Lahan pertanian di Rancaekek, Jawa Barat, banyak rusak parah karena ulah pabrik yang membuang limbah sembarangan. Warga menderita karena kualitas padi buruk, harga jatuh dan kesulitan mendapatkan air bersih.
Di tengah kesulitan warga ini, pemerintah daerah bukan mencari solusi memperbaiki lingkungan malah menilai sawah tak produktif maka lebih baik menjadikan kawasan industri. Hal ini seperti dilontarkan Wakil Gubernur Jabar, Deddy Mizwar, beberapa waktu lalu. Dia berwacana membuat kawasan industri di Rancaekek, Bandung Timur. Dedi mengatakan, lahan pertanian Rancaekek sudah kritis dan tak produktif.
Para petani Rancaekek pun protes dengan rencana itu, terlebih kerusakan lahan pertanian selama ini dampak industri yang ada.
Nandang Supriyatna, warga Dusun Nyalindung, Desa Linggar Rancaekek mengatakan, sebaiknya pemerintah fokus mengatasi pencemaran limbah tekstil daripada mewacanakan pembangunan kawasan industri baru.
“Kami tidak setuju jual tanah ke pabrik. Masyarakat menggantungkan hidup dari sawah. Kalau kerja di pabrik susah. Apalagi sudah tua. Yang masih muda saja harus nyogok dulu,” katanya.
Dia mencontohkan, keadaan saat ini, di pabrik tekstil PT Kahatex, pekerja justru mayoritas pendatang. Limbah dibuang mencemari lahan pertanian hingga rusak parah. “Biasa satu tumbak bisa menghasilkan 10 kg padi. Sekarang paling empat kg. Kualitas padi juga tak bagus,” kata Darma, warga lain.
Darma memperlihatkan, padi dari sawah miliknya. Bulir padi tampak lebih kecil dan warna lebih hitam. Tidak kuning cerah seperti kebanyakan padi. Hal ini, katanya, berimbas pada harga jual. Padi kualitas bagus Rp700.00 per kuintal. Karena kualitas buruk, hanya Rp350.000 per kuintal.
“Rasa nasi kaya’ makan jagung atau sagon. Air disini juga jadi keruh. Kulit jadi gatal. Untuk minum dan masak harus beli.”
Menurut penelitian Greenpeace Asia Tenggara dan Walhi Jabar 2012, sawah tercemar seluas 1.215 hektar, ditambah 727 hektar saat banjir. Hal ini menyebabkan produktivitas sawah menurun 1-1,5 ton per hektar tiap musim. Kerugian mencapai Rp3,65 miliar per tahun.
“Wacana pemerintah mengalihfungsikan dan membeli lahan produktif yang terpapar limbang B3 di Rancaekek merupakan langkah tidak tepat. Karena hanya akan mengalihkan dan menambah masalah,” kata Ketua Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (Pawapeling), Adi M Yadi.
Pawapeling mulai mengadvokasi warga Rancaekek sejak 2007. Mereka berusaha membantu memulihkan kembali lahan pertanian warga.
Selama ini, pemerintah terkesan membiarkan masalah terjadi berlarut-larut. Seharusnya, ada upaya penegakan hukum dan solusi permanen.
“Alihfungsi sawah menjadi kawasan industri bukan solusi. Ini tidak sesuai semangat pemerintah ingin mewujudkan swasembada pangan.”
Upaya penyuburan lahan
Pawapeling melakukan bio remediasi di sawah milik masyarakat yang terpapar limbah. Lahan seluas 1.400 meter persegi di Desa Bojongloa jadi percontohan.
“Melalui bio remediasi, kami mencoba memulihkan kembali kontur tanah dari logam berat. Sebelum cocok tanam, sebar kotoran hewan sapi dan kamping selama satu hari. Lalu ditraktor dan diberi pupuk cair organik hasil olahan kita.”
Proyek percontohan sudah berjalan dua setengah bulan. Secara fisik dan kontur tanah ada perubahan. Tanah yang keras, jadi lentur dan mulai subur. Ke depan, proyek ini akan disebarkan ke tiga desa lain, yakni Sukamulya, Jelegong dan Linggar.
“Secara bertahap. Kita juga ukur kemampuan, jadi gak bisa serentak. Ini kegiatan sosial murni. Kita juga siapkan punyuluhan dan pendampingan sampai petani bisa mandiri,” katanya.
Bio remediasi, katanya, jadi solusi mengatasi lahan sawah yang rusak. Ini jauh lebih ampuh dibandingkan mengalihfungsikan sawah untuk industri.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan mengatakan, alihfungsi lahan pertanian di Rancaekek menjadi kawasan industri hanya menguntungkan pengusaha besar.”Tanah dijual murah ke perusahaan. Ini mengancam petani. Alihfungsi akan sebabkan perpindahan bajir ke daerah lain.”
Dadan mengatakan, lahan pertanian di Rancaekek sebenarnya produktif, hanya tercemar limbah industri. Untuk itu, harus dituntaskan penanganan pencemaran. “Bukan malah mewacanakan alihfungsi kawasan.”
Seharusnya, katanya, upaya penegakan hukum berjalan. “Proses ganti rugi juga pemulihan lingkungan. Hingga efek jera bagi perusahaan pencemar lingkungan.”
Dodo Sambodo, Asdep Pengaduan dan Penanganan Kasus Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, pernyataan wagub tidak tepat.
“Wagub harusnya berikan kepercayaan struktural ke bawah. Karena ada mekanisme perencanaan pembangunan daerah melalui musrembangda. Dari tiap desa berikan masukan. Jangan tiba-tiba bilang tata ruang mau diubah.”
Alihfungsi lahan pertanian Rancaekek menjadi kawasan industri, katanya, akan berdampak ancaman stok pangan di Jabar.
“Harusnya Wagub lihat contoh yang dilakulan Pawapeling. Lahan itu dengan proses bioremediasi bisa diperbaiki.”
Solusi menyeluruh
Dodo mengatakan, mengatasi persoalan Rancaekek, tidak bisa dilihat dari sisi pencemaran. Masalah dari hulu sampai ke hilir harus diperhatikan dan diselesaikan.
“Untuk kasus Kahatex, di KLHK ada perencanaan jangka panjang menengah. Kami bagi perencanaan ini atas kesepakatan pusat dan daerah.”
Dia menolak anggapan jika penyelesaian pencemaran air Kahatex mandek. “Proses terus berjalan meski lamban.”
Menurut dia, mempertemukan berbagai pihak antara pusat dan daerah tidak bisa cepat. “Ada proses terus dibangun dan tidak mudah. Masalah pencemaran antara pusat dan daerah saja selalu ada tumpang tindih wewenang.”
Saat ini, Kahatex sudah mau investasi perbaikan manajemen, seperti perbaikan alat dan membangun IPAL.
“Sudah mulai dipasang. Nanti tidak ada lagi pencemaran. Tanggung jawab KLHK saat alat tidak dipasang, ada upaya penegakan hukum dan administrasi.”
Bagian lain, menangani masyarakat terdampak, paparan pencemaran dan peroses perhitungan ganti rugi.
“Sudah proses perdata yang terus berjalan. Ada tim khusus menangani ini. Mereka bikin hitung-hitungan. Nanti ada kesepakatan ganti rugi,” katanya.
Bagian terakhir, kegiatan langsung berhubungan dengan masyarakat. “Ini paling susah. Seringkali ada perbedaan pendapat dari masyarakat dalam melihat persoalan.”
“Dengan Pawapeling, meminta masyarakat bentuk kegiatan bersama seperti bioremediasi. Lalu Walhi bantu advokasi. Semua harus berjalan beriringan.”