,

Kebijakan Hanya Perusahaan Yang Bisa Tangkap Ikan, Tidak Adil dan Melawan Nawacita. Kenapa?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan kebijakan pasca moratorium perizinan penangkapan ikan yaitu hanya memperbolehkan perseroan terbatas atau perusahaan yang berbadan hukum yang bakal diberi izin menangkap ikan di perairan Indonesia. Izin tidak akan diberikan kepada perseorangan.

Pengamat Kemaritiman dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Alan F Koropitan melihat kebijakan ini justru bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Nawacita.

“(Kebijakan itu) bertentangan dengan Nawacita. Itu berarti nelayan tidak menjadi agenda utama pembangunan.  Padahal semangatnya, Nawacita ingin negara hadir untuk seluruh komponen bangsa dalam hal ini nelayan. Bagaimana agenda untuk memajukan nelayan dan tambak masuk dalam kedaulatan maritim. dan ini sifatnya perseorangan,” kata Alan yang dihubungi Mongabay pada Rabu (02/04/2015).

Kebijakan hanya perusahaan yang bakal diberikan izin penangkapan ikan, terkesan menjadi kebijakan ‘jalan pintas’ karena KKP tidak ada keinginan untuk mensejahteraan nelayan dengan mendata jumlah nelayan dan memberikan akses pendanaan kepada mereka.

“Kebijakan ini terkesan jalan pintas, karena KKP tidak mau mendata nelayan. Kita tahu sendiri kualitas data di KKP, data itu hanya asumsi. Maka data itu harus diperbaiki oleh Bu Susi Pudjiastuti. Data dari KKP, ada 2,3 juta orang petambak dan 2,2 juta nelayan. Totalnya ada 5 juta orang. Benar tidak memang jumlahnya segitu? Distribusinya ada dimana saja?” tanya dosen Kelautan IPB Bogor itu.

Seharusnya negara hadir kepada nelayan dengan memberikan layanan pendanaan kepada nelayan dengan cara mendirikan bank khusus untuk nelayan. “Justru di Nawacita sudah diberikan solusi dengan semacam Bank Agro Maritim. Bila susah bank, maka dibuat lembaga khusus saja untuk perikanan dan pertanian,” katanya.

Alan mencontohka dua negara yang peduli terhadap nasib nelayannya yaitu Perancis dan Thailand.  “Perancis itu mendata seluruh nelayann. Kapalnya apa, ABK berapa, jenis alat tangkapnya apa. Berapa yang bisa nelayan itu tangkap dalam satu bulan. Setelah data nelayan itu lengkap, maka bisa diberikan kredit melalui Bank Perkreditan Tani dan Nelayan. Kredit dana bisa diberikan sesuai kapasitas nelayan itu menangkap ikan, dengan cicilan yang murah,” jelas Alan.

Sedangkan pemerintah Thailand memberikan izin kepada kelompok nelayan yang terdiri dari 5-6 orang. Izin etrsebut menjadi dasar bank untuk mengeluarkan kredit dana. Sedangkan di Indonesia, pemerintah terkesan membiarkan nelayan tradisional mencari alat tangkap dan permodalannya. “Kesannya kita membiarkan nelayan mencari alat tangkap dan permodalan, sehingga nelayan terjerat permodalan dari sistem pendanaan tengkulak,” katanya.

Selain itu, nelayan juga seharusnya dilindungi oleh asuransi. “Nelayan sudah ada alat tangkap dan kapal. Andaikan dalam beberapa minggu atau satu bulan tidak bisa melaut karena ada cuaca ekstrim, maka asuransi akan mengganti pendapatan menangkap ikan,” katanya.

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono
Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Dengan data nelayan yang lengkap, juga bisa menjadi dasar pemerintah untuk mengontrol pengelolaan WPP (wilayah pengelolaan perikanan) karena sudah mengetahui potensi penangkapan dari nelayan.

Oleh karena itu, menjadi prioritas kerja dari KKP untuk melakukan pendataan nelayan meliputi jumlah nelayan,  jenis kapal, jenis alat tangkap, dan jumlah ABK.

Sebelumnya KKP berencana memberikan izin penangkapan ikan di perairan Indonesia hanya kepada perusahaan yang memiliki badan hukum dengan alasan kemudahan pengecekan dan pelaporan finansial.

“Yang boleh ikut berbisnis hanya PT. Kenapa? Supaya ada akuntabilitas finansial, bank bisa mengecek berapa kredit. Kita bisa ngecek dari bank. Ada akuntabilitas hasil tangkapan. Kalau dia PT ada kewajiban melaporkan,” kata

Direktur Jenderal (Dirjen) Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau kecil (KP3K) KKP, Sudirman  Saad dalam sebuah acara di, Jakarta Pusat,pada  Selasa (31/03/2015).

Sudirman mengatakan dengan berbentuk perseroan terbatas, juga akan memperbesar akses nelayan yang tergabung dalam perusahaan kepada layanan keuangan di bank. “Kalau PT jelas, kalau perseorangan bank ragu membiayai. Alasan perbankan kita kan klasik, NPL (Non Performing Loan) industri perikanan tinggi,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,