utara tak kunjung usai. Masalah itu adalah konversi kawasan hutan, perampasan tanah, petani plasma, dan eksploitasi buruh.

Untuk konversi kawasan hutan, diperkirakan kelompok perusahaan Kencana Agri melalui anak perusahaannya PT. Kurnia Alam Makmur telah melakukan konversi ribuan hektar kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara illegal. Beberapa hasil investigasi sementara oleh Walhi menguatkan dugaan perusahaan milik Wilmar International Ltd itu, telah melakukan konversi lebih dari 1.000 hektar kawasan hutan di Kecamatan Mamosalato, Morowali Utara.

“Untuk perampasan tanah, perusahaan mengambil alihan lahan masyarakat dan dilakukan secara paksa, diintimidasi, bahkan tidak jarang dengan menggunakan aparat negara seperti polisi, pemerintah kecamatan. Modus yang lain adalah dengan memberikan ganti rugi tanaman tumbuh (GRTT) dan janji akan disertakan sebagai petani plasma,” ungkap Pelor.

Sementara yang terkait dengan plasma atau pola kemitraan, selalu menjadi pintu masuk perusahaan saat ingin beroperasi disebuah wilayah. Namun mayoritas perusahaan tidak mengimplementasikan pola kemitraaan atau tidak membangun kebun plasma. Hasil investigasi menunjukan bahwa hingga saat ini perusahaan-perusahaan dibawah bendera Kencana Agri dan PT. Astra Agro Lestari sama sekali tidak membangun kebun plasma yang merupakan kewajiban mereka. Namun, kedua grup perusahaan tersebut, dan mayoritas perusahaan perkebunan sawit lainnya menipu pemerintah dengan melaporkan bahwa mereka telah merealisasikan pembangunan kebun plasma.

“Masyarakat tidak paham tentang mekanisme kemitraan atau plasma, karena sejak awal tidak ada informasi yang detil dan jelas yang disajikan pihak perusahaan maupun pemerintah terkait dengan pola kemitraan yang bisa diterapkan.”

“Mayoritas perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah (Sulteng) tidak melaksanakan kewajibannya untuk membangun kebun plasma minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 tahun 2007 dan telah diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 tahunn 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan,” kata Pelor.

Inilah PT. Perkebunan Nusantara XIV (PTPN) yang kini berganti menjadi PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (PT. SPN). Foto: Wardi Bania

Di sisi lain, katanya, mayoritas perusahaan perkebunan kelapa sawit membayar upah buruh dibawah standar upah minimum. Sedangkan buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit mayoritas adalah buruh perempuan yang dalam praktiknya perusahaan sering abai dan tidak memenuhi hak-hak dasar buruh perempuan.

Berdasarkan kasus-kasus tersebut, Walhi Sulteng meminta kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk segera melakukan review perizinan di sektor perkebunan dan melakukan upaya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan aktifitas secara illegal.

“Kami juga mendesak kepada Kementerian Agraria dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta pemerintah provinsi dan kabupaten untuk segera memfasilitasi pengembalian puluhan ribu hektar tanah-tanah milik petani yang telah dikuasai dan dikelola secara sepihak oleh grup Astra Agro Lestari maupun Kencana Agri, serta perusahaan perkebunan kelapa sawit lainnya.”

Selain itu, Walhi Sulteng juga meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) untuk segera melakukan kordinasi dan supervisi di sektor perkebunan kelapa sawit untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar akibat perkebunan illegal, tanpa hal guna usaha (HGU).

“Kami juga mendesak lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya untuk mengevaluasi pemberian kredit terhadap perusahaan perkebunan yang telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM serta perusakan lingkungan.”

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,