Pemerintah Indonesia menyatakan, keseriusan dalam pengembangan energi terbarukan guna menggantikan energi fosil yang selama ini menjadi sumber utama. Pada 2025, pemerintah menargetkan sumber energi terbarukan bisa mencapai 25%. Para investorpun diajak masuk ke dalam investasi energi hijau ini. Untuk itu, berbagai insentif fiskal dan non fiskal pun disiapkan.
“Betapa penting energi terbarukan. Kalau kita lihat penduduk Indonesia itu akan mencakup 3,5% penduduk dunia tetapi candangan fosil kita jauh dari angka itu. Pengembangan energi terbarukan itu keniscayaan bagi Indonesia,” kata Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, kala jumpa pers terkait Tropical Landscapes Summit 2015, di Jakarta, Rabu (24/4/15). Tropical Landscapes Summit merupakan ajang menarik para investor masuk ke berbagai sektor investasi di Indonesia, terutama investasi hijau.
Dia menjabarkan, betapa pasokan energi fosil Indonesia terbilang kecil, hanya 0,2% dari cadangan dunia, gas 1,2% dan batubara—yang selama ini menjadi andalan ekspor—hanya empat sampai lima persen dari pasokan dunia. “Kalau andalkan fosil sudahlah jumlah sedikit dan pada waktunya akan habis. Tak ada pilihan lain kecuali menengok pada energi terbarukan yang akan terus tersedia,” ujar dia.
Sudirman memberikan gambaran potensi-potensi energi terbarukan di Indonesia, yang begitu besar, seperti geothermal 29 gigawatt, hydro 75 GW, tenaga surya 112 GW, energi laut 60 GW, biomas 32 GW dan bio fuel 32 GW.
Dari rencana pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW, sekitar 40% energi terbarukan. Dia mengakui, porsi terbesar, atau sekitar 60% masih pembangkit batubara.
“Karena yang siap infrastruktur energi fosil. Namun insentif nyata, begitu masuk ke energi terbarukan, sebetulnya tak ada batas. Karena seterusnya ada basis yang bisa dibangun. Untuk sementara porsi energi terbarukan memang kecil.”
Meskipun capaian sumber energi terbarukan saat ini, baru mencapai enam sampai tujuan persen, tetapi dia yakin ke depan akan terus meningkat. Pemerintahpun, katanya, menargetkan dalam 2015, minimal 25% dari energi terbarukan. “Sebagai target antara pada 2019, berharap 12-15% energi terbarukan.”
Dia menyadari, target sebesar itu akan sulit tercapai kalau bekerja dengan business as usual. “Karena itu akan banyak terobosan-terobosan.” Tahun depan, katanya, sebagai pendorong, pemerintah akan mengajukan anggaran signifikan buat pengembangan sektor ini.
Dia memberikan gambaran, data BP REDD+, ada sekitar 59 juta lahan kritis yang bisa didorong menjadi kebun atau hutan energi. “Sesuatu yang selama ini diabaikan.”
Sebagai kalkulasi awal, katanya, kalau bisa menghasilkan satu juta hektar kebun energi atau hutan energi maka bisa menghasilkan 100 ribu barrel green diesel. “Artinya, sama dengan hampir 10% dari produksi minyak. Menemukan 10% minyak itu sulitnya bukan main. Apalagi zaman sekarang ketika pusat-pusat minyak ada di laut dalam dan tempat yang sulit. Jadi, mengubah orientasi fosil menuju green energy itu sesuatu yang akan lebih punya potensi dan layak dilakukan.”
Investasi menarik
Potensi yang besar ini, katanya, bagi bisnis bisa menjadi ladang investasi yang menarik. “Kalau kita serius buka kesempatan bangun demand, bangun industri bidang-bidang energi terbarukan maka Indonesia akan jadi sandaran investasi menarik,” kata Sudirman.
Dia mengatakan, dari dialog-dialog awal, minat investor masuk ke energi hijau sangat besar. Untuk itu, dia menyambut baik Tropical Landscapes Summit 2015, pada 27-28 April nanti dengan harapan bisa mengundang banyak investasi energi hijau. “Kita di ESDM sambut baik dan antusias. Di sanalah pemerintah bisa jelaskan rencana pemerintah ke depan. Saya yakin minat investor untuk masuk ke energi hijau sangat besar.”
Salah satu yang akan dibangun di Indonesia, katanya, industri penunjang energi terbarukan. Menurut dia, industri energi terbarukan tak akan berlanjut kala industri penunjang tak dibangun.
Selama ini, kata Sudirman, program energi terbarukan berjalan sederhana. “Membeli barang, taruh di lokasi, lalu berikutnya kala pemeliharaan datang, tak dilakukan. Hingga banyak peralatan mubazir. Kita harus cari cara baru. Caranya, kita create market, industri akan ikut. Jadi bagaimana pabrik solar cell itu ada di Indonesia. Itu kita undang masuk, lalu turbin angin. Ini yang akan kita bangun.”
Insentif
Menurut Sudirman, guna menarik investor masuk ke energi terbaru, pemberian insentif fiskal maupun non fiskal sangat penting. “Soal insentif, harus bicara dengan Menteri keuangan. Tapi hal-hal yang sifatnya fiskal sebenarnya sudah ada, misal beri pengurangan pajak pada produk-produk energi hijau. Ini akan diperjelas. Ini akan terus dikembangkan. Ke depan akan makin jelas poin-poin apa yang bisa kita berikan kepada dunia investasi,” katanya.
Franky Sibarani, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan, beberapa kebijakan fiskal yang sudah dicanangkan buat green energy, seperti tax holiday bagi industri bio mill, bio fuel, pembebasan bea impor buat alat dan produksi. Lalu tax holiday kepada perusahaan juga pembangkit-pembangkit listrik tenaga terbarukan, pengusahaan tenaga panas bumi, pengelolaan dan pembuangan sampah sampai impor material atau alat industri terbarukan.
Untuk non fiskal, katanya, pemerintah lewat BKPM, sudah menyediakan pelayanan terpadu satu pintu. “Kami akan berikan dukungan terhadap proses terkait investasi hijau, 11 kawasan ekonomi khusus. Ada delapan di lokasi lama dan 11 yang baru. Ini peluang investasi bagi investor yang akan diundang,” katanya.
Tropical Summit
Franky mengatakan, Tropical Landscapes Summit ini berbeda dengan World Economic Forum (WEF). “Event ini fokus pada mengundang investasi dalam koridor green investment. Yang diundang lebih luas dari seluruh dunia. Dari pelaku usaha, perbankan sampai organisasi non pemerintah,” katanya.
Selain energi, katanya, ada beberapa sektor potensial untuk investasi hijau seperti pertanian, perikanan, kehutanan juga pariwisata. “Di sini, bagaimana menarik investasi tetapi ramah lingkungan.”
Dia menjabarkan, target investasi Indonesia dalam lima tahun ke depan sebesar Rp3.500 triliun. Sedang capaian periode 2010-2014, Rp1.500 triliun. “Di sini memang kita perlu hasil yang besar dalam menarik investasi hijau. Kita dorong ada insentif-insentif yang terkait dengan investasi ramah lingkungan ini.”