,

KNTI: KAA Momen Tepat kedepankan Aspek Keadilan Pengelolaan Laut

Indonesia menjadi tuan rumah peringatan 60 tahun Konferensi Tinggi Tinggi (KTT) Asia Afrika dengan rangkaian kegiatan bertema “penguatan kerjasama negara Selatan-Selatan” di Jakarta dan Bandung pada 19-24 April 2014.

Melihat momentum penting tersebut Ketua umum Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik kepada Mongabay mengatakan, Indonesia memiliki kontribusi besar dalam memperbaiki ketidakadilan tata kelola laut dunia. Salah satu yang memuluskan langkah diplomasi tersebut adanya “Bandung Spirit” yang lahir dari konferensi Asia Afrika 60 tahun silam. Para pemimpin negara-negara di Asia dan Afrika dituntut memastikan tujuan akhir dari pengelolaan laut yakni mewujudkan keadilan dan kesejahteraan kepada warga bangsa.

“Kerja sama Selatan-Selatan harus mempercepat terwujudnya perlindungan dan kesejahteraan bagi keluarga nelayan skala kecil dan tradisional,” kata Riza.

Seperti diketahui, melalui Deklarasi Djuanda 1957,  Indonesia mengklaim kedaulatan perairan di antara pulau-pulau nusantara yang mendapati perlawanan dari banyak negara, khususnya mereka yang menguasai armada dan teknologi laut pada masa itu. Baru 1982, konsep negara kepulauan diakomodir ke dalam perubahan konvensi PBB tentang hukum laut dan UNCLOS 1982. Bisa jadi tingkat kepentingan bangsa-bang di Asia dan Afrika terhadap laut berbeda-beda kala itu.

Namun kerja keras dan cerdas dari diplomat Indonesia dan Afrika yang mengedepankan “Bandung Spirit” telah mewujudkan cita-cita pendiri bangsa Indonesia menjadi lebih berdaulat atas laut diantara pulau-pulau nusantara.

“Hasilnya masih terasa hingga saat ini. Jika sebelum 1982 sekitar 70 persen sumber daya ikan dunia dikuasi oleh negara-negara utara karena memiliki armada dan modal besar. Secara berangsur dari 1982 hingga kini, penguasaan sekitar 80 persen kekayaan sumberdaya ikan bergeser ke Selatan, termasuk Indonesia,” kata Riza.

Dia juga menyoroti praktik perbudakan di sektor perikanan harus diakhiri. Begitupun penanganan pencurian ikan harus menerapkan prinsip ETO (Extra Territorial Obligation), dimana negara asal pelaku pencuri ikan harus berperan aktif menghukum pelaku pencuri ikan sesuai undang-undang berlaku di negara asal maupun internasional demi tegaknya keadilan global.

Pulau-Pulau Kecil dan Investasi Asing

KNTI juga menyayangkan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melanjutkan pelibatan asing dalam pengusahaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Menurut Riza kebijakan tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materil UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan visi-misi maupun 9 janji perubahan (Nawacita) Jokowi dan Jusuf Kalla.

“Investasi asing di pulau kecil itu ibarat narkoba, sekali di mulai akan terus ketagihan hingga meluas keseluruh kepulauan  Indonesia,” katanya.

Riza menambahkan, berawal dari empat pulau di akhir 2015 direncanakan dibuka 100 pulau lagi, berikutnya ditambah 300 pulau, terus berlanjut sampai tak ada ruang tersisa bagi tumbuh kembangnya ekonomi rakyat. Kebijakan itu hanya ilusi pembangunan, dimana dalam jangka pendek rezim ini akan terlihat berhasil membangun, tapi dalam jangka panjang hanya akan merugikan bangsa.

Saatnya BUMN/BUMD/koperasi maupun unit usaha nasional lain menjadi tuan rumah dalam pengusaan pulau-pulau kecil. “Kebutuhan investasi di pulau-pulau kecil tidak selalu besar dan masih mungkin dibiayai oleh modal domestik,” kata Riza.

Dalam catatan KNTI ada tiga indikasi tidak relevannya keterlibatan investasi asing  dalam pengusahaan pulau-pulau kecil di Indonesia saat ini. Pertama, fakta bahwa instrumen pengawasan laut Indonesia belum berjalan efektif. Kasus Benjina menjadi pembelajaran bahwa investasi asing di daerah terpencil  merupakan ancaman serius terhadap pertahanan, keamanan, maupun kedaulatan.

Kedua, belum sinkronnya prioritas pengaturan ruang laut antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, nelayan, masyarakat adat maupun masyarakat lokal. Ketiga,  investasi domestik masih mampu membiayai investasi perikanan, peternakan, konservasi dan lainnya di pulau kecil bukanlah ongkos yang teramat besar.

“Butuh terobosan pemerintah untuk memberi kemudahan pembiayaan di sektor kemaritiman. Membuka sedari awal keterlibatan asing akan mempersempit kesempatan usaha rakyat,” kata Riza.

Sedangkan kepala bidang penggalangan partisipasi publik KNTI Misbahul Munir mengatakan penyelenggaraan KAA memberikan peluang bagi pemerintah Indonesia berkongkalingkong untuk menawarkan investasi asing dalam pengusahaan pulau-pulau kecil.  Meski pelibatan investasi asing sudah ada sejak November 2014 lalu.

Untuk itu, KNTI mendesak pemerintah dan DPR untuk bersama-sama mengoptimalkan Program Legislasi Nasional 2015-2019 untuk memperluas substansi revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan mengoreksi pasal 26A terkait keterlibatan investasi asing dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni.

“Segera merevisi Peraturan Presiden No 39 tahun 2014 tentang daftar bidang usaha  yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal untuk memasukkan usaha penangkapan ikan ke dalam daftar negatif investasi asing,” kata Munir

Untuk itu, KNTI menyerukan kepada organisasi nelayan, masyarakat pesisir, dan penyelenggara negara di seluruh tingkatan untuk bersama-sama mewujudkan demokratisasi pengelolaan laut, dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,