“Ini terkadang masih diperparah dengan adanya peraturan di tingkat kebijakan dan pelaksanaan teknis yang tidak selaras,” papar Sri Puji Saraswati saat ujian terbuka program doktor Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Senin (30/03/2015) dalam rilis yang diterima Mongabay.
Dalam disertasinya berjudul “Pengembangan Metode Penetapan Status Kesehatan Perairan Sungai di Daerah Tropis Berbasis Eko-Hidraulik”, Sri menjelaskan prinsip konservasi oleh para ahli lingkungan cenderung mengarah pada preservasi berlebih. Akibatnya, sungai tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan lain. Sementara dari kaca mata pemanfaatan air, pengelola sungai cenderung menggolongkan sungai berdasar peruntukannya, seperti untuk air baku air minum, air irigasi, dan air industri.
Sri menilai, saat ini lebih komprehensif karena pendekatannya dengan eko-hidraulika yang berprinsip pada vitalisme lingkungan dengan menekankan harmoni, antara pemanfaatan untuk kemaslahatan manusia maupun menjaga lingkungan lestari.
Lebih lanjut, menurut Sri, untuk mendukung pendekatan ekohidraulik, kesehatan sungai harus dipantau secara rutin. Pemantauan perairan sungai umumnya dilakukan dengan mengukur parameter kimia, fisika, dan bakteriologi air sungai. Selain itu, diperlukan Indeks Kualitas Air (IKA) yang komprehensif untuk menggambarkan kesehatan perairan sungai agar pemantauan secara baku dapat dilakukan.
Melalui penelitian selama lebih dari lima tahun di perairan Sungai Gajah Wong, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, Sri berhasil mengembangkan IKAs (indeks kualitas air sungai). Indeks itu didasarkan pada sejumlah parameter kualitas air yang relatif sedikit menjadi indeks tunggal kesehatan perairan sungai.
“Dari 34 kualitas air yang dipantau dalam program air bersih, dipilih 18 yang paling lengkap dan sahih datanya,” kata Sri.
Selain IKAs, peneliti juga mengembangkan indeks biomonitoring ex-situ untuk mengukur tingkat toksisitas air sungai. Analisa ini menggunakan teknik AOD (aquatic organism environmental diagnostic) yang telah diadaptasi untuk diterapkan di Indonesia. Dua metode ini saling melengkapi dalam menentukan kesehatan sungai.
“Melalui IKAs yang komprehensif ini, pengendalian air di sumber polusi dan pengelolaan kualitas air sungai bagi kesehatan biota air dapat dilakukan lebih baik,” kata Sri.
Bersihkan Air Sungai Lewat” Mapak Toya”
Di Bantul, DI Yogyakarta ribuan petani asal Timbulharjo punya cara sendiri menjaga kelestarian sungai. Mereka melakukan kirab budaya ‘Mapak Toya’. Mereka mengenakan busana tradisional dan melakukan pawai seraya membawa 17 gunungan hasil bumi sebagai simbol persembahan hasil panen yang mereka dapatkan pada tahun ini menuju bendungan irigasi kemiri.
“Kegiatan kirab kali ini melibatkan 16 dusun diantaranya Dusun Mriyan, Kowen, Bibis, Gatak, Ngasem, Kepek, Ngentak, Dagan, dan Tembi,” kata Sunardi Wiro selaku ketua Gerakan Irigasi Bersih, pada Mongabay.
Ia menambahkan, kirab mapak toya atau menjemput air sebagai bagian dari gerakan irigasi bersih yang diprakarsai oleh Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Namun demikian, kirab budaya ini sesungguhnya untuk pertama kali dilaksanakan di Desa Timbulharjo melibatkan 2000-an petani dari 16 dusun.
“Kita akan melakukan kirab seperti bergiliran di seluruh desa di Bantul untuk mensukseskan gerakan irigasi bersih ini,” katanya.
Sunardi menambahkan, tujuan kirab mapak toyo ini untuk menyadarkan masyarakat tentangnya pentingnya budaya membersihkan irigasi dari sampah dengan tidak membuang sampah sembarangan ke sungai karena air yang ada di kali ini juga diperuntukan untuk pertanian.
Sementara itu, Kepala Desa Timbulharjo Iskandar, mengatakan ada sekitar 500-an hektar sawah yang ada di Desa Timbulharjo. Saat ini produksinya padi mencapai 7,5 ton per hektar. Oleh karena itu, lewat gerakan irigasi bersih ini diharapkan produksi padi bisa terus meningkat.
Peneliti Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Dede Sulaeman, mengatakan pihaknya memang menggalakkan gerakan irigasi bersih sebagai bentuk ajakan untuk membersihkan sampah di saluran irigasi. Soalnya, rata-rata sampah yang ada di Indonesia, sekitar 10 persennya berada di badan sungai. “Sisanya dibakar dan dibuang ke tempat pembuangan sampah,” katanya.
Dede menambahkan, pemerintah diketahui hanya mampu menangani sekitar 30-40 persen sampah secara keseluruhan. Sedangkan di daerah Bantul, kata Dede, sekitar 4-5 persen sampah yang bisa ditangani oleh pemerintah. Selebihnya sampah berada di badan sungai sehingga menyumbat saluran irigasi.
“FTP UGM mendorong masyarakat untuk bisa menyelesaikan masalah sendiri melalui gerakan irigasi bersih,” katanya.
Ia menambahkan, apabila sampah di badan sungai dan di saluran irigasi ini tidak dibersihkan justru sangat membahayakan karena sampah akan menupuk di lahan sawah pertanian. Bahkan sampah-sampah seperti kantong plastik yang berada di areal persawahan bisa menyebabkan lahan menjadi kurang subur serta mengandung bahan non organik dan itu bahan yang tidak diperlukan oleh tanah.