,

Dulunya Kawasan Hutan Desa, Sekarang Jadi “Dusun Perambah”

Inilah nasib hutan desa pertama di Sumatera Selatan. Awalnya untuk menjaga lahan rawa gambut dari perambahan, kini disinyalir menjadi tempat berkumpulnya para perambah hutan dan lahan gambut di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin. Padahal SK Hutan Desa dulu diserahkan oleh mantan Wapres Boediono kepada Gubernur Sumsel pada tahun 2010, lima tahun lalu.

 

Di peta, secara administratif Dusun Pancuran, yang merupakan dusun di dalam Hutan Desa Muara Merang, terletak di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Namun sehari-harinya, masyarakat lebih mudah berhubungan dengan masyarakat di provinsi Jambi sebab akses darat hanya menghubungkan Dusun Pancuran dengan Kabupaten Muara Jambi dan kota Jambi.

Sebaliknya, akses transportasi dari Palembang dan wilayah lain di Musi Banyuasin hanya melewati jalur sungai. Dari Palembang perjalanan menggunakan speedboard membutuhkan waktu sekitar lima jam, kemudian sepeda motor selama 1,5 jam. Selain sangat melelahkan, rawan kecelakaan, juga biayanya cukup tinggi. Tidak heran, kebanyakan orang dari Palembang menggunakan jalan darat ke Dusun Pancuran, meskipun harus masuk kota Jambi dan Kabupaten Muara Jambi dengan waktu tempuh sekitar delapan jam.

Di musim penghujan, perjalanan menuju Dusun Pancuran melalui jalan darat, juga tidak terlalu mudah. Mobil minibus yang membawa saya gagal masuk ke Dusun Pancuran pada Minggu (20/04/2015) lantaran ada dua truk pengangkut buah sawit yang terguling dalam “kubangan” yang memutuskan jalan di Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muara Jambi, sehingga melumpuhkan transportasi dan menyebabkan kemacetan beberapa kilometer.

Saya baru dapat masuk Dusun Pancuran pada Senin (21/04/2015) siang. Meskipun jaraknya sekitar 90 kilometer, perjalanan dari kota Jambi membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Begitu banyak lubang di jalan yang harus dilalui.

Pemukiman warga di sekitar rawa gambut Dusun Pancuran, Desa Muara Merang
Pemukiman warga di sekitar rawa gambut Dusun Pancuran, Desa Muara Merang. Foto: Taufik Wijaya

Meskipun sulit diakses, nama Dusun Pancuran cukup dikenal sebagian warga Jambi. “Itu wilayah kayu dan sawit. Meskipun rumah warga di sana umumnya pondok kayu, tapi rata-rata kaya,” kata seorang penjaga hotel di Jambi.

Informasi tersebut mulai menemukan kebenaran, ketika selama perjalanan dalam wilayah Jambi, di kanan-kiri jalan saya melihat hamparan perkebunan sawit, dan kilang minyak milik PT Pertamina. Kemudian hampir setiap menit berpapasan dengan truk, yang membawa buah sawit atau kayu.

Saat memasuki wilayah Kecamatan Bayung Lencir, khususnya Dusun Pancuran, saya melihat puluhan rumah yang seakan berfungsi sebagai depot kayu. Sama sekali tidak mencerminkan rumah petani. Di depan rumah, menumpuk sejumlah potongan kayu seperti papan atau balok, atau sejumlah truk yang mengangkut kayu.

Suara chainsaw pun terdengar bersahutan.

Sulitnya akses transportasi ke Dusun Pancuran diduga penyebab lemahnya pengawasan pemerintah Sumatera Selatan terhadap Hutan Desa Muara Merang. “Sangat lemah. Akibatnya Dusun Pancuran saat ini dapat dikatakan sebagai dusun para perambah. Perambah hutan dan lahan,” kata Sayuti, pengurus Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Muara Merang rumahnya, Senin (21/04/2015).

Lemahnya pengawasan akibat sulitnya akses transportasi ke Dusun Pancuran, diakui Wakil Bupati Musi Banyuasin Beni Hernedi.

“Ya, pengawasan terhadap hutan desa tersebut memang terasa lemah, sebab akses ke daerah tersebut dari sini [Muba, red] sangat sulit. Sementara itu akses ke Jambi jauh lebih baik,” kata Beni, Kamis (23/04/2015).

Oleh karena itu, kata Beni, pengawasan terkait illegal logging di wilayah Desa Muara Merang dan sekitarnya harus didukung pemerintah Jambi. “Apalagi saya mendapatkan informasi, kayu hasil illegal logging tersebut dibawa dan dijual di Jambi. Harus ada kerjasama antara Sumatera Selatan dan Jambi,” ujarnya.

“Meskipun begitu, kami akan meminta polisi hutan dan aparat terkait untuk terus melakukan pengawasan di sana,” ujarnya.

Pemukiman warga yang terlibat program hutan desa di Dusun Pancuran, Desa Muara Merang, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Muba, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya
Pemukiman warga yang terlibat program hutan desa di Dusun Pancuran, Desa Muara Merang, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Muba, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya

Dusun Perambah?

Dusun Pancuran merupakan dusun yang terbentuk karena adanya program Hutan Desa Muara Merang berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 54/Menhut-II/2010 tertanggal 21 Januari 2010. Hutan Desa Muara Merang sebelumnya merupakan kawasan Hutan Produksi Lalan Mangsang Mendis. Ini merupakan hutan desa pertama di Sumatera Selatan, yang Surat Keputusannya diserahkan Wakil Presiden Boediono kepada Gubernur Sumsel Alex Noerdin pada 22 Januari 2010 di Jakarta.

Sebelah timur Hutan Desa Muara Merang berbatasan dengan konsensi perkebunan HTI (Hutan Tanaman Industri) PT Tri Pupa Jaya, sebelah barat berbatasan dengan PT Texico, sebelah utara dan selatan berbatasan dengan hutan produksi.

Pada awalnya, program ini untuk memberdayakan masyarakat yang diduga sebagai perambah hutan, termasuk sebagai pelaku kebakaran hutan dan lahan gambut.

Sekitar 300 kepala keluarga yang ikut program Hutan Desa Muara Merang. Setiap kepala keluarga mengelola lahan budidaya seluas 2 hektar. Dari 7.250 hektar luasan Hutan Desa Muara Merang sekitar 3.390 hektar merupakan lahan budidaya, dan sisanya 3.860 hektar merupakan lahan lindung berupa rawa gambut.

Sejak awal masyarakat Dusun Pancuran berkebun karet, sebagian berkebun sawit, dan menanam sayuran. Guna memenuhi kebutuhan hidup sebelum kebun karet dan sawit menghasilkan, masyarakat mencari ikan dan membuat arang dari bonggol kayu. Bonggol kayu ini diambil dari perkebunan karet yang diremajakan.

Selama lima tahun terakhir, Dusun Pancoran terus bertambah penduduknya. Diperkirakan saat ini penduduknya mencapai 800-900 kepala keluarga. Tetapi sebagian besar penduduk baru tersebut bukan turut menjaga hutan desa, justru sebagai pelaku perambah hutan dan lahan.

Perkebunan karet milik warga, terlihat tidak begitu diurus
Kebun karet milik warga, terlihat tidak begitu terurus. Foto: Taufik Wijaya

Awalnya, seorang oknum pengurus Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Muara Merang diduga menjual lahan budidaya seluas 2.000 hektar kepada masyarakat dari Jambi, Palembang, Ogan Komering Ilir (OKI), dan Jakarta. Lahan yang dijual tersebut dipergunakan sebagai kebun karet dan sawit.

“Kami sudah melaporkan tindakan oknum tersebut. Tapi tampaknya belum ada tindakan dari pemerintah,” kata Sayuti.

Mendengar adanya tindakan jual beli tersebut, datanglah sejumlah warga dari OKI dan Sumatera Utara. Mereka pun merasa “berhak” menguasai lahan tersebut. Mereka merambah kayu di lahan lindung. Pohon petaling, punak dan meranti habis ditebang. Selanjutnya, lahan yang sudah dihabisi pohonnya dijadikan perkebunan sawit oleh perambah. “Kerusakan lahan lindung ini mencapai 60 persen, dan ini pun sudah kami laporkan,” kata Sayuti.

Sebenarnya upaya mengatasi kejahatan illegal logging dan illegal land sudah dilakukan sejak tahun 2012. Wahana Bumi Hijau (WBH) mendorong pembentukan satuan tugas untuk mencegah illegal logging dan perambahan lahan. Namun satgas ini tidak berjalan optimal karena terkendala dana operasional, serta dukungan aparat terkait.

Setahun kemudian, 2013, masyarakat mengadukan persoalan tersebut kepada Wakil Bupati Musi Banyuasin Beni Hernedi, saat dia mengunjungi dusun tersebut. Beni menyatakan komitmennya untuk memaksimalkan peran Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin terutama dalam peningkatan pengamanan dan penegakan hukum.

Jelas Beni, pengelolaan lahan di hutan desa harus mengikuti Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD) dan aturan pengelolaan hutan desa  yang telah dibuat LPHD. Bagi masyarakat yang memanfaatkan lahan di hutan desa tersebut tidak dapat dijadikan hak milik karena statusnya hutan produksi. Oleh karena itu, masyarakat harus mau ditertibkan, dan lahan-lahan harus ditata serta dimanfaatkan dengan baik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Tidak beberapa lama, datanglah sejumlah polisi hutan Kabupaten Musi Banyuasin ke wilayah tersebut untuk menertibkan. Namun upaya ini mendapat perlawanan dari warga yang melakukan penghadangan.

“Sampai saat ini tidak ada perubahan. Illegal logging dan illegal land terus berjalan,” kata Sayuti.

Pohon terakhir di tengah kebun sawit. Foto: Taufik Wijaya
Batang pohon terakhir di tengah kebun sawit. Foto: Taufik Wijaya

Perambahan Taman Nasional Sembilang

Para perambah yang menetap di Dusun Pancuran tidak hanya menghabisi hutan lindung Hutan Desa Muara Merang. Mereka pun sejak setahun ini melakukan perambahan di wilayah Taman Nasional Sembilang, Kabupaten Musi Banyuasin. Jarak antara Dusun Pancuran dengan Taman Nasional Sembilang sekitar 25 kilometer.

Pohon yang banyak dirambah antara lain petaling, punak dan meranti. Cara perambah mengeluarkan balok-balok kayu melalui kanal-kanal di perkebunan PT Tri Pupa Jaya. Selanjutnya dibawa melalui Sungai Benuh menuju Dusun Pancuran.

Dari tepi Sungai Benuh ke Dusun Pancuran, balok-balok kayu tersebut diseret menggunakan sepeda motor.

“Saya sudah mendengar soal perambahan di Taman Nasional Sembilang. Saya juga dapat informasi jika kayu hasil perambahan tersebut dibawa melalui kanal-kanal di perusahaan HTI tersebut. Jadi, lantaran perkebunan HTI tersebut tidak dapat kita masuki, saya berharap perusahaan tersebut mampu mencegah atau menghadang para perambah membawa balok-balok kayu melalui kanal-kanal mereka,” kata Beni Hernedi.

Pendataan Ulang

Guna mengatasi persoalan illegal logging dan perambahan di Dusun Pancuran, warga yang terlibat dalam program Hutan Desa Muara Merang, mendesak pemerintah untuk melakukan pendataan ulang penguasaan lahan oleh warga.

“Saat didata ulang, akan ditemukan bukti terjadinya jual beli lahan, dan perambahan lahan di wilayah lindung. Jangan heran, nanti ada lahan ratusan hektar milik warga di Jakarta atau Jambi, yang dijadikan perkebunan sawit,” kata Sayuti.

“Harapan kami setelah pendataan tersebut, pemerintah harus bertindak tegas,” harapnya.

Sayuti juga berharap dalam pendataan dan penertiban ini, yang bekerja bukan hanya polisi hutan dan warga, juga didukung aparat polisi dan meliter. “Ini gunanya menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di lapangan,” ujarnya.

Beni Hernedi setuju mengenai keinginan warga adanya pendataan ulang penguasaan lahan di Hutan Desa Muara Merang. “Tapi ini bukan sebatas kerja Kabupaten Musi Banyuasin, juga melibatkan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Bahkan dengan adanya informasi soal penjualan kayu hasil perambahan ke Jambi, juga penting dan perlu melibatkan pemerintah Jambi,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,