,

Pemprov Harus Segera Ubah Perda Pengelolaan Kelautan. Kenapa?

Pemerintah Provinsi diminta untuk segera mengubah peraturan daerah yang mengatur tentang tata kelola wilayah kelautan di masing-masing provinsi, karena saat ini peraturan yang digunakan masih mengacu pada Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

“Seharusnya, sekarang sudah diubah, karena peraturan yang ada sekarang mengacu pada Undang-Undang No 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,” demikian diungkapkan Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono Diposaptono di Hotel Peninsula, Rabu (15/04).

Menurut Subandono, dalam UU No.32/2004 kewenangan yang diberikan pemprov dalam mengelola kawasan perairan hanya 4 sampai 12 mil saja. Sementara, menurut UU No.23/2007, Pemprov diberi kewenangan untuk mengelola dari 0 hingga 12 mil. Karena itu, pemprov di seluruh Indonesia harus segera mengubah peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang hal tersebut.

Namun demikian, Subandono menjelaskan, walau sudah ada desakan untuk segera mengubah perda, hingga saat ini baru lima pemprov yang secara resmi sudah menyusun perubahan perda. Mereka adalah Pemprov DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Maluku Utara.

“Memang baru lima yang sudah menyusun perubahan perda, selebihnya masih dalam proses. Kita meminta semuanya untuk segera menyelesaikan prosesnya karena itu terkait dengan pengelolaan wilayah laut di masing-masing provinsi. Saat ini, tinggal Papua saja yang belum menyusun sama sekali,” jelas Subandono.

Peraturan Pemerintah

Sementara itu menurut Dirjen KP3K KKP, Sudirman Saad, pengelolaan wilayah laut dan pulau-pulau terpencil memang harus diperhatikan lebih baik lagi oleh pemerintah dan semua stakeholder yang terlibat. Pasalnya, saat ini sudah semakin banyak investasi yang ditanamkan di kawasan tersebut.

“Harus ada kepastian hukum terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Karena ini menyangkut dengan investasi yang akan ditanamkan di kawasan tersebut nantinya,” ucap Sudirman.

Sudirman menjelaskan, karena kepastian hukum sangat penting, dia berharap peraturan pemerintah bisa segera disusun.”Mengingat izin lokasi dan izin pengelolaan WP3K sangat terkait dengan beberapa isu pokok yang terjadi di lapangan,” ungkap dia.

Terkait hal tersebut, Direktur Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil KKP, Ridho Batubara mengatakan, saat ini tanpa kepastian hukum, minat swasta untuk menanamkan investasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil masih sangat tinggi. Bahkan, saat ini sudah ada lima investor yang setuju untuk berinvestasi di kawasan tersebut.

“Memang saat ini ada lima kawasan yang akan dikembangkan oleh investor. Kita memang menargetkan tahun ini ada lima kawasan yang bisa dikerjasamakan ke pihak lain. Dan kita bersyukur tahun ini bisa terwujud,” tutur Ridho.

Lima kawasan yang akan dikembangkan itu adalah, Pulau Liungan di Pandeglang, Banten; Pulau Tengah di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta; Pulau Bawah di Anambas, Pulau Gili Gede dan Pulau Gili Kondo di Lombok Timur.

“Ada yang dibangun resort, yacht, dan ada juga hotel villa. Total investasi yang akan ditanamkan di pulau-pulau tersebut mencapai Rp5 triliun,” ungkap Ridho di Hotel Peninsula.

Tanpa payung hukum yang jelas saat ini, Ridho mengatakan, pihaknya masih terus berupaya untuk menarik minat dan melayani permintaan pihak swasta yang ingin mengembangkan kawasan terpencil dan pulau-pulau kecil. Kata dia, saat ini masih ada beberapa investor yang harus mengantri untuk bisa berinvestasi.

Reklamasi Pantai

Selain pengembangan kawasan terpencil dan pulau-pulau kecil, saat ini kawasan pesisir juga dihadapkan pada pro dan kontra pembangunan kawasan lepas pantai menjadi daratan baru atau reklamasi. Karena, saat ini sejumlah kota besar sedang gencar mengkampanyekan rencana reklamasi wilayah pantai mereka untuk kepentingan perluasan wilayah.

“Dunia itu semakin padat penduduknya, sementara pada saat yang sama luas wilayah tidak mengalami penambahan. Ini yang menjadi dasar beberapa kota besar merencanakan program reklamasi. Karena dengan cara itu, masalah bisa teratasi,” tutur Subandono.

Selain DKI Jakarta yang masih terus diperdebatkan rencana reklamasinya, Subandono menjelaskan, ada juga beberapa kota lain yang juga memiliki rencana serupa, yaitu Balikpapan, Kalimantan Timur; Benoa, Bali; Cirebon, Jawa Barat; dan Makassar, Sulawesi Selatan. Rencana beberapa kota tersebut, dinilai Subandono merupakan hal yang wajar karena biaya untuk menambah wilayah di laut dan membeli lahan baru di darat jauh lebih murah.

Namun demikian, walau dianggap lebih ekonomis, reklamasi harus tetap memerhatikan pada tiga hal, yaitu segi lingkungan, ekonomi dan sosial.”Jika tidak ada salah satu aspek saja dari ketiga itu, maka tidak layak untuk dilakukan reklamasi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,