Sekitar 350 kepala keluarga di Pekon Pahmungan, Lampung, terbukti mampu menjaga repong atau kebun damar yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Namun, kebijakan pemerintah diperlukan agar masyarakat yang bergantung pada hasil hutan dapat sejahtera.
Suasana berbeda terasa saat memasuki wilayah Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Meski berada dekat pesisir laut, tanaman keras dan pohon hutan banyak dijumpai, seperti duku, durian dan yang paling terkenal damar mata kucing (Shorea javanica).
Sejak masa Kolonial Belanda, getah damar mata kucing, -namanya terambil dari warnanya getahnya yang bening seperti mata kucing, dari wilayah Pesisir Barat Lampung namanya telah mendunia. Pohon damar ditanam oleh leluhur warga desa sejak 1829 dan di masanya pernah menjadi komoditas primadona yang terkenal. Hingga kini, wilayah ini terus menghasilkan getah damar, seperti Kecamatan Pesisir Utara, Pesisir Tengah, Karya Pengawa, Ngambur, Bengkunat dan Pesisir Selatan.
Getah damar asal pesisir Lampung hingga sekarang banyak dikirim ke mancanegara, termasuk negara-negara Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan hingga Filipina. Getah damar diperlukan dalam industri cat, tinta, farmasi dan kosmetik.
Salah satu pusat damar adalah di Pekon (desa) Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah, yang memiliki luas wilayah sekitar 2.500 hektar, dengan luas repong, istilah untuk kebun-hutan damar, adalah sekitar seribu hektar. Sebagian besar warga Pahmungan adalah petani, dengan sebagian kecil merupakan pedagang dan pegawai negeri. Rata-rata pendidikan masyarakat SLTA atau sederajat. Menurut warga, repong damar di Pahmungan dapat terus bertahan karena warga takut “kualat” yang akan berujung malapetaka, jika menebang pohon damar yang ditanam para leluhur.
Menurut Efendi (34) yang akrab dipanggil Bawon, salah satu warga Pekon Pahmungan, dari total 350 Kepala Keluarga di Pekon Pahmungan, rata-rata tiap KK memiliki lahan seluas dua hektar, dimana terdapat sekitar 50 pohon damar per hektarnya. Setiap pohon, dalam sebulan rata-rata menghasilkan getah damar dua kilogram.
“Kalau tiap keluarga menghasilkan 200 kilogram getah damar per bulan. Dengan harga saat ini Rp15 ribu per kilogram, maka penghasilan berkisar Rp3 juta,” jelasnya. Penghasilan itupun bukan jaminan untuk terus diperoleh, karena produktivitas getah damar ditentukan oleh usia tanaman maupun kondisi cuaca. Pohon damar mulai menghasilkan getah sejak usia duapuluh tahun.
Jika kondisi cuaca tidak menentu dan terlalu banyak hujan atau tidak hujan sama sekali, maka produksi getah damar menjadi terganggu.
“Buat menambah penghasilan, sebagian warga menjadi buruh penyortir getah damar atau pekerjaan lainnya,” tambah Bawon, saat ditanya alternatif penghasilan di luar damar untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Harga Pasar Rendah Penyebab Kualitas Damar Menurun
Meskipun hutan damar masih tetap dijaga oleh masyarakat, namun harga beli pasar untuk getah damar saat ini menurun. Tak ayal hal ini cukup mencemaskan bagi Bawon dan warga lainnya. Bagi warga masyarakat agar dapat mencukupi kebutuhan hidup ideal keluarga harga getah damar adalah Rp25-30 ribu per kilogramnya.
“Tahun 2014, harga sempat Rp23 ribu per kilogram. Kami senang sekali. Kami pun rajin meremajakan pohon damar yang sudah tua dan tumbang. Tapi dengan harga seperti saat ini, Rp15 ribu, jelas kami sulit,” terang Yusril (49), salah seorang warga. “Kalau harga getah damar minimal Rp30 ribu per kilogram, kami siap jaga hutan siang malam termasuk menghadapi para perambah.”
Harapan yang sama dikatakan Musnida (41), warga lain pengumpul getah. “Harga Rp15 ribu jelas sangat merugikan kami. Hanya cukup memenuhi kehidupan sehari-hari minimal. Yang punya sawah, mungkin sedikit bisa menyimpan sedikit uang hasil getah damar. Tapi yang tidak punya, hidup pas pasan.”
Dengan harga yang rendah, maka kualitas getah damar pun menurun. Selama ini ada tiga tingkatan kualitas getah damar. Yakni kualitas asalan, AC, AB dan ABC atau kualitas ekspor.
Dengan harga yang rendah untuk kualitas ekspor atau ABC, sebesar Rp15 ribu per kilogram, warga lebih memilih menjual getah damar berkualitas rendah. Caranya dengan mengoplos getah damar dengan tepung terigu. Untuk mengejar kuantitas, maka getah damar yang usianya belum genap satu bulanpun, bahkan baru seminggu, terpaksa diambil. Ciri-ciri getah damar yang berusia satu minggu, getah akan terasa lengket jika dipegang.
Seorang pengusaha Perancis bahkan pernah mengeluhkan kualitas damar yang menurun ini kepada Dinas Kehutanan Lampung. Persoalan ini lalu menjadi mirip lingkaran setan, saat harga menurun, kualitas produk pun tidak bisa dipertahankan.
Dari sisi sosial, rendahnya harga getah juga mulai membuat pencurian getah antar warga kerap terjadi. “Akibatnya warga sering saling curiga dengan tetangga sendiri. Ya, karena butuh uang buat kebutuhan,” kata Bawon.
Bahkan pernah ada warga Pahmungan yang menjual pohon damar tinggalan leluhur kepada pengelola kayu. Adapun warga lain mencoba peruntungan lain dengan ganti menanam pohon lain, seperti karet di kebunnya.
Menurut Bawon, jika kondisi ini tidak berubah masa depan hutan damar cukup mencemaskan, “Bukan tidak mungkin ke depan masyarakat akan menebangi pohon damar dan menjualnya. Termasuk pula mulai merambah hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).”
Perlu Standardisasi Harga di Tingkat Petani
Bagi seorang Supiatna (40), pengepul getah damar di Pekon Pahmungan, sebenarnya tidak masalah untuk membeli getah di tingkat Rp30 ribu per kilogram, namun masalahnya harga ditentukan oleh para pedagang besar.
“[Saya bisa beli di harga Rp30 ribu], kalau harga jual saya dengan agen juga naik. Saat ini harga getah ditentukan agen dari Krui maupun di Jakarta. Kita tidak tahu berapa sebenarnya harga getah damar, di pasar Indonesia maupun dunia. Perlu campur tangan pemerintah,” katanya berspekulasi tentang adanya olipoli di bisnis getah damar.
Herdi Wilismar, dari Persatuan Masyarakat Petani Repong Damar (PMPRD) mengiyakan hal ini. Dia berharap perlu adanya campur tangan pemerintah untuk menjaga harga beli getah damar di tingkat petani. Dengan cara ini dia percaya hutan damar akan tetap lestari. Termasuk kawasan TNBBS yang berbatasan wilayah repong damar ini.
“Saat ini harga getah damar yang masuk akal yakni Rp30 ribu per kilogram. Dengan harga ini, saya percaya masyarakat kian membaik kehidupannya,” jelas Herdi (26/04). “Kalau masyarakat sejahtera, hutan damar akan mereka jaga dari ancaman luar maupun dalam.”
Lebih lanjut Herdi menjelaskan, guna mengatur harga getah damar, sebenarnya warga di Pekon Pahmungan sempat mewacanakan untuk membentuk bank desa.
“Gunanya untuk membeli dan menyalurkan getah damar yang dihasilkan warga. Bank desa akan membeli harga getah damar dengan harga standard, dan tidak akan menjual getah damar dengan harga rendah kepada para agen. Dengan demikian petani tidak lagi dipermainkan oleh agen,” katanya.
Dari hasil perhitungan Herdi, putaran uang getah damar di Pekon Pahmungan adalah Rp2,1 miliar per bulan atau Rp12,6 miliar dalam enam bulan. Namun karena terbentur modal, ide ini belum berlanjut.
Herdi berharap pemerintah Kabupaten Pesisir Barat dan Provinsi Lampung dapat mengeluarkan Peraturan Daerah yang terkait dengan pengaturan harga getah damar ini. Herdi berargumentasi putaran dana dari bisnis getah damar di Pesisir Barat Lampung sangatlah besar. Dari sekitar 875 ribu pohon damar yang ada di wilayah ini, jika dimanfaatkan optimal maka akan setara dengan potensi ratusan miliar rupiah dana berputar setiap tahunnya.
“Negara perlu hadir bagi warga negara, karena faktanya hampir semua petani damar disini hidupnya tidak sejahtera.”