Sidang gugatan warga Pulau Bangka, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, terhadap Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (21/4/15). Agenda persidangan mendengar keterangan dari tiga saksi ahli, yakni Cipto Ajigunawan, Kementerian Pariwisata; Esther Simon, Kabid Tata Lingkungan dan Amdal di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Veronica Kumurur, Dosen Fakultas Teknik Arsitektur di Universitas Sam Ratulangi.
Cipto mengatakan, aktivitas pertambangan di Pulau Bangka oleh PT Migro Metal Perdana (MMP) bisa mengganggu keindahan obyek wisata ini. “Menimbun mangrove dan karang bisa merugikan potensi wisata Bangka,” katanya.
Dia menilai, Bangka lebih baik jika menjadi kawasan wisata dibanding pertambangan. Terumbu karang di bawah laut, terlalu berharga jika hanya ditukar tambang. Tak terbayangkan, katanya, bila keindahan itu dalam lima atau 10 tahun rusak. Padahal, pada waktu tertentu, paus dan hiu bisa tampak.
Lewat pariwisata, Bangka sangat bernilai ekonomis. Data Badan BPS hingga 2014, turis datang tidak sedikit. “Sudah sekitar 20.000 ke Sulawesi Utara.”
Amdal dan warga
Soal Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) MMP, KLHK sudah meminta tetapi sampai April 2014, tidak menerima. “Saya tidak tahu mengapa bisa begitu,” kata Esther.
Setiap perusahaan pertambangan, katanya, harus mempunyai amdal yang berisi pertimbangan dampak lingkungan jika perusahaan beroperasi. Kalau dirasa merugikan, perusahaan tak dapat eksplorasi apalagi produksi.
KLHK tidak menerima amdal MMP, kata Esther, kemungkinan karena dokumen itu bermasalah. Dalam arti, hingga hari ini sebagian warga menolak tambang dan digugat di PTUN.“Yang jelas kami meminta amdal MMP tetapi tidak juga didapat.”
Veronica Kumurur, pernah diminta Pemda Minahasa Utara menjadi anggota tim penilai amdal MMP. Dia menyayangkan, perusahaan diberi izin produksi Kementerian ESDM. “Saya kira, perusahaan belum cukup komprehensif dalam menyusun amdal. Masih banyak warga keberatan atas tambang di Bangka,” katanya.
Jika perusahaan produksi, katanya, maka kerusakan lingkungan warga jauh lebih besar dibanding manfaat. “Saya melihat tambang akan merusak wisata. Kalau boleh memilih, saya memilih wisata dikembangkan ketimbang tambang. Wisata berkelanjutan, tambang mewarisi kerusakan saja”