,

Peringatan Hari Bumi: Luputnya Isu Penyelamatan Lingkungan di KAA Hingga Penerapan Sanksi Administrasi Bagi Perusak Lingkungan

Aktivis lingkungan di Provinsi Aceh menilai pelaksanaan peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Indonesia luput dari pembahasan isu penyelamatan lingkungan. Padahal Asia dan Afrika merupakan benua yang masih memiliki hutan yang penting untuk diselamatkan.

Efendi Isma, Juru bicara Koalisi Penyelamatan Hutan Aceh, (KPHA), saat peringatan hari bumi di Bundaran Simpang Lima, Kota Banda Aceh, Aceh, Rabu (22/4) mengatakan, penyelamatan lingkungan khususnya hutan, menjadi isu penting dunia. “Seharusnya masalah penyelamatan lingkungan dan kerusakan hutan termasuk perburuan satwa dibahas dalam KAA. Tapi, yang dibahas hanyalah isu politik dan ekonomi,” sebut Efendi.

Efendi mengatakan, akan sangat menarik jika pertemuan 106 negara tersebut membahas  bagaimana membangun dunia dengan energi yang terbarukan dan setiap negara melarang investasi yang tidak ramah lingkungan. “Saat ini, negara di Asia dan Afrika masih memiliki hutan. Bahkan, Hutan Leuser di Indonesia merupakan paru-paru dunia yang seharusnya ditekankan kelestariannya termasuk penyelamatan satwanya.”

Selain itu, Efendi juga meminta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh direvisi karena melanggar perundangan yang ada. Sebut saja Undang-undang Tata Ruang Nasional dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. RTRW Aceh yang dituangkan dalam Qanun Nomor 19 Tahun 2013 itu mengabaikan Pasal 149 dan 150 UU Nomor 11 Tahun 2006 yang mengatur pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Sebelumnya, Pihak Uni Eropa (UE) yang telah melakukan kajian tata ruang dan perubahan iklim di Aceh saat bertemu Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, juga menyarankan agar Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Nomor 19 Tahun 2013 agar direvisi.

Syahrul Abdullah, Tim Peneliti Uni Eropa, mengatakan Syahrul Abdullah dalam pertemuan tersebut mengatakan, dari segi peran dan partisipasi masyarakat, terdapat kelemahan berupa cacat hukum dalam penyusunan Qanun RTRW Aceh tersebut.

Menurut Syahrul, dari segi materi, ada hal yang belum dicantumkan seperti Kawasan Ekosistem Leuser. Selain itu, dalam Qanun juga secara lengkap belum memenuhi saran perbaikan yang disampikan oleh Mendagri melalui suratnya Nomor 050/1162/IV/bangda, tertanggal 20 Februari 2014. “Untuk menghilangkan kelemahan itu, kami menyarankan agar Pemerintah Aceh merevisi qanun.”

Frank Viault, Kepala Bagian Kerjasama dari Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, sebagaimana dikutip dari Serambi Indonesia, mengatakan kehadirannya ke Aceh dalam rangka memenuhi janji Duta Besar Uni Eropa enam bulan lalu yaitu guna melanjutkan rencana pembuatan studi atau kajian RTRW dan perubahan Iklim di Aceh.

Frank mengatakan, studi RTRW dan perubahan iklim di Aceh, dilakukan oleh dua orang tenaga ahli dari Unsyiah, Syahrul Abdullah dan Zainal Abidin Pian. Menurut Frank hasil kajian ini kita harapkan bisa membantu Pemerintah Aceh dalam pengambilan kebijakan dan penyusunan pengelolaan kawasan dan lingkungan hidup yang lebih baik.

Zaini Abdullah berpendapat saran dari pihak Uni Eropa tersebut akan dijadikan referensi. “RTRW Aceh telah banyak dibahas oleh tenaga ahli. Hasil telaah ini akan dipelajari lagi oleh Bappeda, Dinas Kehutanan, Badan Pengendali Lingkungan Hidup dan dinas terkait di Aceh,” ujarnya.

Terkait KEL, TM Zulfikar, Mantan Direktur Walhi Aceh, menyatakan seharusnya kawasan ini dijadikan wilayah konservasi khusus. Daerah ini tidak boleh diganggu, jika tidak, bencana seperti banjir dan longsor akan terus terjadi sebagaimana saat ini yang menghantui Aceh,” ujarnya.

Di planet bumi, yang usianya mencapai 4 miliar tahun lebih, manusia hidup bersama. Kepedulian menjaga bumi mutlak diperlukan. Foto: Junaidi Hanafiah
Di planet bumi, yang usianya mencapai 4 miliar tahun lebih, manusia hidup bersama. Kepedulian menjaga bumi mutlak diperlukan. Foto: Junaidi Hanafiah

Sanksi Administrasi

Masih dalam rangkaian Hari Bumi, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan pakar hukum lingkungan menyerukan agar pemerintah lebih tegas menerapkan sanksi administrasi kepada pelaku perusak lingkungan. Hal ini terungkap dalam diskusi bertema Pemberdayaan Hukum Administrasi untuk Perlindungan Hak-hak Korban atas Pencemaran Lingkungan Hidup, yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan Van Vollenhoven Institute (VVI), Rabu (22/4/2015).

Laure d’Hont dari Van Vollenhoven Institute mengungkapkan, berdasarkan riset yang dilakukannya, pemerintah daerah selama ini jarang sekali menggunakan kewenangannya memberikan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melakukan pencemaran lingkungan. Menurutnya,  pemerintah daerah lebih suka melakukan mediasi guna penyelesaian masalah yang dianggap mengakomodir kepentingan pelaku usaha dan masyarakat. “Padahal, sanksi administrasi justru harus diberikan karena ada kewenangannya dalam undang-undang.”

Ilyas Assaad, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tidak menampik apa yang disampaikan oleh Laure d’Hont. Menurutnya, saat ini kerangka hukum lingkungan kita memang belum ideal guna penerapan sanksi administrasi. Untuk itu, memang diperlukan adanya penguatan kapasitas masyarakat untuk mendorong tegaknya hukum administrasi. “Agar hukum lingkungan tidak mandek maka para ahli hukum sebaiknya terus melakukan pengembangan produk hukumnya.”

Terkait lemahnya penegakan hukum administrasi dalam meindungi lingkungan dan masyarakat, Asep Warlan Yusuf dari Universitas Parahyangan menuturkan, hal ini dikarenakan birokrasi yang ada belum sepenuhnya bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menurut Asep, secara umum, pemerintah hanya melihat penegakan hukum hanya dari segi penataan saja. “Padalah, harus dilihat juga dari sudut politik dan ekonomi,” ujarnya.

Hal yang diamini oleh Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif ICEL. Menurutnya, jika pemerintah tidak menerapkan sanksi administrasi kepada pelaku perusak lingkungan secara benar maka masyarakat yang menjadi korban tidak bisa berbuat banyak meminta perlindungan hukum. “Situasi ini yang harus diperkuat dalam pengembangan hukum lingkungan ke depan,” tegasnya.

Secara umum, diskusi tersebut menyoroti hal penting yang harus dibenahi kedepannya. Seperti pemerintah masih belum mendayagunakan sanksi administrasi guna melindungi lingkungan dan masyarakat dalam kasus pencemaran maupun perusakan lingkungan, serta pemerintah belum melaksanakan pengawasan secara baik terhadap pelaku usaha dalam melakukan kegiatannya terlebih akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Wajah bumi dari hutan mangrove yang masih baik di pulau Kalimantan. Foto: Rhett Butler
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,