Kerusakan hutan di Indonesia diawali dengan pemberian dan pembagian konsesi hutan oleh rejim yang berkuasa. Jutaan hektar hutan didistribusikan tanpa mempertimbangkan hilangnya berbagai keanekaragaman hayati dan dampak pembukaan hutan. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana inisiatif global digulirkan untuk menyetop kerusakan lebih jauh hutan dan lahan di Indonesia. Apakah ada dampak setelah program ini dilakukan?
Didorong oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim tahun 2007 [1] diadopsilah program yang sekarang dikenal dengan nama REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, Plus Conservation), atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (plus) Konservasi. Tujuan REDD+ adalah “menghitung nilai dari karbon yang tersimpan di hutan, serta menawarkan insentif bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi dari lahan hutan dan tertarik untuk berinvestasi di jalur rendah karbon dalam rangka pembangunan berkelanjutan.” [2]
Dengan kata lain, REDD+ menyediakan kerangka kerja antar negara, termasuk pelibatan negara berkembang untuk mendapatkan bayaran (lewat sejumlah komitmen pembayaran berbasis kinerja, yang tergantung pada kesepakatan antara negara) untuk mengurangi laju deforestasi. Dana pembayaran ini mungkin berasal dari anggaran bantuan luar negeri dari negara-negara seperti Norwegia dan Australia, investasi dari perusahaan swasta, atau kombinasi keduanya. [3] [4]
Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bilateral REDD+ pada tahun 2010. [5] Berdasarkan perjanjian ini, Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi karbon melalui penciptaan lembaga pemantauan dan pembatasan penggunaan lahan baru, serta penegakan ketat dari UU tentang Kehutanan. [6] Sebagai gantinya, pemerintah Norwegia akan membayar pemerintah Indonesia hingga $ 1 miliar, tergantung pada seberapa jauh target pengurangan emisi bertemu. [7]
Perjanjian ini dirancang untuk dilaksanakan dalam tiga tahapan.
Pertama, “Implementasi,” yang merupakan dasar penting dengan membentuk kelembagaaan REDD+ di Indonesia, membangun sistem independen untuk pemantauan, pelaporan dan verifikasi tingkat deforestasi (dikenal sebagai MRV) dan mekanisme untuk memberikan pembayaran.
Tahap kedua, “Transformasi,” akan menguji strategi untuk mengatasi sumber utama emisi karbon di dua provinsi percontohan, peningkatan penegakan hukum dan pelaksanaan larangan tebang (moratorium) hutan selama dua tahun di konsesi-konsesi baru secara nasional. Moratorium diberlakukan pada tahun 2011 dan diperpanjang pada tahun 2013.[8]
Tahap ketiga, “Kontribusi untuk memverifikasi penurunan emisi” yang akan melihat kelayakan Indonesia untuk menerima sebagian besar paket pembayaran, yaitu $ 800 juta, sesuai dengan target pengurangan emisi yang ditetapkan. [9]
Perjanjian Indonesia-Norwegia REDD+ merupakan terobosan dalam beberapa cara. Pertama, $ 1 miliar dijanjikan oleh Norwegia, mewakili jumlah terbesar dari uang yang pernah dijanjikan oleh satu negara untuk mengurangi laju deforestasi di Indonesia, dan jumlah terbesar di antara 21 negara yang saat ini disetujui untuk menerima dana REDD+. [10] Kedua, perjanjian memberikan dorongan untuk mereformasi aturan dan undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan penggunaan lahan. Undang-Undang Kehutanan telah lama dianggap tidak efektif di Indonesia, kurang memberikan ruang bagi partisipasi publik serta masih menyisakan sejumlah celah yang sering memperburuk situasi, alih-alih memecahkannya.
Sebagai contoh, sebuah aturan 1998 tentang pembatasan penguasaan lahan oleh perusahan sawit maksimal 20.000 hektar per provinsi. [11] Aturan ini menjadi preseden buruk, saat beberapa perusahaan menggunakan ini untuk memperluas secepat mungkin penguasaan lahan lewat cara ilegal, perampasan tanah, melakukan praktek tebas bakar (slash and burn) dan bergerak sesegera mungkin untuk mengumpulkan dana lewat pelepasan perdana di bursa saham. [12]
Ketiga, penandatanganan perjanjian adalah puncak akumulasi dari bebagai keputusan tentang REDD+, dimulai sejak Konferensi Perubahan Iklim PBB Bali 2007, [13] dan terus berlanjut sampai 2009, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan komitmen sukarela pertama oleh negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di KTT G20. [14]
Baru kali ini dalam sejarah, sebuah komitmen pengurangan deforestasi di suatu negara (dalam hal ini Indonesia) dan kontribusinya terhadap perubahan iklim menjadi perhatian utama dari berbagai badan dan media internasional. [15] [16]
Dunia melihat bentuk kesepakatan antara Indonesia-Norwegia adalah bentuk ujian bagaimana model yang dibangun bisa terwujud, dan menjadi cetak biru bagi berbagai kemitraan bilateral di masa depan, termasuk model pembiayaan skala besar pasar emisi karbon. [17]
Pertanyaannya, lima tahun hampir berlalu, bagaimana kemitraan REDD+ antara Norwegia dan Indonesia telah berjalan sejauh ini?
Jika melihat semata-mata dari dasar perhitungan emisi karbon, kemitraan dapat dikatakan telah gagal. Data citra satelit menunjukkan laju deforestasi Indonesia justru meningkat pada tahun 2011 dan 2012, saat perjanjian mulai berjalan. [18]
Implementasi perjanjian juga telah penuh dengan penundaan. Sebuah lembaga tingkat kabinet khusus untuk REDD+ (Badan Pelaksana REDD+/ BP REDD+) baru didirikan pada Agustus 2013, tiga tahun setelah penandatanganan perjanjian itu, dan staf kerja tidak diangkat sampai Juni 2014. [19]
FREDDI, mekanisme yang diusulkan untuk mendistribusikan pembayaran, tetap non operasional, yang berarti bahwa tidak ada cara untuk menghargai provinsi yang berhasil mengurangi tingkat emisi mereka. [20]
Akibatnya, karena berbagai kemunduran ini, Norwegia hanya merilis dana sekitar $ 50 juta ke Indonesia. Dana ini adalah bagian dana untuk mendukung berbagai persiapan, dan bukan sebagai imbalan atas kinerja pengurangan emisi. [21]
Di sisi lain, tentunya tidak adil semata-mata menilai efektivitas model REDD+ hanya dengan melihat dari sisi kinerjanya, apalagi di Indonesia, sebuah negara yang amat kompleks. Beberapa pengamat menunjukkan bahwa program REDD+ serupa [22] telah lebih berhasil di Brasil untuk mengurangi laju deforestasi, [23] karena negara ini dianggap lebih memiliki dasar legislatif yang lebih kuat dalam perangkat reformasinya. [24]
Selain itu, meski janji Norwegia sebesar $ 1 miliar, tidak diragukan lagi sebagai sosok yang besar dan menarik, hal itu tidak berarti jika dibandingkan dengan hasil ekspor minyak sawit Indonesia sebesar $ 18,9 miliar per tahunnya [25], belum lagi pendapatan yang dihasilkan oleh produk lain dari deforestasi seperti kayu dan kertas. Disisi lain, prospek pasar karbon swasta skala besar dalam beberapa tahun ini telah memudar dan tidak setara dengan nilai ekspor komoditas tersebut. [26]
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa tanpa perubahan dan reformasi dari praktek bisnis sektor perkebunaan sawit dan industri ektraktif berbasis hutan, tidaklah realistis untuk mengharap turunnya laju deforestasi hanya melalui satu insentif yaitu sisi finansial saja.
Dalam pandangan tersebut, perjanjian REDD+ harus dievaluasi, tidak semata dilihat dari berapa banyak emisi karbon yang terjadi, namun berapa banyak inisiatif ini telah meletakkan dasar bagi perkembangan di masa depan. Dari kacamata ini hasilnya terlihat lebih positif.
Satgas REDD+ yang kemudian berubah menjadi BP REDD+ telah memiliki pengaruh politik di dalam tubuh pemerintahan dalam melakukan pengawasan. [27] Salah satu keberhasilan BP REDD+ adalah mampu menjangkau dan bekerjasama dengan para Gubernur di tingkat provinsi untuk melaksanakan program menggalang dukungan dari pengurangan emisi karbon. [28]
Perjanjian REDD+ juga meningkatkan transparansi dan menciptakan alat penting untuk pemantauan dan kolaborasi. Salah satu alat ini adalah “One Map Policy” yang mengkonsolidasikan data izin penggunaan lahan dari berbagai sektor untuk pertama kalinya dalam peta tataguna hutan dan lahan gambut di Indonesia. [29]
Satu proses penting dalam perubahan ini yaitu mengirim pesan kepada kementerian yang selama ini berhubungan dengan pengelolaan hutan di Indonesia yaitu Kementerian Kehutanan, yang selama ini terkenal karena korupsi, praktek tidak transparan, dan banyaknya oknum yang mengambil keuntungan dari praktek bisnis eksploitatif . [30] Dengan kerja sama bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BP REDD+ telah berhasil secara signifikan menambah jumlah tersangka kasus kejahatan kehutanan ke pengadilan. [31]
Satu hal terpenting dari kesepakatan REDD+ adalah membongkar paradigma lama antara negara donor dengan negara yang mendapat bantuan. Pendekatan baru ini telah memungkinkan pemerintah Indonesia untuk memikirkan ke arah mana reformasi diarahkan dan dilaksanakan. [32] Pendekatan ini membuka pintu bagi proses perubahan mandiri dan organik, bukan reformasi jangka pendek yang didorong oleh donor eksternal.
Perubahan pemerintahan dari Presiden SBY kepada Presiden Jokowi pada tahun 2014 menyajikan banyak pertanyaan tentang masa depan pelaksanaan REDD+. Banyak inisiatif REDD+ yang diperkenalkan di bawah instruksi Presiden era SBY telah dibalik oleh pemerintahan baru. [33] Sebagai contoh pada bulan Januari 2015 BP REDD+ dilebur dan ditempatkan sebagai bagian dari kementerian baru, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). [34]
Langkah ini dapat bersifat negatif terhadap kemandirian dan efektivitas REDD+ di masa depan, termasuk inisiatif yang telah dirintis seperti “One Map Policy” dan FREDDI yang masih perlu untuk diformalkan dan dilembagakan. Salah satu kekuatiran adalah inisiatif ini akan dirusak oleh unsur dalam pemerintahan yang mendukung status quo dan anti perubahan, [35] situasi yang kerap terjadi saat dukungan terhadap konservasi hutan masih sering dianggap sebagai agenda LSM dan sedikit kalangan pejabat pemerintah. [36]
Masih belum adanya basis dukungan signifikan untuk pelaksanaan konservasi hutan dari kalangan birokrasi yang lebih luas dan masyarakat Indonesia secara umum, ditambah dengan kuatnya lobi dari konglomerat, pengusaha minyak sawit dan industri ektraktif di dalam arena politik juga menjadi faktor signifikan yang dapat menyebabkan inisiatif REDD+ mundur ke belakang. [37]
Saat ini sandaran dukungan hanya berada pada pejabat tingkat atas yaitu keputusan dari Presiden dan Menteri KLHK.
Jika pada tahun 2009 dalam pertemuan G20, Presiden SBY telah membuat komitmen berani untuk mengurangi emisi gas rumah sekurang-kurangnya 26 persen pada tahun 2020. [38] maka dengan melihat tingkat deforestasi terbaru sangat mungkin bahwa target ini akan terpenuhi. [39] Saat ini, menjadi penting bagi pemerintahan Presiden Jokowi untuk memperkuat inisiatif yang telah terbangun di bawah pemerintahan sebelumnya dalam rangka menegaskan komitmen Indonesia terhadap REDD+ serta mempertahankan kredibilitasnya di mata dunia internasional.
Presiden Jokowi dan administraturnya dapat memulai dengan mereformasi sistem perizinan penggunaan lahan dan konsesi, menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat atas tanahnya, memperkuat penegakan hukum dan melanjutkan moratorium di area gambut dan hutan alam serta perluasan konsesi baru yang akan berakhir pada bulan Mei 2015 ini. –Diterjemahkan oleh Ridzki R. Sigit
Tautan artikel asli:
- Pek Shibao. “Fighting fire with money: can finance protect Indonesia’s forests?” Mongabay.com
Rujukan
[1] “Report of the Conference of the Parties on Its Thirteenth Session, Held in Bali from 3 to 15 December 2007,” United Nations Framework Convention on Climate Change, 14 March 2008.
[2] “About REDD,” UN-REDD Programme, accessed March 21 2015.
[3] Climate Finance Thematic Briefing: REDD+ Finance, London, United Kingdom: Overseas Development Institute, November 2013.
[4] “Donations,” Amazon Fund, accessed March 21 2015.
[5] “Letter of Intent between the Government of the Kingdom of Norway and the Government of the Republic of Indonesia on ‘Cooperation on Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation,’” Government of the Kingdom of Norway and Government of the Republic of Indonesia, 26 May 2010.
[6] “Letter of Intent,” Government of the Kingdom of Norway and Government of the Republic of Indonesia.
[7] Ibid., p4.
[8] Kemen Austin, Fred Stolle and Ariana Alisjahbana, “Indonesia Extends Its Forest Moratorium: What Comes Next?,” World Resources Institute, May 15 2013.
[9] Climate Finance Thematic Briefing , Overseas Development Institute.
[10] “UN-REDD Programme Regions and Partner Countries,” UN-REDD Programme, accessed March 21 2015.
[11] Eric Wakker, “Greasy Palms: The Social and Ecological Impacts of Large-Scale Oil Palm Plantation Development in Southeast Asia,” Jakarta, Indonesia: Friends of the Earth, 2005, p28.
[12] Commodity Crimes , Washington, D.C.: Friends of the Earth, 2013, p4.
[13] “Report of the Conference of the Parties on Its Thirteenth Session,” United Nations Framework Convention on Climate Change.
[14] Frances Seymour, Nancy Birdsall and William Savedoff, The Indonesia-Norway REDD+ Agreement: A Glass Half-Full (CGD Policy Paper 56), Washington, D.C.: Center for Global Development, February 2015, p2.
[15] Jan Woischnik, “Indonesia,” p119-120 in Climate Report 2014: Energy Security and Climate Change, Berlin, Germany: Konrad Adenauer Stiftung, 2014.
[16] Frances Seymour, Nancy Birdsall and William Savedoff, The Indonesia-Norway REDD+ Agreement, p7.
[17] Ibid.
[18] Rhett Butler, “Despite Moratorium, Indonesia Now Has World’s Highest Deforestation Rate,” Mongabay.com, June 29 2014.
[19] Frances Seymour, Nancy Birdsall and William Savedoff, The Indonesia-Norway REDD+ Agreement, p4.
[20] Ibid.
[21] “Norway Puts $1.6B into Rainforest Conservation,” Mongabay.com, August 19 2014.
[22] Climate Finance Thematic Briefing , Overseas Development Institute, November 2013.
[23] Real-Time Evaluation of Norway’s International Climate and Forest Initiative: Synthesising Report 2007-13 , Oslo, Norway: Norad, August 2014, pxxv.
[24] Ibid., pxx.
[25] “Palm Oil,” Indonesia Investments, accessed March 10 2015.
[26] Frances Seymour, Nancy Birdsall and William Savedoff, The Indonesia-Norway REDD+ Agreement, p7.
[27] Real-Time Evaluation of Norway’s International Climate and Forest Initiative , Norad, pxxv.
[28] Frances Seymour, Nancy Birdsall and William Savedoff, The Indonesia-Norway REDD+ Agreement, p8.
[29] Ibid.
[30] Ibid., p8-9.
[31] Ibid.
[32] Ibid., p10.
[33] Ibid., p14.
[34] Loren Bell, “Indonesia Dissolves Agency Charged with Forestry Reform,” Mongabay.com, February 11 2015.
[35] Frances Seymour, Nancy Birdsall and William Savedoff, The Indonesia-Norway REDD+ Agreement, p9.
[36] Cecilia Luttrell et al., “The Political Context of REDD+ in Indonesia : Constituencies for Change,” Environmental Science and Policy 35, 2014, 67-75.
[37] Ibid.
[38] Robert Eshelman, “Indonesia’s Moratorium Not Enough to Achieve Emissions Reduction Target,” Mongabay.com, January 20 2015.
[39] Jan Woischnik, “Indonesia.”