,

SVLK Dicabut, Sama Saja Hancurkan Industri Meubel Indonesia

Rencana Presiden Joko Widodo untuk menghapuskan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dinilai sebagai langkah yang salah. Pasalnya, kebijakan SVLK pada kenyataannya saat ini sangat membantu pertumbuhan industri kayu atau meubel yang ada di Indonesia. Karenanya, SVLK sudah sepantasnya untuk dipertahankan sebagai kebijakan yang mendukung industri meubeul.

Menurut anggota Jaringan Pemantau Independen (JIPK) Mardi Minangsari, jika Jokowi bersikukuh akan menghapus kebijakan SVLK, maka itu artinya Presiden sedang berusaha untuk menghancurkan sistem tata niaga meubel di Indonesia dan dunia internasional.

“Harusnya SVLK itu dipertahankan kebijakannya. Karena, kebijakan tersebut akan memberi dampak yang bagus untuk perkembangan industri meubel nasional. Jika dihapus, justru itu akan mengancam industri tersebut,” jelas perempuan yang biasa disapa Minang itu dalam diskusi yang digelar di Tjikini 17, Jakarta, pada Jumat (17/04/2015).

Minang mengungkapkan, berkat SVLK, tata niaga meubel di Indonesia dinilai sangat baik di mata internasional. Sehingga, reputasi kayu dari Indonesia dalam perdagangan internasional bisa diterima dengan baik dan mendapat kepercayaan penuh. Kondisi tersebut, kata dia, seharusnya bisa dipertahankan dan bukan dihancurkan.

Berkat kepercayaan pasar internasional juga, Minang menjelaskan, industri meubel Tanah Air saat ini terus bergerak naik dan semakin membaik dari hari ke hari. “Jika dicabut kebijakannya, maka itu sama saja menjatuhkan kredibilitas Indonesia di pasar internasional. Daya saing meubel dari Indonesia akan melemah dengan cepat,” tutur dia.

Tidak hanya itu, Minang menilai, rencana pencabutan kebijakan SVLK juga pada akhirnya akan berdampak negatif untuk industri meubel nasional, karena pangsa pasarnya akan ikut mengerucut.”Dengan kondisi sekarang ada SVLK saja, pangsa pasar kecil, apalagi kalau nanti sudah dicabut, pasti akan semakin mengerucut lagi,” tandas dia.

“Sangat disayangkan saja jika Presiden merencanakan begitu. Saat negara lain seperti Vietnam, Myanmar dan bahkan Malaysia, membuat SVLK sendiri, Indonesia yang sudah ada malah akan dicabut. Kita akan semakin tertinggal saja,” tambah dia.

Perlindungan Industri Kecil dan Menengah

Menyikapi penilaian Presiden Jokowi yang menyebut kebijakan SVLK  mengganggu perajin kecil, Asosiasi Industri Permebeulan & Kerajinan Indonesia (Asmindo), berpendapat bahwa itu merupakan penilaian yang salah. Karena, yang dibebani untuk memiliki SVLK itu adalah perajin di hulu.

“Sementara, kalau perajin kecil ya tidak diharuskan memiliki SVLK. Mereka cukup mendapatkan surat rekomendasi saja. Jangan sampai ada salah arti tentang SVLK. Karena, kebijakan tersebut pada kenyataannya sangat membantu sekali untuk industri meubel di Indonesia,” ujar Widayati Soetrisno, anggota Asmindo.

Widayati menjelaskan, kalaupun perajin kecil akan menebang pohon untuk diambil kayu, itu juga tidak diwajibkan untuk memiliki SVLK, tapi cukup melengkapi dokumen konfirmasi saja.”Namun, untuk mendapatkan itu juga tidak gampang. Kalau mau gampang, ya perajin kecil bisa menebang, asalkan itu di lahan sendiri pohonnya,” tutur dia.

Menurut Widayati, kekhawatiran Presiden Jokowi sangat tidak beralasan jika memang yang jadi masalah adalah perajin kecil. Karena, pada kenyataannya ada solusi untuk dipecahkan secara bersama dan itu bersifat membantu.

“Kalau kebijakan SVLK benar akan dicabut, bagaimana dengan nasib meubel kita di pasar internasional seperti Eropa, AS dan Jepang? Untuk Eropa saja kita sudah mendapatkan 40 persen dari total 100 persen pasar ekspor Indonesia. Itu artinya, kita terancam kehilangan pemasukan hingga 40 persen dari Eropa saja,” papar dia.

Karena itu, Widayati menilai akan ada kontradiksi jika kebijakan SVLK benar dicabut. Pasalnya, beberapa waktu lalu Kementerian Perdagangan menargetkan nilai ekspor Indonesia dari meubel meningkat hingga USD5 miliar. ”Tahun 2013 realisasinya USD1,3 miliar. Walau tahun target dari Kemendag cukup sulit, namun bagi industri meubel nasional itu menjadi tantangan karena pasar internasional sedang bagus merespon produk meubel kita,” ungkap dia.

Telaah Kembali

Sebelum mencabut kebijakan SVLK, sebaiknya Presiden menelaah kembali seperti apa kebijakan SVLK dan apa manfaat serta negatifnya untuk industri meubel di Indonesia. Jika itu sudah dilakukan, maka Presiden boleh memutuskan apakah akan dicabut atau dipertahankan.

“Persoalan SVLK ini harus dikomunikasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pihak lain yang terkait. Harus diperjelas dulu bagian mana yang menghambat dan tidak boleh begitu saja dicabut,” demikian pendapat Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagyo.

“Presiden Jokowi harus punya visi yang lebih panjang, karena jika kebijakan ini dihapus, maka tujuan SVLK untuk menertibkan tata usaha kelola kayu hingga menekan illegal logging dan sekaligus meningkatkan daya saing usaha di tingkat internasional, sama sekali tidak akan tercapai,” tambah dia.

Oleh karena itu, sejumlah organisasi yang terdiri dari Asmindo, AMAN, FWI, ICEL, JPIK, PBH KEMITRAAN dan HUMA, mengeluarkan sikap bersama agar kebijakan SVLK dipertahankan.

Mereka juga menyerukan penguatan implementasi SVLK untuk mencapai tujuannya secara tepat dengan mereformasi sistem perizinan dan memperkuat sistem insentif dan disinsentif bagi dunia usaha kecil dan menengah, serta agar dibuat kebijakan terobosan yang pro perlindungan hutan dan lingkungan hidup melalui kebijakan pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,