,

Peran Besar KLHK Untuk Tangani Kebakaran Hutan. Seperti Apa?

Memasuki musim kemarau, pemerintah harus mulai bersiap untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang akan merugikan baik dari segi lingkungan, kesehatan dan perekonomian bila terjadi. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempunyai peran yang sangat besar dalam menangani karhutla.

“KLHK ini sekarang punya satu kekuatan luar biasa. Dulu LH pisah dengan kehutanan, sekarang digabung,” kata Pemerhati Hukum dan Pemerintahan dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Mas Achmad Santosa dalam jumpa pers di Jakarta, pada Kamis (02/04/2015).

Apalagi dengan keputusan Mahkamah Agung yang menguatkan peranan KLH waktu itu sesuai pasal 95 ayat 1, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dimana KLH disebutkan sebagai sebagai koordinator penanganan karhutla. “Jadi ada legitimasi KLHK menjadi koordinator penanganan karhutla. Apalagi sekarang tidak ada lagi UKP4, DNPI, BP REDD, maka semua tanggung jawab ada di KLHK,” kata Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota.

Pada  Juni  tahun 2014,  pemerintahan  SBY-Boediono,  telah mengidentifikasi enam permasalahan karhutla yang perlu ditanggulangi yaitu (1) sistem peringatan dini yang  tidak  optimal,  (2) jaringan  komunikasi  lemah  untuk  melakukan  koordinasi  deteksi  dan  pemadaman  karhutla (3). ketidak patuhan perusahaan-perusahaan pemilik konsesi dalam persiapan dan pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan Karhulta di wilayah konsesinya.

Juga (4) lemahnya  pengawasan  dan  penegakan  hukum , (5) konflik  dengan  masyarakat  dan kesulitan  akses  jalan  transportasi    dan  (6) belum  adanya  kebijakan  perlindungan kawasan ekosistem gambut.

Ota melihat akar dari enam permasalahan tersebut adalah ketidakoptimalan  sistem  deteksi  dini  disebabkan  lemahnya  koordinasi  dalam  mendayagunakan  data  satelit NOAA/MODIS dan   BMKG.

Masalah lainnya yaitu dari hasil audit kepatuhan perusahaan ekstraktif yang dilakukan oleh UKP4 menunjukkan tidak   ada   satupun   perusahaan   dari   97 perusahaan  perkebunan  dan  122  perusahaan  kehutanan  mematuhi  seluruh  kewajiban  yang   diamanatkan  peraturan   perundang-undangan.  Capaian  dari   kedua   kelompok  perusahaan  ini  kurang dari 50%.

Untuk  tingkat  kepatuhan  Pemda,  dari  enam kabupaten  dan  kota  hanya  satu  kabupaten  yang  patuh  (92,74% dari 67 kewajiban). Selebihnya dikategorikan  kurang patuh (62% mematuhi 67 kewajiban). Faktor ketidaksiapan pemerintah daerah juga ikut berpengaruh.

Akan tetapi, menurutnya ahli hukum lingkungan UI itu, ketidaktaatan  tersebut  hampir  sebagian besar tidak diberikan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin atau pencabutan izin sebagai langkah preventif.

Meski, sejak 2012 penegak hukum (PPNS KLH, Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan) telah melakukan penanganan perkara karhutla di beberapa daerah,  namun  aparat  penegak  hukum  khususnya  hakim  belum  melihat  kasus  hukum karhutla   ini   sebagai   hal   penting  dan mendesak.

Ota melihat pada umumnya putusan hakim membebaskan terdakwa atau menghukum   ringan   terdakwa. Sehingga, praktek penegakan hukum saat ini belum mampu menumbuhkan  efek jera bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan.

“Banyak kasus karhutla yang diajukan ke pengadilan, tetapi yang diajukan pelaku lapangan. Pelaku individu atau perusahaan, belum diajukan.  Tantangan bagi KLHK bagaimana mencari pelaku intelektual dari karhutla,” lanjut Ota.

Sementara KLHK merupakan kementerian yang memiliki paling banyak Penyidik PNS dibanding institusi lain, karena gabungan PPNS KLH dan PPNS Kemhut.

Truk yang membawa warga bermasker untuk melindungi diri dari polusi asap kebakaran pada pembersihan lahan di kebun sawit PT Rokan Adiraya,  dekat Desa Sontang,  di Rokan Hulu, Riau, Sumatra. Foto diambil pada 23 Juli 2013. Foto: Ulet Ifansasti / Greenpeace
Truk yang membawa warga bermasker untuk melindungi diri dari polusi asap kebakaran pada pembersihan lahan di kebun sawit PT Rokan Adiraya, dekat Desa Sontang, di Rokan Hulu, Riau, Sumatra. Foto diambil pada 23 Juli 2013. Foto: Ulet Ifansasti / Greenpeace

Sedangkan Pemerhati Isu Kehutaanan dari Thamrin School, Togu Manurung menegaskan  bahwa 99%  penyebab kebakaran adalah  manusia (anthropogenic  factor). Pembukaan lahan dengan cara membakar yang biasa dilakukan masyarakat  lokal, pendatang dan para perambah hutan merupakan pemicu utama karhutla. Lahan yang terbakar sebagian besar berada di wilayah klaim / pendudukan / okupasi  kawasan hutan ilegal/konflik oleh masyarakat atau  wilayah yang diterlantarkan pemegang izin konsesi hutan atau HGU perkebunan.

Disamping itu, perusahaan pemilik konsesi hutan dan perkebunan kelapa sawit disinyalir ada yang   secara sengaja melakukan pembakaran hutan dalam proses pembersihan  lahan  (land  clearing). Kondisi  tersebut  diperparah  oleh  kondisi  lokasi  kebakaran  yang  sulit  dijangkau  oleh  sarana  transportasi  darat.

Harapan besar

Ada harapan besar terhadap penegakan hukum karhutla setelah ditandatanganinya kesepakatan bersama enam pemimpin kementerian dan lembaga pada Desember   2012 dan dimulainya pendekatan  multi  rezim  hukum termasuk penggunaan corporate criminal liability.

Tetapi banyak kasus karhutla yang dibawa ke pengadilan berakhir  dengan  putusan  yang  mengecewakan.  Sehingga penegakan hukum karhutla belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan perilaku terutama korporasi penyebab karhutla.

Ota melihat sumber penyebab ketidak efektifan  penegakan hukum adalah kualitas dan pemahaman para penegak hukum   yang masih terbatas dalam menerapkan pendekatan multi rezim hukum  dengan mendayagunakan berbagai peraturan perundang-undanganan yang  relevan seperti UU PPLH, UU  Kehutanan, UU Perkebunan, UU  Tindak  Pidana  Pencucian  uang,  UU Tindak  Pidana  Korupsi,  UU  Pajak, termasuk menerapkan corporate criminal liability.

Koordinasi juga tidak berjalan baik antara penyidik dan penuntut dan PPNS lainnya yang terkait dengan pendektan multi rezim  hukum . Dan intervensi penanganan perkara terutama perkara-perkara korporasi besar  yang membutuhkan kepemimpinan dan pelaksana yang memiliki integritas kuat.

“Saat ini sepatutnya, ketiga persoalan tersebut harus dapat diatasi oleh KLHK yang  memegang  dua  portofolio sekaligus yaitu lingkungan hidup dan kehutanan,” jelas Ota.

kerugian karhutla di Riau Selama 2014. Sumber : Greenpeace Indonesia
kerugian karhutla di Riau Selama 2014. Sumber : Greenpeace Indonesia

Sedangkan Kepala Sekolah Thamrin School melihat pemerintahan saat ini memiliki cukup modal awal yang baik setelah Presiden Jokowi meninjau kondisi hutan dan lahan di Riau pada November 2014.

Ada  dua hal yang  dihasilkan dari kunjungan  Presiden  Jokowi yaitu Presiden menginstruksikan   untuk memelihara gambut di Kabupaten   Meranti tetap dalam keadaan basah. Sekarang  lahan  gambut yang akan dijaga untuk tetap basah telah  diidentifikasi,” kata Farhan.

Pemprov Riau juga telah menindaklanjuti Instruksi  Presiden  dengan menerbitkan Peraturan   Gubernur  Riau  No.5/2015 tentang Pelaksanaan Rencana Aksi  Pencegahan  Kebakaran  Hutan dan    Lahan  di Riau.

Oleh karena itu, Thamrin School melihat perlu diperkuatnya peran koordinasi dan fasilitasi KLHK   sehingga  memilki kemampuan  merangkul  dan  memfasilitasi  kerja-kerja  sinergis  seluruh  aparat gakum terkait Karhutla.

Pengembangan kapasitas SDM aparat penegak hukum (apgakum) harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh pihak. Maka penguatan kapasitas green  inspector,  green  police,  green  prosecutor, dan  green  judges  menjadi  sebuah  keharusan  dalam  melindungi  sumberdaya  alam dan lingkungan.

Kemampuan  investigasi,  pemantauan  kasus-kasus  dan  perkara  dari   LSM-LSM  dan masyarakat sipil menjadi  penting  untuk  mendorong  percepatan penanganan perkara yang lebih efektif,   memberi pesan penjeraan dan mengembalikan kerugian negara akibat karhutla.

Sedangkan hakim dalam memberikan vonis hukuman kepada pihak yang terbukti bersalah harus memberikan hukuman yang maksimal (terberat) untuk menimbulkan efek jera dan denda yang juga maksimal agar dapat dimanfaatkan untuk memulihkan fungi jasa lingkungan dari ekositem hutan akibat karhutla.

Praktek pembukaan lahan dengan cara dibakar disinyalir juga dilakukan oleh perusahaan. Oleh sebab itu /sistem  hukum harus menerapkan  asas  pembuktian  terbalik oleh pemilik lahan atau pemilik konsesi hutan (HGU perkebunan) untuk membuktikan mereka tidak melakukannya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,