,

Bertemu Menteri Yohana di Samarinda, Rahmawati Cerita Pentingnya Keselamatan Anak di Sekitar Lubang Tambang

Penghujung Februari 2015, Rahmawati dan Misransyah, bersama putra bungsungnya Muhammad Adbizar (16 bulan), berangkat ke Jakarta khusus memperjuangkan nasib mereka. Terbang jauh dari Samarinda, Kalimantan Timur, hanya satu misi yang ingin mereka tuntaskan, mencari keadilan.

Perjalanan ini harus mereka lakukan karena pemerintah daerah, pihak perusahaan, dan aparat penegak hukum seolah abai pada peristiwa kematian Raihan yang dianggap sebagai takdir yang harus mereka terima.

Rahmawati (37), adalah ibunda Muhammad Raihan Saputra (10), bocah malang yang meninggal di lubang bekas tambang batubara milik PT. Graha Benua Etam (GBE) di Sempaja Utara, Samarinda, Kalimantan Timur, pada 22 Desember 2014.

Sebelum berangkat ke Jakarta, Rahmawati telah membuat petisi di Change.org bertajuk “Tutup dan Hukum Perusahaan Pemilik Lubang Tambang Batubara Samarinda yang Membunuh Anak-anak” yang ia buat Jumat (23/01/2015). Petisi terkait kematian putranya itu ia tujukan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Walikota Samarinda, Syaharie Jaang.

Dukungan mengalir terhadap petisi tersebut yang angkanya mencapai 10 ribu pendukung. Lewat petisi ini pula, akhirnya Rahmawati bertatap langsung dengan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang memang telah menjadwalkan pertemuan itu.

Selama di Jakarta, Rahmawati dan Misransyah menggunakan kesempatan tersebut tidak hanya untuk mengadu ke Ibu Siti sekaligus menyerahkan petisi, tetapi juga mereka menemui beberapa komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, juga Komisi Perlindungan Anak dan Lembaga Perlindungan Saksi Korban.

Namun, ada satu agenda yang belum terwujud selama lawatan mereka di Jakarta, yaitu menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang kala itu memang tidak di tempat.

Gambaran lokasi rumah Rahmawati dan kolam tambang tempat putranya tenggelam. Sumber: Jatam Kaltim

Bertemu di Samarinda

Kesempatan bertemu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise justru didapatkan Rahmawati di Samarinda, Senin (23/3/2015).

“Kami ingin ada keadilan Bu, lubang tambang harus ditutup dan perusahaan harus dihukum. Kami ingin, kejadian meninggalnya anak di lubang bekas tambang tidak terulang kembali,” ungkap Rahmawati kepada Yohana di Aula Kelurahan Bentuas, Kecamatan Palaran, Samarinda.

“Kabar ini sudah saya dengar di Jakarta dan Kepala BP2KB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana) Provinsi Kalimantan Timur telah menyampaikan juga ke saya,” ungkap Yohana, menanggapi keluh-kesah Rahmawati.

Tugas saya melindungi seluruh anak Indonesia, termasuk 9 anak yang meninggal di lubang tambang. “Saya berjanji akan membahas masalah ini di Jakarta dan membentuk tim investigasi keselamatan anak-anak dari ancaman lubang tambang,” ucap Yohana.

Menanggapi janji tersebut, Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, mengatakan jika Ibu Yohana serius menindaklanjuti kasus ini maka bisa menerapkan UU 35 tahun 2004, Perubahan atas UU 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. “Pemerintah kota/provinsi dan perusahaan tambang dapat diancam pasal pidana anak, sebagaimana diatur dalam pasal 77 – 90 dalam UU ini,” ujar Merah.

Menurut Merah, penting bagi Ibu Menteri Yohana meneruskan kasus ini, karena dalam pantauan Jatam, tidak ada itikad baik dari pemerintah daerah dalam penegakan hukum. “Dari dulu gak ada kasus yang selesai, sementara 71 persen wilayah Samarinda sudah dikapling tambang batubara. Lubang-lubang itu, dibiarkan menganga yang membahayakan warga sekitarnya. ”

Dalam catatan Jatam Kaltim periode 2011-2014, sudah 9 anak meninggal di lubang maut bekas tambang yang tersebar di Samarinda. “Padahal, Samarinda mendeklarasikan diri sebagai Kota Layak Anak. Tapi, setiap tahun selalu ada yang meninggal. Sampai kapan ini terjadi?” tegas Merah.

Kondisi Kota Samarinda akibat pertambangan
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,