Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menolak untuk memberikan izin usaha kepada investor asing yang akan membangun usaha perikanan di Indonesia. KKP berkomitmen untuk memberikan kesempatan kepada investor dalam negeri. Cara tersebut diyakini bisa menyelamatkan industri perikanan yang saat ini dinodai oleh aksi illegal fishing.
Menteri KKP Susi Pudjiastuti mengakui saat ini ada banyak investor asing yang menyatakan ketertarikannya berinvestasi di Indonesia. Salah satunya, adalah investor dari Vietnam yang tertarik berinvestasi budidaya lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
“Tapi saya menolak karena itu cuma akal-akalan mereka saja untuk berinvestasi disini. Karena kan mereka sudah tidak mendapatkan kiriman dari Indonesia lagi, makanya kemudian mereka mendirikan usaha di Lombok,” ujar Susi menjelaskan rencana investor Vietnam tersebut di ruang Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, di Jakarta, Kamis (16/04/2015).
Selain itu, jika izin diberikan, produksi lobster Vietnam juga akan semakin berkembang dan bisa menjadi yang terbesar di dunia. Padahal, dengan kapasitas produksi saat ini mencapai 3.000 ton saja, Vietnam harus mengimpor bibit lobster dari Indonesia.”Makanya mereka memilih berinvestasi di Indonesia karena bibitnya sudah tidak didapat lagi dari Indonesia,” tandasnya.
Menurut Susi, walau investor Vietnam kondisinya baik-baik saja, namun dia juga tetap mempertimbangkan untuk memberi izin kepada mereka. Karena, dia berkeinginan kalau pengembangan sektor perikanan di seluruh Indonesia harus dilakukan oleh orang atau instansi dari Indonesia.
“Kalau di Lombok akan dikembangkan lobster, kenapa harus bermitra dengan investor dari Vietnam. Lebih baik kan bermitra sama orang Lombok saja atau investor lain dari Indonesia,” ujar Susi.
Dengan bermitra langsung bersama orang lokal, Susi berharap penyelundupan lobster yang masih marak terjadi bisa terus dicegah dan dihilangkan. Sehingga, ke depannya lobster bisa menjadi andalan untuk mata pencaharian para nelayan di Tanah Air.
Selain di Lombok, Susi juga menolak memberikan izin impor ikan kepada sejumlah perusahaan asing dari Filipina yang berdiri di Bitung, Sulawesi Utara. Susi menolak, karena para investor asing tersebut akan mengimpor ikan segar dari Papua Nugini.
“Buat apa mereka seperti itu? Sementara kita tahu ikan dari Papua Nugini berasal dari perairan Indonesia yang diambil secara ilegal. Jadi, mereka mengambil ikan ilegal, diolah di Indonesia dan dijual di luar negeri,” ungkap Susi.
Jika izin pendirian usaha diberikan untuk investor asing dari Filipina, Susi meyakini, Indonesia akan dirugikan secara materi dan waktu. Karena, ikan yang dieskpor keluar nantinya bergaransi Indonesia dan itu menguntungkan investor dari Filipina yang negaranya sudah tidak dipercaya di dunia internasional untuk mengekspor ikan segar.
“Thailand dan Filipina itu sudah tidak memiliki kredibilitas lagi di dunia internasional, khususnya AS dan Eropa. Makanya, mereka memanfaatkan Indonesia untuk pengemasan ulang ikan dari Papua Nugini,” jelas dia.
Dengan pelarangan tersebut, Susi berharap para nelayan bisa terus mengembangkan diri hingga bisa berjaya di daerahnya masing-masing.”Saat ini lobster contohnya sedang menuju swa sembada. Kita ingin para nelayan bisa berdiri di kaki mereka sendiri. Tak perlu berdiri di kaki orang lain lagi,” tegasnya.
Pasokan dalam Negeri Terbatas
Sementara itu menurut Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saut Parluhutan Hutagalung, dua dari lima investor penanaman modal asing (PMA) yang sudah mengajukan permohonan izin mendirikan usaha di Bitung, diketahui memang ingin mengimpor ikan dari Papua Nugini.
Alasannya, karena sumber daya perikanan dari Bitung sudah tidak bisa memenuhi lagi. Sementara, kapasitas produksi mereka dalam sehari cukup besar antara 80 hingga 100 ton per hari per perusahaan. Karena itu, PMA tersebut memilih untuk mengimpor dari Papua Nugini.
“Tapi kita tidak berikan izinnya, karena memang Papua Nugini itu kan negara tetangga dan wilayah perairannya juga berdekatan dengan kita. Kita mau ya PMA mendapatkan ikan dari wilayah Indonesia,” ujar Saut.
Penyebab turunnya pasokan ikan, menurut Saut karena saat ini mereka tidak bisa mengoperasikan kapal-kapal besar mereka untuk berlayar. Seluruh kapal mereka saat ini sedang masuk dalam proses evaluasi oleh KKP karena status kepemilikan kapal mereka adalah eks asing.
Perusahaan milik PMA di Bitung tersebut, kata Saut, mengajukan izin impor ikan selama enam bulan. Itu artinya, mereka meminta impor sekitar 18 ribu ton per perusahaan.”Itu jumlah yang banyak dan kita merasa itu tidak layak untuk dilakukan impor sebanyak itu,” ujar dia.
Alasan lain yang mendasari penolakan izin impor yang diajukan PMA di Bitung, menurut Saut, karena KKP saat ini sedang berusaha menerapkan pencegahan beredarnya ikan-ikan yang berasal aksi illegal fishing. Kata dia, ikan-ikan yang berasal dari dalam ataupun luar negeri akan diawasi dengan ketat legalitasnya.
“Kita tidak mau tangkapan laut dari praktek illegal fishing masuk ke pasar mana pun, termasuk Indonesia. Kita juga kan sedang menerapkan proses seritifikasi untuk semua hasil tangkapan laut,” tegas dia.