,

Ayo! Tancap Gas Kembangkan Biogas

Di depan gerbang bertuliskan “Pertanian Terintegrasi Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan Menuju Mandiri Pangan dan Energi” Sri Wahyuni berhenti. Sebelum melenggang ke kebun percontohannya yang berada di Cikoneng, Ciomas, Bogor itu, singkat ia berucap, “Dari sini, kita mulai kemadirian pangan dan energi Indonesia. Yuk, masuk.”

Pohon pucuk merah yang ditanam di sisi kiri-kanan jalan masuk, langsung menyambut kedatangan kami. Di ruang terbuka seluas 800 meter persegi itu, semua tanaman tertata rapi. Mulai pohon buah seperti jambu biji, mangga, kedondong, dan lengkeng tampak berseri. Batangnya kokoh, daunnya lebat. Sementara, tanaman sayuran seperti kangkung atau sawi, baik yang berada dalam pot maupun yang di tanah, tumbuh subur di tanah yang gembur.

Yang paling mencolok tertangkap mata adalah empat ekor sapi tegap yang hanya ditugaskan untuk makan, tidur, dan keluarkan kotoran. Itu saja kewajibannya: makan sekenyangnya, tidur sepuasnya, dan keluarkan kotoran sebanyaknya. Biasanya, seekor sapi, per harinya akan mengeluarkan kotoran sekitar 15 kilogram.

Lima meter di depan kandang sapi yang bersih itu, empat ekor domba sehat yang berada di dua kandang berbeda, asik makan rumput. Tugasnya pun tidak jauh berbeda: makan, minum, dan buang kotoran. Yang sedikit membedakan dari sapi adalah, domba ini harus ikhlas menyerahkan bulu- bulunya untuk digunting bila sudah keriting.

Kekompakan sapi dan domba makin lengkap dengan adanya 30 ekor ayam kampung yang kandangnya dibuat dua baris memanjang sekitar empat meter, tepat di belakang kandang sapi. Posisinya melekat dengan tembok. Tugas ayam juga sama: makan, tidur, dan keluarkan kotoran. Meski begitu, ayam bisa sedikit berbangga, telur penuh proteinnya itu selalu dinanti setiap hari. Selain kotorannya, tentunya.

“Ini yang saya katakan pertanian ramah lingkungan yang merdeka secara pangan dan energi,” ucap Sri melanjutkan pembicaraan. “Maksudnya?” giliran saya yang bertanya.

“Kotoran sapi, domba, dan ayam ini nantinya diolah menjadi biogas,” ujar Sri sembari menunjuk tabung digester berwarna biru. Digester yang dimasud Sri adalah tangki reaktor biogas terbuat dari fiberglas kedap air, ringan, dan kuat dengan posisi ditanam dalam tanah. Meski hanya kubahnya yang terlihat, namun ukuran tinggi aslinya adalah 2 m lebih dengan volume sekitar 4 m3.     

Di kebun percontohan ini, Sri Wahyuni mengembangkan potensi biogas menuju kemandirian pangan dan energi. Foto: Rahmadi Rahmad
Di kebun percontohan ini, Sri Wahyuni mengembangkan potensi biogas menuju kemandirian pangan dan energi. Foto: Rahmadi Rahmad
Biogas dari limbah ternak sangat mudah dikembangkan. Ternaknya juga dapat dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Foto: Rahmadi Rahmad
Sri Wahyuni di depan digester. Biogas dari limbah ternak sangat mudah dikembangkan. Ternaknya juga dapat dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Foto: Rahmadi Rahmad

Dalam digester inilah, kotoran ternak diubah menjadi gas biru tidak berbau. Bahkan, bukan hanya menjadi gas, limbahnya juga dapat dipergunakan sebagai pupuk cair maupun pupuk padat yang unsur-unsur senyawanya tidak tergantikan oleh pupuk kimia. Sebut saja protein, selulose, atau lignin. “Semua tanaman di sini hingga budidaya ikan lele, hasil pengembangan biogas. Tidak ada yang dibuang percuma.”

“Bagaimana dengan kemadirian pangan?” tanya saya kembali. Tentunya, sayuran yang ada di sini bisa dimasak untuk sehari-hari. Sudah pasti sehat, karena tidak menggunakan zat kimia. Sementara, telur ayam hingga dagingnya bisa dimakan. “Bahkan, seekor sapi yang saya beli tahun lalu seharga 13 juta rupiah, harganya kini dua kali lipat saat dijual untuk lebaran kurban mendatang. Ini semua dari manfaat biogas,” ujar ibu 42 tahun ini.

Percontohan yang saya buat ini, kembali Sri melanjutkan, sangat memungkinkan untuk dikembangkan di seluruh Indonesia. Terlebih pedesaan, daerah terpencil, atau pulau terluar Indonesia. Kenapa? Karena di pedesaan, selain halamannya luas, biasanya masyarakatnya memiliki ternak. Sementara bagi mereka yang tidak memiliki ternak, sampah rumah tangga yang selama ini kita anggap tidak berguna, baik organik maupun anorganik, merupakan sumber energi biogas yang bisa diberdayakan.

Masih kurang? Limbah pertanian seperti jerami atau eceng gondok pun dapat dijadikan biogas. Ampas tahu, bungkil daun jarak, hingga limbah sawit juga bisa disulap jadi biogas. Bahkan, biogas dapat difungsikan sebagai bahan bakar generator pembangkit listrik yang selama ini menggunakan solar atau bensin. “Jadi, kenapa mesti bingung dengan sumber energi? Dengan biogas, daerah yang tidak dipasoki listrik, dapat diterangi,” ucap Sri.

Dari biogas pula, Sri berhasil menciptakan peralatan mengagumkan seperti alat masak nasi (rice cooker), kompor gas, lampu, hingga traktor sawah yang lagi-lagi menggunakan kekuatan super biogas. Patut dicatat, Sri juga telah merubah kotoran manusia menjadi gas biru tanpa rasa, bau, dan khawatir akan meledak, di rumah sekaligus kantornya di Cikerti 25, Ciomas, Bogor.

“Selama ada sampah dan kotoran manusia, sejauh itu pula biogas berjaya. Kita harus memulainya,” papar pendekar biogas ini.

Kompor biogas yang telah dimodifikasi. Foto: Rahmadi Rahmad
Kompor biogas yang telah dimodifikasi. Foto: Rahmadi Rahmad
Rice cooker biogas. Foto: Rahmadi Rahmad
Rice cooker biogas, ada nyala api biru di dalamnya. Foto: Rahmadi Rahmad
Lampu berbahan biogas. Foto: Rahmadi Rahmad
Lampu berbahan biogas. Foto: Rahmadi Rahmad

Antara ada dan tiada

Biogas merupakan campuran gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik yaitu bakteri yang terdapat pada bahan-bahan organik yang menghasilkan gas metana, karbon dioksida, dan hidrogen. Beratnya 20 persen lebih ringan ketimbang udara. Ajaibnya, selain tidak berbau dan berwarna, gas yang dihasilkannya juga sebiru LPG (Liquified Petroleum Gas) atau gas tabung yang biasa kita gunakan.

Keunggulan lain biogas dibanding bahan bakar minyak yang berasal dari fosil adalah sifatnya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Kesamaan karakter yang dimiliki biogas dengan gas alam, seperti kandungan metana hingga 60 persen, sangat potensial untuk menggantikan peran minyak tanah dan bahan bakar fosil, yang masih kita gunakan sebagai energi utama saat ini.

Meski digadang-gadang sebagai energi terbarukan, namun peran biogas masih jauh dari perhatian. Terlebih, untuk memasok kebutuhan energi nasional yang nyata-nyatanya masih didominasi oleh batubara dan minyak bumi.

Fabby Tumiwa, pakar energi dari Institute for Essential Service Reform (IESR) menyatakan bahwa  peranan energi terbarukan di Indonesia baru sekitar 4,9 persen dari total bauran energi primer yang digunakan. Energi primer ini, tahun 2025 ditargetkan akan terpenuhi sekitar 400 MTOE (million tones of oil equivalent).

Pertanyaan muncul, kenapa persentase energi terbarukan kecil dan lamban dikembangkan? Menurut Fabby, sebenarnya, pengembangan energi terbarukan telah dirintis sejak 1981 yang ditandai dengan diversifikasi energi. Energi yang dikembangkan waktu itu adalah air dan panas bumi. Ini terlihat dengan adanya pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Awal 1990, barulah pengembangan energi terbarukan dilakukan. Ada tenaga surya, mikro hidro, dan biogas yang masih dalam skala kecil. “Yang ingin dikembangkan secara besar saat itu adalah air dan panas bumi,” jelasnya, Rabu (29/04/2015).

Budidaya ikan lele juga dapat dikembangkan melalui biogas selain tanaman. Foto: Rahmadi Rahmad

Budidaya ikan lele juga dapat dikembangkan melalui biogas selain tanaman. Foto: Rahmadi Rahmad

Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah memang terlihat agresif mengembangkan energi terbarukan melalui berbagai kebijakan beserta pencapaiannya. Namun, regulasi yang dikeluarkan ini belum mampu menggalang investasi secara besar alias tidak cukup kuat memberikan insentif bagi investor. “Inilah sebabnya pertumbuhan energi terbarukan pelan dan jumlahnya juga minim.”

Meski begitu, Fabby mengingatkan, kita tidak bisa bergantung sepenuhnya dengan batubara yang banyak digunakan untuk memasok listrik. Termasuk untuk proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Ini dikarenakan, selain cadangan batubara akan habis, dampaknya pada lingkungan juga tidak baik.

Untuk itu, pengembangan energi terbarukan wajib dilakukan, terlebih Indonesia merupakan negara kepulauan dengan distribusi penduduk tidak merata. Akan terlalu mahal biaya jika transmisi listrik dibuat untuk mencapai wilayah terpencil. Karena itu, cara yang terbaik adalah dengan memaksimalkan potensi energi setempat apakah air, angin, biomas, panas bumi, atau matahari.

Memang, kendala teknologi akan ada, sehingga sebuah sistem harus dirancang yang memang ditujukan untuk pengembangan energi terbarukan tersebut. “Namun, inilah yang paling realistis dan ekonomis. Termasuk pengembangan biogas yang bahan energinya memang dari limbah,” paparnya.

Verina J. Wargadalam, peneliti dari Pusat Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sebelumnya (25/3/2015) mengatakan bahwa pemerintah telah memiliki kebijakan energi nasional. Ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014.

Menurut Verina, dalam peraturan tersebut jelas diterangkan bahwa peran energi baru dan terbarukan paling sedikit 23 persen (2025) dan meningkat 31 persen (2050), sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Sementara, peran batubara sebesar 30 persen (2025) akan turun ke angka 20 persen (2050). “Kendala energi terbarukan saat ini adalah pemanfaatannya masih dalam tingkatan kecil. Padahal, nilai ekonominya akan naik bila dibuat dalam partai besar.”

Pun begitu, Verina tidak menampik bahwa kendala teknologi masih melambat laju perkembangan energi terbarukan. Karena itu, pendekatan geografis, pengetahuan budaya, dan kapabilitas pengelola dalam penerapan energi terbarukan harus dilakukan. “Mengingat, pada energi terbarukan ada keterlibatan para penggunanya. Tidak dilepas begitu saja,” paparnya.

Bulu domba dapat dimanfaatkan sebagai produk kerajinan. Foto: Rahmadi Rahmad
Bulu domba dapat dimanfaatkan sebagai souvenir. Foto: Rahmadi Rahmad

Terkait energi terbarukan ini, Jatna Supriatna, tokoh konservasi Indonesia, sependapat dengan apa yang disampaikan Fabby. Pengembangan energi terbarukan, memang harusnya disesuaikan dengan daerah masing-masing. Alias tidak tersentral pada satu wilayah seperti yang terjadi selama ini.

Menurut Jatna, yang terpenting adalah keseriusan pemerintah mendukung dan mengembangkan energi terbarukan itu sendiri. Karena, bila dilihat hingga sekarang, lebih banyak wacana yang digelontorkan ketimbang aksi nyata. Padahal, potensi alam Indonesia luar biasa.

Untuk itu, pengembangan biogas dan energi terbarukan lainnya harus dilakukan. Kita harus yakin karena energi ini ramah lingkungan dan sangat tepat untuk mengatasi permasalahan iklim global yang terus didengungkan. “Konsistensi dan kemauan mutlak pemerintah diperlukan bagi pengembangan energi berkelanjutan di masa mendatang,” tegas Jatna.

Masih was-was kembangkan biogas?

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,