Hari Nelayan, Diperingati Tapi (Hampir) Dilupakan

Indonesia merayakan hari nelayan yang ke-55 pada Kamis (06/04). Akan tetapi nasib nelayan masih belum mengalami perbaikan signifikan. Padahal, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sektor kemaritiman, termasuk nelayan menjadi prioritas pembangunan yang akan ditingkatkan.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) tidak melihat ada perubahan berarti dalam kurun waktu lima bulan terakhir sejak Jokowi resmi menjalankan roda pemerintahannya. Yang terjadi, nelayan masih tetap ada dalam kubangan kemiskinan struktural.

Padahal nelayan menjadi salah satu tulang punggung pembangunan sektor maritim nasionnal. “Kami melihat hingga sekarang nasib nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir nasibnya masih sama saja ada di lingkaran kemiskinan struktural,” kata Sekretaris Jenderal KIARA, Abdul Halim, seusai menggelar aksi peringatan Hari Nelayan Indonesia 2015 di Jakarta.

Dia menganalisis, belum berubahnya nasib nelayan di bawah kepemimpinan Jokowi, disebabkan karena belum terpenuhinya lima hal pokok yang menjadi parameter perbaikan nasib nelayan.

Kelima hal pokok itu adalah, anggaran yang dialokasikan untuk bidang kelautan dan perikanan tidak diarahkan untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakat pesisir skala kecil lintas profesi tersebut, meluasnya perampasan wilayah pesisir yang menjadi tempat tinggal dan ruang hidup masyarakat, minusnya ruang partisipasi masyarakat nelayan meski di lapangan sudah sangat signifikan kontribusinya, tidak dihubungkannya aktivitas perikanan skala kecil dari hulu ke hilir, dan tiadanya perhatian pemerintah terhadap relasi ABK dengan juragan/pemilik kapal.

Menurut Halim, kelima hal pokok tersebut harus segera dipenuhi oleh pemerintahan Jokowi, karena bisa membawa dampak signifikan untuk kehidupan nelayan. Momen untuk melakukan perbaikan itu, bisa dimulai dari sekarang bersamaan dengan peringatan hari nelayan nasional.

Kesejahteraan nelayan menjadi penting, karena nelayan memegang peranan penting dalam mengelola wilayah perairan nasional. Menurut catatan Badan Informasi Geospasial, dua pertiga wilayah laut Indonesia terdiri dari 13.466 pulau dan mencapai luas laut keseluruhan 5,8 juta km2. Dengan luas lautan sepert itu, potensi perikanan yang ada di dalamnya mencapai 6,5 juta ton.

Perampasan Pesisir

Perampasan pesisir yang meluas oleh sejumlah pihak, mempengaruhi kesejahteraan para nelayan. Kondisi iu ikut memengaruhi psikis para nelayan yang sangat bergantung pada wilayah lautan.

Pusat Data dan Informasi KIARA merilis fakta bahwa 25 kawasan pesisir di Indonesia yang direklamasi secara kumulatif telah menggusur sedikitnya 14.344 nelayan dan sekaligus 18.151 kepala keluarga. Akibatnya para nelayan tersebut harus mencari mata pencaharian yang baru setelah lahan utama untuk mencari nafkah dialihfungsikan menjadi daratan baru.

Ironisnya, dibalik tergusurnya lahan mata pencaharian para nelayan, ada peran pemerintah yang diketahui ikut mendukung program reklamasi tersebut. Di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat misalnya, pemerintah daerah setempat ikut menyokong program reklamasi melalui suntikan dana senilai Rp5 miliar. Kemudian, ada juga proyek serupa di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara yang merupakan proyek lanjutan senilai Rp731.850.000.

Data dalam Kertas Bersama menyebutkan bahwa perampasan wilayah pesisir/wilayah tangkap nelayan juga karena ada alokasi proyek pertambangan dan energi seperti pembangunan PLTU berkapasitas 35.000 megawatt di Batang dan Cilacap, Jawa Tengah.

Sejumlah fakta di atas menegaskan bahwa perampasan wilayah pesisir terus terjadi dari waktu ke waktu dan sulit untuk dibatasi karena ada dukungan secara tidak langsung dari pemerintah. Namun, aksi tersebut harus dihentikan karena akan berdampak buruk pada kehidupan nelayan yang mengandalkan kawasan pesisir sebagai wilayah tangkap mereka.

Tegakkan Nawa Cita

Halim mengatakan untuk bisa mencegah terjadinya aksi perampasan pesisir dan sekaligus memperbaiki kehidupan nelayan, cara yang bisa ditempuh adalah pemerintah segera menegakkan Nawa Cita, yaitu dengan (1) menghentikan seluruh proyek perampasan dan memastikan hak-hak konstitusional nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya, petambak garam dan pelestari ekosistem pesisir terpenuhi terkait dengan pengakuan hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

(2) Pemberantasan praktik IUU Fishing patut dilakukan secaa komprehensif, dimulai dengan merevisi kebijakan yang lemah, memperkuat koordinasi antar lembaga dengan menghilangkan ego sektoral, dan melakukan penuntutan dengan dasar hukum yang kuat.

(3) Mitigasi dampak dari sebuah kebijakan patut menjadi perhatian ekstra dan dijalankan oleh pemerintah untuk menjamin nelayan dan ABK kapal perikanan yang terdampak merasakan hadirnya negara.

(4) Mengakui keberadaan dan peran perempuan nelayan melalui pendataan sebaran, program dan alokasi anggaran khusus, dan memberikan politik pengakuan.

(5) Bersungguh-sungguh memberikan pelayanan peningkatan kapasitas dan pemberitan akses terhadap sumber modal (melalui bank perikanan), sarana produksi, infrastruktur, teknologi dan pasar kepada nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya, pelestrari ekosistem pesisir dan petambak garam.

(6) Menyegerakan penyusunan peraturan pemerintah berkenaan dengan partisipasi masyarakat di dalam memerangi praktek IUU Fishing. (7) Mengoreksi penyusunan anggaran kelautan dan perikanan berbasis proyek dan mengevaluasinya secara terbuka bersama dengan masyarakat.

(8) Meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan melakukan harmonisasi kebijakan sektoral lainnya di tingkat nasional, dan (9) menindak tegas pelaku perbudakan di sektor perikanan di Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,