“Lali opo lali hakim e Susilowati, Lalu opo lali sidange wis pitung sasi. Lali opo lali dupeh kuwoso mutusno kedaluwarso. Abot semen opo abot sego. Yen ora panen mesti sengsoro. (Lupa apa lupa itu hakim Susilowati, lupa apa lupa sidangnya sudah tujuh bulan. Lupa apa lupa punya kuasa memutuskan kadaluarsa. Berat ke semen atau berat ke nasi. Kalau tidak panen pasti sengsara.”
Petikan kalimat tersebut dinyanyikan puluhan ibu-ibu yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang datang pada Senin, (27/04/2015) di halaman Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah untuk mengajukan upaya hukum banding atas putusan majelis hakim yang menolak gugatan warga Rembang terkait ijin lingkungan pendirian pabrik dan penambangan kawasan karst oleh PT. Semen Indonesia (SI) yang dikeluarkan oleh gubernur Jawa Tengah.
Joko Prianto sebagai salah satu penggugat kepada Mongabay mengatakan mereka masih sangat solid dan bersemangat berjuang menolak tambang semen di wilayahnya, karena tambang jelas mengancam kehidupan kami mereka sebagai petani dan kehilangan sumber mata air pegunungan Kendeng.
“Jika ditambang, kami akan kehilangan jatidiri sebagai petani dan perlu diingat bahwa pertanian terbukti bisa menghidupi kami,” kata Joko Prianto.
Mereka bersama Walhi sebagai kuasa hukumnya, secara resmi mengajukan banding atas putusan sidang yang tidak pro lingkungan dan tidak mencerminkan keadilan.
Joko menambahkan, fakta persidangan menujukkan bagaimana intimdasi terhadap warga yang menolak pabrik semen terjadi. Terjadi pula menipulasi data oleh para penyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan tidak benarnya prinsip-prinsip Amdal seperti yang dijelaskan oleh Prof. Suryo Adi Wibowo dari Institut Pertanian Bogor pada sidang kesaksian ahli. Mereka juga meragukan kesaksian ahli UGM yang diajukan oleh PT. SI, yang ternyata kedua saksi tersebut belum pernah melakukan penelitian di Rembang.
“Keterangan-keterangan penting dalam persidangan ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi majelis hakim, apalagi majelis hakim diketuai oleh seorang hakim lingkungan. Namun PTUN Semarang menggambarkan dengan jelas bagaimana hal substantial dikalahkan oleh majelis hakim dengan dalih telah kedaluarsa,” tambah Joko.
Putusan hakim juga belum masuk pada hal-hal substansial yang telah dipaparkan dalam persidangan dan pengajuan banding warga merupakan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan keadilan.
Sementara itu, Abetnego selaku Direktur Eksekutif Nasional WALHI kepada Mongabay menyesalkan putusan PTUN Semarang yang menyatakan bahwa gugatan Walhi dan warga sama sekali tidak pernah mengetahui adanya ijin lingkungan PT. SI tersebut.
Dan upaya banding Walhi dan warga ditempuh karena putusan hakim terkesan mencari aman dan belum memeriksa pokok perkara tentang apakah pertambangan di kawasan fungsi karst merusak atau tidak.
Walhi menduga bahwa putusan pengadilan itu menjadi jalan untuk meloloskan industri ekstraktif yang akan merusak pegunungan Kendeng dan akan mengancam keberadaan wilayah karst di tempat lain di Pulau Jawa.
Walhi mengapresiasi adanya hakim bersertifikasi lingkungan tetapi fakta selama ini menujukkan bahwa pengadilan masih menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi pelaku perusak lingkungan, untuk itu tidak cukup mendidik hakim bersertifikat lingkungan.
“Negara harus serius memfasilitasi terbentuknya peradilan lingkungan yang khusus menyelesaikan perkara-perkara lingkungan hidup,” tamhah Abetnego.
Sementara itu, salah satu kuasa hukum warga dari Walhi, Muhnur Satyahaprabu mengatakan upaya banding menjadi salah satu cara selain mengajak masyarakat untuk kritis terhadap kebijakan yang akan mengancam keberlangsungan lingkungan.
“Kami koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam tim advokasi peduli lingkungan yakni LBH Semarang, Walhi, JMPPK, Elsam, Pilinet, KontraS, HuMA, YLBHI dan Jatam terus berupaya melakukan kampanye penyelamatan lingkungan atas ancaman industri pertambangan di Pulau Jawa. Aktifitas pertambangan jelas mengubah rona lingkungan dan masyarakat yang akan terkena dampaknya,” kata Muhnur.
Izin lingkungan di atas kawasan karst jelas bertentangan dengan UU diatasnya karena penambangan tersebut membahayakan kelestarian lingkungan hidup dan akan mengancam pertanian, pangan dan akan mengancam pertanian, pangan dan sumber air masyarakat sekitar.
“Putusan PTUN selain menyalahi prinsip kahati-hatian (precautionary principle) dan juga telah menyalahi prinsip partisipasi yang helas diatur dalam undang-undang,” kata Muhnur.
Adapun dalam akta permohonan banding, Muhnur dan perwakilan warga menghadap dan telah diterima oleh Ilham Hamir selaku panitera PTUN Semarang.