, ,

Inilah Aksi Para Perempuan Desa Tamarupa

Para perempuan pesisir di Desa Tamarupa ini berhasil bangkit dari kemiskinan dengan memanfaatkan potensi laut dan pesisir. 

Dulu, warga Desa Tamarupa, Kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkajene, Sulawesi Selatan, tak begitu tertarik budidaya rumput laut. Itu dianggap tak prospektif karena kerab gagal. Kalaupun berhasil hanya sedikit. Salah satu penyebab, kondisi pantai berlumpur yang tak cocok budidaya rumput laut.

Jikapun budidaya, harus jauh ke laut, sekitar 50-100 meter dari garis pantai. Penyebab lain, limbah semen pembangunan poros Makassar-Parepare yang dibuang ke kanal dan mengalir ke laut, tempat warga budidaya rumput laut.

“Warga trauma karena selama ini rumput laut selalu hancur. Itu sisa semen pembangunan jalan membuat rumput laut tidak bisa tumbuh bagus,” kata Syarifah, Ketua Kelompok Kalaroangg kepada Mongabay.

Pada 2013, Kelompok Kalaroang mencoba mengajak kembali warga budidaya rumput laut. Sebagai pemancing mereka diberi bantuan bibit dan bentangan tali.

Menurut dia, mengajak warga terlibat bukanlah hal mudah karena sudah trauma masa lalu. Untungnya, sebagian ibu-ibu bekas murid sekolah Paket A. Syarifah yang mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung beberapa tahun lalu. Kelompok ini, memulai usaha rumput laut dengan 10 anggota.

Berbekal bantuan usaha dua ton bibit rumput laut dan ratusan bentangan tali, dari program RCL Oxfam, Syarifah bersama anggota kelompok lain memulai usaha. Jarak penanaman agak jauh ke laut, merekapun harus menggunakan perahu. Untuk pekerjaan penanaman ini, suami mereka yang melakukan. Belakangan mereka malah menggaji orang lain.

Peran para ibu-ibu ini pada persiapan penanaman, juga panen dan pengeringan. Memilih bibit yang baik dan membersihkan dari sampah-sampah yang menempel di rumput laut.

Syarifah mengatakan, di awal penanaman setiap anggota mendapat bantuan bibit 200 kg dan tali 32 bentangan. Setiap bentangan tali 25 meter.

Bibit jenis Eucheuma cottonii merah dan hitam, dianggap cocok dengan kondisi pantai di sana. Hasil panen jauh melampaui harapan. Dengan harga jual fluktuatif antara Rp11.000-Rp16.000 per kg, keuntungan sekali panen cukup lumayan. “Satu bentangan biasa menggunakan lima sampai enam kg bibit. Hasil panen bisa 30 kg per bentangan.”

Kondisi ini,  membuat banyak warga lain tertarik. Karena tak memiliki modal, Kalaroangg berinisatif menerapkan bantuan bergilir. “Setiap anggota lama membantu anggota baru semampu mereka, berupa bibit dan bentangan tali. Ada juga uang yang terkumpul dari sumbangan anggota ke kelompok diputar kembali untuk anggota-anggota baru.”

Usaha rumput laut ini bukan tanpa kendala. Pada Januari-Februari,  budidaya tak bisa karena ombak besar. Pembibitan biasa Maret-April. Penanaman biasa baru bisa pada Juli-Oktober tiap tahun.

Menghadapi kondisi ini, mereka mencoba menanam rumput laut pakai sistem keramba. Keramba diikat pada bentangan tali sebagaimana teknik budidaya biasa. “Dengan metode ini bisa budidaya sepanjang tahun tanpa takut ombak. Hasilnya jelas jauh lebih banyak,” kata Syarifah.

Kini setiap anggota memiliki jumlah bentangan jauh lebih banyak. Dari hanya 32, kini mereka rata-rata memiliki ratusan bentangan setiap orang. “Jumlah bentangan tergantung kemampuan mereka saja.”

Rakkang, alat baru penangkapan kepiting kini diperkenalkan kepada nelayan di Desa Tamarupa. Selama ini mereka menggunakan jaring dengan hasil yang terbatas dan mudah rusak. Dengan rakkang hasil tangkapan jauh lebih baik. Foto: Wahyu Chandra
Rakkang, alat baru penangkapan kepiting kini diperkenalkan kepada nelayan di Desa Tamarupa. Selama ini mereka menggunakan jaring dengan hasil yang terbatas dan mudah rusak. Dengan rakkang hasil tangkapan jauh lebih baik. Foto: Wahyu Chandra

Usaha penangkapan kepiting

Sukses dengan usaha rumput laut, kelompok ini mencoba penangkapan kepiting. Pantai di sekitar Desa Tamarupa dikelilingi hutan mangrove dikenal salah satu habitat kepiting.

Usaha ini sebenarnya sudah dilakukan warga meski terbatas. Padahal permintaan kepiting per hari cukup besar. “Pasar ada tapi sedikit yang mengusahakan.”

Melalui usaha ini, anggota memiliki tambahan penghasilan lain. Dalam sehari,  setiap orang bisa memperoleh satu sampai dua kg kepiting berbagai ukuran. Dalam satu kg biasa memuat tiga sampai empat kepiting ukuran sedang. Dulu mereka mengambil kepiting ukuran kecil, sekarang tidak lagi setelah ada larangan pemerintah.

Hasil tangkapan dijual ke pengumpul kepiting, berkisar Rp30.000-Rp 35.000 per kg.

Penangkapan kepiting dengan membentangkan jaring sepanjang pantai. Kepiting melintas akan terjerat. Belakangan cara ini tidak efektif, merekapun mencoba menggunakan alat tangkap, disebut rakkang.

“Jaring mudah putus dan hasil tangkapan kurang. Jaring hanya bisa dipakai sampai tiga kali penangkapan, setelah itu harus diganti yang baru.”

Dengan rakkang diyakini jauh lebih awet. Hasil bisa lebih banyak. Rakkang seperti kubus terbuat dari kawat besar sebagai rangka dikitari jaring. Rakkang diikat pada tali dibentangkan hingga satu km. Sekali bentangan bisa memuat hingga dua ratus rakkang.

Rakkang dibiarkan tenggelam hingga dasar laut karena kepiting biasa lebih banyak di dasar.

Menurut Soni Kusnito, fasilitator RCL, penggunaan rakkang sebenarnya sudah banyak di daerah lain, termasuk di Maros dan Pangkep. “Kalau di Desa Tamarupa masih baru. Kita harap hasil tangkapan lebih banyak seperti daerah lain.”

Sebagaimana daerah dampingan lain, katanya,  program RCL membantu kelompok pengadaan rakkang ratusan unit.

Penggunaan rakkang terbilang efektif karena letaknya di dasar laut. Jika jaring biasa hanya dapat satu sampai dua kg, rakkang jauh lebih banyak.

Kendala usaha ini, transportasi penyebaran dan pengambilan rakkang. Jika menggunakan perahu biasa proses lambat, padahal mereka berburu waktu harus sebelum matahari muncul.

DKP Pangkep menganggarkan bantuan mesin perahu bagi anggota kelompok ini, meski terbatas tiga mesin.“Kita sudah anggarkan tiga mesin perahu Rp3 juta per unit. Saya sebenarnya minta lebih banyak tapi baru ini disetujui. Semoga ada penambahan lagi tahun depan,” kata Sumarni, penyuluh perikanan Pangkep.

Siti Raiyah (kerudung kuning) berusia 75 tahun selama ini kehidupannya ditopang oleh anak dan cucu. Kini ia bisa memiliki penghasilan sendiri dari usaha pembuatan jaring. Ia bahkan dipercaya sebagai pengumpul jaring hasil buatan dari anggota Kelompok Siangkalinga Adae lainnya. Dalam sebulan mereka bisa menghasilkan hingga 800 ikat jaring. Foto: Wahyu Chandra
Siti Raiyah (kerudung kuning) berusia 75 tahun selama ini kehidupannya ditopang oleh anak dan cucu. Kini ia bisa memiliki penghasilan sendiri dari usaha pembuatan jaring. Ia bahkan dipercaya sebagai pengumpul jaring hasil buatan dari anggota Kelompok Siangkalinga Adae lainnya. Dalam sebulan mereka bisa menghasilkan hingga 800 ikat jaring. Foto: Wahyu Chandra

Usaha jaring

Desa Tammarupa selama ini juga dikenal sebagai penghasil jaring ikan. Usaha ini ada berpuluh-puluh tahun silam dan keterampilan turun temurun.

Menyadari potensi ini, Syarifah menginisasi membentuk kelompok lain, khusus usaha jaring. Yakni, Kelompok Siangkalinga Adae, berarti saling mendengarkan pendapat orang. Anggota kelompok prioritas perempuan lanut usia dan janda.

Sebagian anggota kelompok ini sudah terampil membuat jaring tetapi . produksi terbatas karena keterbatasan modal. Dulu, dalam sebulan hanya bisa memproduksi satu sampai dua set atau sekitar 15–30 ikat jaring.

Di awal, setiap orang diberi bantuan empat set bisa memproduksi hingga 60 ikat jaring. Dulu, penghasilan Rp750.000 per bulan, kini bisa Rp3 juta.

Fatmasari Hutagalung, Project Officer RCL Oxfam,  menyatakan, program ini memang kadang memberi bantuan in kind (barang) dan tak bentuk uang. “Ini sekadar pemancing. Setelah ada hasil malah kini mereka yang membantu warga lain. Jadi ada sistem pergiliran bantuan mandiri.”

Pemilihan ketiga jenis usaha ini, katanya, berdasarkan kebutuhan masyarakat dan potensi. “Kita identifikasi di awal program. Kita bantu sesuai kebutuhan, termasuk dalam pengelolaan kelompok, keuangan dan menyediakan pasar bagi mereka.”

Desa Tamarupa sebagai perkampungan nelayan sebagaimana daerah pesisir lain identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Kini warganya mulai bangkit secara ekonomi mengandalkan potensi daerah setempat berupa budidaya rumput laut dan kepiting. Sebagian warga juga menekuni usaha pembuatan jaring yang hasilnya dijual hingga ke Papua. Foto: Wahyu Chandra
Desa Tamarupa sebagai perkampungan nelayan sebagaimana daerah pesisir lain identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Kini warganya mulai bangkit secara ekonomi mengandalkan potensi daerah setempat berupa budidaya rumput laut dan kepiting. Sebagian warga juga menekuni usaha pembuatan jaring yang hasilnya dijual hingga ke Papua. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,