Lahan Diuruk Paksa, Petani Batang Ngadu ke DPR

Pada Rabu (22/4/15), puluhan perwakilan warga Batang, Jawa Tengah,  yang tergabung dalam Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, dan Roban (PUKPWR), kembali menyuarakan penolakan rencana pembangunan PLTU Batang, ke Jakarta. Kali ini, mereka mendatangani anggota DPR dan meminta dukungan. Mereka khawatir PLTU ini bakal menghancurkan mata pencaharian warga yang sebagian besar sebagai petani dan nelayan.

Dalam dua pekan ini warga makin resah karena alat-alat berat yang dibawa oleh oknum berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI) menimbun lahan yang akan dibangun PLTU.

Lahan warga yang menolak menjual pun diuruk paksa. Tak pelak, irigasi sawah warga rusak. Bahkan akses sebagian pemilik lahan ditutup oleh oknum polisi dan militer yang menjaga.

Cayadi, pemilik lahan dari Desa Karanggeneng  mengatakan, lahan pertanian diuruk paksa alat berat hingga irigasi rusak parah. “Sudah dapat dipastikan saya akan rugi besar. Benih padi yang saya tanam akan mati karena kekeringan,” katanya.

Tak hanya itu. Cayadi juga dilarang masuk ke lahan oleh aparat yang menjaga pengurukan.  “Jika PLTU ini tetap dipaksakan dibangun akan memiskinkan warga.”

Di gedung DPR, warga bertemu Ketua Komisi IV Edhy Prabowo dan anggota Komisi VII Ramson Siagian. Menurut Edhy, perusakan dan penghancuran lahan pertanian warga yang subur bentuk penindasan terhadap rakyat. “Kami akan terus mengawal perjuangan warga Batang, hal seperti ini tidak dapat diterima,“ katanya,  seperti rilis Greenpeace kepada media. Greenpeace bersama beberapa organisasi masyarakat sipil lain ikut mendampingi warga Batang ini.

PLTU batubara Batang bagian dari proyek masterplan percepatan pembangunan dan pengembangan ekonomi Indonesia (MP3EI) dimulai era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena aksi penolakan warga, megaproyek ini sudah tertunda hampir empat tahun.

PLTU yang diklaim terbesar di Asia Tenggara ini memerlukan lahan seluas 226 hektar. Parahnya, lahan yang bakal terkena merupakan pertanian subur dengan irigasi teknis yang mampu panen tiga kali setahun. Setiap panen, warga  minimal menghasilkan delapan ton gabah per hektar.

Arif Fiyanto, Kepala Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia, mendesak  Presiden Joko “Jokowi” Widodo membatalkan rencana pembangunan PLTU ini. Pembangunan ini, katanya, mengancam target Jokowi mencapai kedaulatan pangan. “Juga mengancam komitmen pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dari Indonesia mustahil terpenuhi,” katanya.

Seharusnya,  ucap Arif, Presiden Jokowi memimpin revolusi energi di Indonesia dengan mendukung pengembangan energi terbarukan dengan maksimal. Menurut dia, Jokowi, hendaknya segera menghentikan ketergantungan Indonesia terhadap batubara.

Truk aparat keamanan berjaga-jaga guna kelancaran proses pengurukan lahan pertanian warga yang akan dibangun PLTU batubara. Foto: Greenpeace
Truk aparat keamanan berjaga-jaga guna kelancaran proses pengurukan lahan pertanian warga yang akan dibangun PLTU batubara. Foto: Greenpeace

Setop dukungan buat batubara

Sebelum itu, dalam pernyataan kepada media, Greenpeace juga menyerukan Bank Dunia agar mengikuti jalur jelas pembangunan rendah karbon, dimulai sektor energi.

Bank Dunia menyatakan, menarik dukungan langsung untuk pembangkit listrik batubara di dunia kecuali negara-negara miskin. Anehnya, secara tak langsung, Bank Dunia memberikan dukungan kepada tiga PLTU bertenaga batubara berkapasitas besar di Indonesia. Yakni, dukungan dana jaminan infrastruktur Indonesia pada PLTU Batang 2000 MW dan dua PLTU di Sumatera Selatan.

“Ini tidak bisa diterima. Jika Bank Dunia serius pembangunan rendah karbon, mereka harus segera memastikan tidak ada dana publik langsung maupun tidak langsung mendukung pengembangan infrastruktur karbon tinggi seperti PLTU batubara,“ kata Arif.

Melalui empat operasi pinjaman kebijakan infrastruktur Bank Dunia US$850 juta, Indonesia mendirikan Dana Penjaminan Infrastruktur Indonesia atau the Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF). UU tentang Pembebasan Lahan tahun 2012 untuk mendukung model pembangunan berbasis pada kemitraan publik-swasta (public private partnership/PPP). IIGFmemberikan jaminan pemerintah $34 juta pertama untuk PLTU Batang.

Saat ini, Bank Dunia memiliki US$30.juta pinjaman langsung kepada IIGF. Proyek IIGF, seharusnya mematuhi standard perlindungan (safeguards) sosial dan lingkungan Bank Dunia.

Arif mengatakan, hampir empat tahun, ribuan warga Batang berjuang melawan rencana pembangunan PLTU batubara. Mereka ingin melindungi lahan pertanian yang subur dan kawasan kaya tangkap ikan.

Warga diancam dan diserang preman, polisi, tentara, dan aparat pemerintah. Proyek ini, katanya,  jelas melanggar kebijakan perlindungan Bank Dunia. Anehnya, Bank Dunia menolak turut campur ataupun mencegah dukungan IIGF dalam proyek ini.

“Sangat penting menggarisbawahi IIGF belum pernah memberikan jaminan kepada pemerintah untuk proyek-proyek infrastruktur energi bersih terbarukan,” kata Heike Mainhardt, ahli keuangan internasional.

Keadaan ini, katanya, sangat mengherankan karena potensi Indonesia sangat besar dari energi terbarukan, seperti panas bumi, surya, dan energi terbarukan lain.

Bank Dunia juga menciptakan subsidi baru untuk bahan bakar fosil melalui jaminan pemerintah dan keringanan pajak dalam investasi infrastruktur, terutama proyek PPP.

Yang mengoperasikan truk buat menguruk lahan persawahan orang berpakaian TNI. Foto: Greenpeace
Yang mengoperasikan truk buat menguruk lahan persawahan orang berpakaian TNI. Foto: Greenpeace
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,