Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Animal Friends Jogja (AFJ) meluncurkan laporan investigasi mereka pada Maret 2015, berjudul “Pedagangan Anjing Untuk Konsumsi di Indonesia dan Resiko Penyebaran Rabies.” Laporan berjumlah 23 halaman menyebutkan perdagangan daging anjing untuk konsumsi bukan hal wajar, karena ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties / OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC), anjing tidak termasuk hewan potong untuk dikonsumsi manusia. Anjing sebagai makhluk sosial, hewan kesayangan atau pendamping manusia, apabila dikonsumsi manusia, menurut OIE dan CAC dianggap melanggar prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare).
“Jika anjing tidak terdaftar sebagai ‘hewan potong untuk dikonsumsi manusia’, sudah jelas bahwa tempat-tempat penjagalan anjing beroperasi secara Ilegal,” kata Anggelina Pane kepada Mongabay, saat aksi “Global Day of Action: International March to End Dog & Cat Meat Trade” di Nol Kilometer, Yogyakarta, Sabtu (04/04/2015).
Laporan itu menyebutkan dalam lima tahun terakhir, tiap hari mereka mendapatkan laporan dari masyarakat tentang pencurian anjing oleh orang bermotor, pengangkutan dan pembantaian anjing secara keji, warga yang tinggal dekat pejagalan tidak nyaman mendengar suara lolongan anjing, dan meningkatnya jumlah lapo/warung makan dengan menu daging anjing.
Dari laporan itu, masyarakat meminta JAAN dan AFJ untuk membantu menghentikan praktik-praktik kekejaman tersebut. Penyelidikan AFJ dan JAAN mendapati seluruh proses dari cara anjing-anjing itu dicuri, diangkut, disekap, dibantai dan tidak adanya standar higiene.
Tahun 2008, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti perdagangan anjing untuk konsumsi manusia berkontribusi terhadap penyebaran rabies di Indonesia terutama di Bali karena perdagangan tersebut mendorong anjing diangkut antar pulau. Hal ini juga dikaitkan dengan berjangkitnya rabies di Tiongkok dan Vietnam.
“Di Yogyakarta saja diperkirakan 360 ekor anjing dibunuh tiap minggunya. Kemudian kita harus mempertimbangkan bahwa Yogyakarta bukanlah daerah utama untuk perdagangan daging anjing,” kata Ina.
Di Manado dan Sumatera, di mana daging anjing dianggap ‘wajar’ untuk disajikan, mereka memperkirakan ada 1800 ekor anjing per minggu dikalikan lima, menjadi 3600 ekor anjing dikorbankan. Sedangkan di Jakarta, paling sedikit 2x jumlahnya dibanding Yogyakarta, yang berarti 720 ekor per minggu. Sehingga total ada ada sekitar 4680 anjing per minggu, 18.720 per bulan dan 224.640 per tahun dikorbankan hanya dari di 4 daerah di Indonesia.
Risiko Penyebaran Rabies lewat Daging Anjing
Mengkonsumsi daging anjing memperbesar terkena rabies. Di seluruh Asia, anjing untuk dikonsumsi biasanya diperoleh dari jalanan maupun lingkungan perumahan, yaitu anjing peliharaan yang dicuri atau terlantar dan tak bertuan, atau dipasok dari peternakan anjing. Di sebagian besar negara di Asia termasuk Indonesia, rabies bersifat endemik di kalangan populasi anjing dan anjing yang dikumpulkan dari jalanan yang tidak diketahui penyakit dan status vaksinasinya.
“Riset menunjukkan bahwa memasok, menernakkan, mengangkut, memotong, dan mengonsumsi anjing-anjing dalam skala besar memungkinkan pemencaran yang cepat dan luasnya kisaran rabies dan penyakit-penyakit lainnya, seperti kolera dan trikinelosis,” kata Ina.
Selama proses penjagalan, rabies dapat ditularkan ke manusia melalui beberapa cara, seperti cakaran dan gigitan, kontaminasi sayatan atau lecet-lecet di kulit, dan sentuhan mata dan bibir penjagal anjing sendiri yang terpercik cairan anjing.
Diketahui pada 2007, Departemen Kesehatan Hewan tingkat Distrik melaporkan 70 persen kematian wabah rabies di Ba Vi, Vietnam, karena gigitan anjing, dan 30% akibat terpapar pada waktu penjagalan.
Dalam laporan dijelaskan manajemen dan higienis yang buruk dari peternakan anjing skala besar di Korea Selatan dan di Tiongkok, mengkondisikan anjing rentan terinfeksi mikroba. Perkelahian anjing dalam peternakan itu juga meningkatkan penularan penyakit.
Hasil Invetigasi di Tiga Wilayah
Tim melakukan investigasi pada 12-23 restoran di Jakarta untuk mengetahui asal dan bagaimana anjing yang dijagal, jalur distribusi daging anjing, situasi keseluruhan di rumah jagal anjing. Karena semakin sulit mendapatkan anjing untuk dijagal, restoran itu lebih banyak mendapatkan suplai daging anjing dari penyuplai yang sama yaitu yang berlokasi di Jl. Letjen. Sutoyo, Gg. Bersama, RT.008/RW 08 Cililitan, Mayasari, Jakarta Timur dan dari Pasar Senen.
Dalam laporan disebutkan pasokan daging anjing berasal dari luar Jakarta seperti Bandung, Sukabumi, dan Cianjur. Bahkan kadang mendapatkan 40 anjing dari Bali.
Di Yogyakarta, lebih dari 50 warung penjaja menu daging anjing yang tersebar di wilayah Bantul hingga Sleman. Daging anjing dari penyuplai berasal dari Jawa Barat dan sekitar Yogyakarta.
“Investigasi mendalam kami lakukan ke penyuplai anjing hidup dan daging anjing terbesar di Yogyakarta dengan mengikuti perjalanan dari Yogyakarta ke Jawa Barat dan kembali ke Yogyakarta,” kata Ina.
Dalam laporan tersebut JAAN dan AFJ merekomendasikan kepada pemerintah daerah dan pusat untuk memberlakukan pelarangan perdagangan, penjagalan dan transportasi anjing untuk konsumsi di seluruh Indonesia. Masyarakat juga perlu diedukasi tentang risiko kesehatan dan penyebaran rabies dari perdagangan dan konsumsi daging anjing.
“Menegakkan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di praktik perdagangan anjing untuk dikonsumsi dan Menyusun rencana efektif untuk memberantas rabies dan menciptakan Indonesia Bebas Rabies di tahun 2020 sesuai komitmen Kementerian Kesehatan Indonesia yang disampaikan pada ajang International One Health Congress dalam laporan mengenai Zoonosis di Indonesia,” tambah Ina.
Pemerintah perlu mengedukasi tentang ketidakefektifan metode pemusnahan masal untuk memberantas rabies, menggalakan program vaksinasi rabies yang berkelanjutan sebagai satu-satunya metode pemberantasan rabies yang efektif dan pada akhirnya akan dapat meniadakan rabies di Indonesia.
Aksi Serentak di Beberapa Kota
JAAN dan AFJ menggelar aksi nasional menghentikan perdagangan daging anjing di seluruh Indonesia sebagai bagian dari “Global Day of Action: International March to End Dog & Cat Meat Trade” pada Sabtu (04/04/2015). Aksi di Yogyakarta diiringi aksi teatrikal dan penyerahan berkas laporan investigasi perdagangan daging anjing di Indonesia & DVD kampanye terbaru dari AFJ dan JAAN kepada Pemprov dan Dinas Peternakan DIY.
Aksi simpatik didukung Jogja Domestic Cat Lovers (JDCL), Animal Lovers Indonesia, Klub Siberian Husky Indonesia, seniman pertunjukan dari Kebelet Teater, Fajar Merah (musisi dan putra dari Wiji Thukul) dan K9 Polda DIY, serta para penggemar band Shaggydog yang sejak tahun 2013 telah aktif bersuara sebagai duta kampanye “Anjing Bukan Makanan”.
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian DI Yogyakarta, Suparno kepada Mongabay mengatakan Yogyakarta sudah bebas rabies sejak tahun 1997 hingga saat ini. Mereka mendukung aksi tersebut sebagai edukasi kepada masyarakat tentang konsumsi daging anjing berpotensi terkena penyakit rabies. Mereka juga mengkaji laporan AFJ sebagai bahan penyiapan peraturan daerah. “Kita terus mengkampanyekan bahwa anjing bukan untuk di konsumsi,” kata Suparno.
Ia menambahkan, pemprov punya pos lalu lintas pengendalian hewan untuk memantau distribusi anjing ke Yogyakarta. Secara aturan pemerintah bahwa hewan yang masuk ke suatu daerah harus ada ijin dari pemerintah yang mengirim maupun daerah yang dituju. “Karena masuknya lewat jalur tikus atau ilegal, sehingga ini menjadi kesulitan kami dalam penegakan hukumnya,” tambahnya.
Selain itu, pemerintah Yogyakarta belum bisa melarang perdagangan makanan anjing yang ada saat ini dan tidak bisa melakukan penyitaaan karena belum ada aturan. Mereka hanya melakukan penyampaian informasi adanya dampak penyakit rabies dan lainnya lewat konsumsi anjing.