, ,

Pertanian Selaras Alam di Wongaya Betan, Seperti Apa?

Bagi petani di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Tabanan, padi bukan semata bahan pangan juga sarana berbakti pada alam dan Tuhan. Merekapun menerapkan pertanian ramah lingkungan. Mereka tak mau meracuni alam.

Desa Mengesta berada di Kaki Gunung Batukaru. Sawah dengan padi menghijau terhampar sepanjang jalan. Sebagian sudah panen, seperti anggota Kelompok Tani Somya Pertiwi di Dusun Wongaya Betan. Wilayah ini salah satu sentra padi di Bali.

Pekan lalu, tiga petani menjemur padi gabah di lantai jemur depan gudang sekaligus tempat penggilingan. Di daerah sejuk ini, matahari cerah menjadi berkah bagi mereka. Apalagi saat musim penghujan.

Gabah ini merupakan varietas lokal. “Padi lokal menjadi tanaman wajib bagi kami,” kata I Nyoman Alit Widiantara, anggota Somya Pertiwi.

Padi merah lokal, katanya, bagian penting bagi petani Wongaya Betan. Karena menjadi sarana upacara berdasarkan ajaran Hindu Bali. Tiap enam bulan, petani akan upacara Odalan di Pura Desa. Saat itulah, mereka menghaturkan padi lokal sebagai persembahan.“Padi lokal tidak mungkin bisa digantikan,” kata Alit.

Petani di Wongaya Betan dan sekitar, seperti Jatiluwih dan Wongaya Gede, memang wajib menanam padi lokal. Mereka punya kesepakatan adat tak tertulis (bhisama), petani wajib menanam padi merah.

Warga harus menanam padi lokal minimal satu kali setahun. Jika ada petani melanggar, akan mendapatkan denda upara penyucian (mecaru) di Pura Bedugul. “Padi merah menjadi sarana upacara penting bagi kami saat upacara,” kata Nengah Ariasa, Ketua Kelompok Somya Pertiwi.

Nengah melanjutkan, dalam setahun, petani banyak upacara adat terkait budi daya pertanian. Upacara itu, mulai proses mengalirkan air sawah, menanam benih, hingga panen.

Upacara itu, ada yang kecil dan individu, ada juga besar dan bersama-sama seluruh warga desa, misal Odalan, Sarin Taun di Danau Tamblingan. Juga menaikkan Betara Nini, sebutan bentuk penghormatan untuk padi lokal, ke lumbung.

Lumbung yang disebut jineng atau klumpu ini berada di depan rumah tiap petani. Padi lokal disimpan dalam jineng untuk persediaan pangan, sarana sembahyang, maupun bibit masa tanam selanjutnya.

“Kalau dihitung bisnis, kami pasti rugi besar karena banyak upacara adat. Tetapi ni berkaitan dengan keyakinan kami,” kata Ariasa.

Bertani bagi petani tradisional seperti Ariasa dan Alit, bukan soal mendapatkan uang tetapi menciptakan keseimbangan alam.

Menjemur padi. Kelompok Tani Somya Pertiwi di Dusun Wongaya Betan, yang bertani organik dan padi lokal.Foto: Anton Muhajir
Menjemur padi. Kelompok Tani Somya Pertiwi di Dusun Wongaya Betan, yang bertani organik dan padi lokal.Foto: Anton Muhajir

Selaras alam
Meskipun begitu, padi lokal tak hanya memiliki nilai spiritual juga komersial. Padi merah lokal bernilai jual lebih tinggi dibandingkan unggulan, seperti ciherang dan mansur. Saat ini, beras merah Rp18.000 per kilogram. Beras organik lain Rp10.000 per kilogram.Penyebabnya, produksi terbatas dan khasiat.

Warga percaya beras merah berguna sebagai antioksidan, memperkuat stamina, melancarkan peredaran darah, dan memperbaiki pencernaan. Tak hanya dalam 5 kg-an, mereka menjual 250 gram untuk jadi teh beras merah.

Semua beras diproduksi organik oleh anggota Somya Pertiwi. Bahan-bahan pertanian organik mereka produksi sendiri.

Ariasa bercerita, mereka memulai pertanian organik sejak 2006 dibantu Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. Semula petani jengah karena banyak limbah sapi di sawah. Sebagian besar petani beternak sapi di sawah. Namun, kotoran sapi dibiarkan menumpuk begitu saja di tempat pembuangan.

“Sebagai daerah pariwisata, saya tidak mau desa saya kena polusi bau dan limbah kotoran sapi.”

Beberapa petani berinisiatif mengolah kotoran ternak menjadi pupuk organik. Ariasa semula hanya mencoba di lahan sendiri. “Ternyata hasil bagus. Tanah jadi lebih mudah diolah. Hasil panen lebih banyak dibandingkan sebelumnya,” kata Ariasa.

Melihat keberhasilan ini, para petani beralih ke pertanian organik. Beberapa kelompok lain terebentuk seperti kelompok ternak, tani perempuan, serta padi organik. “Somya Pertiwi lebih tepat disebut sebagai Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani, red) karena ada beberapa kelompok di dalamnya.”

Anggota Somya Pertiwi sekitar 100 orang total lahan 75 hektar. Rata-rata satu petani memiliki 50 are atau setengah hektar.

Dengan sekitar 100 anggota, Somya Pertiwi kini menghasilkan pupuk dan padi lebih banyak. Pupuk organik 800 ton per tahun dibeli Pemprov Bali sebagai pupuk bersubsidi. Mereka buat di satu tempat dengan gudang penggilingan padi. Mereka menjual beras organik biasa maupun beras merah.

Somya Pertiwi pun berubah menjadi Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan (P4). Kelompok ini pula yang menginspirasi kelahiran Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) Pemerintah Bali. Dengan sistem pertanian terintegrasi, petani tak hanya bertani, juga beternak sapi dan menghasilkan pupuk sendiri.

Saat ini,  Kelompok Tani Somya Pertiwi tak hanya memiliki sekretariat juga tempat pelatihan. Mereka jadi tempat belajar petani berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri.

Lumbung padi merah lokal. Foto:  Anton Muhajir
Lumbung padi merah lokal. Foto: Anton Muhajir
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,