,

Kebijakan Moratorium Kapal Asing, Positif Tapi Negatif. Maksudnya?

Kebijakan moratorium kapal asing dan transhipment yang diberlakukan Kementerian kelautan dan Perikanan (KKP) pada Oktober 2014 dinilai memberi pengaruh positif pada dunia perikanan di Indonesia. Namun, dari sisi kesejahteraan nelayan, kebijakan tersebut belum dirasakan signifikan oleh nelayan di Tanah Air saat ini.

Menurut Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan dan Peradaban Maritim dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Suhana, kebijakan yang diatur dalam Permen KP No 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP NRI, memang tidak dirasakan secara langsung pada saat ini. Namun diharapan dalam beberapa waktu ke depan itu sudah bisa dirasakan.

“Kebijakan ini kan bagus, seharusnya berdampak bagus. Saat ini pun sudah mulai terasa manfaatnya, tapi memang kalau dibilang signifikan juga belum, karena dari sisi kesejahteraan nelayan pada kenyataannya masih belum membaik,” ujar Suhana di Jakarta, Rabu (29/04/2015).

Suhana mengatakan, salah satu dampak yang terlihat cukup jelas adalah perkembangan kapasitas produksi terpakai sektor perikanan. Seperti dirilis oleh Bank Indonesia pada akhir 2014, pada triwulan IV 2014 atau setelah aturan moratorium resmi diberlakukan, kapasitas produksi meningkat tajam hingga mencapai diatas 81 persen.

“Fakta tersebut cukup mengagetkan karena tahun sebelumnya kapasitas produksi paling tinggi di triwulan empat itu maksimal 73,63 persen. Itu menunjukkan bahwa ada peningkatan produksi di sektor perikanan nasional karena kapal asing tidak berlayar lagi,” cetus Suhana.

Kesejahteraan Nelayan Masih Tersendat

Walau dampak moratorium sudah terasa dari kapasitas jumlah produksi perikanan, namun dari sisi kesejahteraan nelayan hingga saat ini kondisinya masih sama saja. Menurut Suhana, kondisi itu bisa dimaklumi karena kebijakan moratorium tidak bisa instan dirasakan langsung oleh para nelayan.

“Ini sebenarnya sudah bagus. Tapi, sekali lagi, semua berproses. Sekarang nelayan masih begitu saja dan bahkan masih ada nelayan yang penghasilannya di bawah Rp500 ribu per bulan. Itu jauh di bawah UMR (upah minimum regional),” jelas Suhana.

Namun Suhana mengingatkan kepada Pemerintah, khususnya KKP terkait kebijakan moratorium tersebut. Pasalnya, walau tujuan dari moratorium itu bagus untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun ada fakta lain yang harus diperhatikan.

“Karena nelayan sekarang banyak yang tidak bekerja pada kapal-kapal asing, maka sudah semestinya mereka saat ini kehilangan mata pencaharian. Ini bisa menyebabkan munculnya pengangguran. Jika hal itu terjadi, gejolak sosial akan semakin tinggi di tingkat nelayan.

Dikonfirmasi terpisah, Menteri KKP Susi Pudjiastuti mengakui kalau moratorium memberi dampak positif untuk dunia perikanan Tanah Air. Namun, dia mengaku tidak mengetahui apakah dampak dari moratorium belum bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan.

“Iya, pasti ada peningkatan. Tapi seberapa besar peningkatannya saya tidak tahu. Itu lebih teknis persoalannya,” ujar Susi.

Pengawasan Perikanan Harus Terus Ditingkatkan

Terkait dengan pemberlakukan moratorium, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Asep Burhanuddin menjelaskan, setelah kapal-kapal asing dilarang berlayar, pihaknya semakin meningkatkan tugas pengawasan perairan di seluruh Indonesia.

Namun, tugas tersebut hingga saat ini masih terkendala sejumlah masalah teknis yang belum terpecahkan. Di antaranya, sumber daya manusia (SDM) dan juga fasilitas kapal yang tersedia.”Kita masih perlu tambahan kapal lagi untuk mobilitas di laut. Kalau dengan jumlah sekarang masih sangat kurang,”  ujar Asep.

Selain kapal, dia menyebutkan bahwa pihaknya juga saat ini masih menghadapi kendala terbatasnya pos pengawas perikanan yang tersebar di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI dan satuan kerja (satker) lain. Jumlah pos pengawas yang ada saat ini, diketahui berjumlah 194 UPT Pangkalan/Stasiun/Satker/Pos.

Seharusnya, dengan luasnya perairan Indonesia, menurut Asep, jumlah tersebut harusnya ditambah lagi. “Kondisi ini masih dirasakan belum memadai, idelanya diperlukan 817 Pos dan Satker Pengawasan di tempat-tempat lokasi pendaratan ikan dan pelabuhan perikanan,” imbuh Asep.

“Kemudian, jumlah personil juga masih sangat minim, dimana di beberapa Satker dan Pos PSDKP hanya memiliki dua atau tiga orang bahkan terkadang hanya satu orang personil Pengawas Perikanan,” tambah dia.

Kondisi tersebut, menurut Asep, ikut memengaruhi kinerja petugas pengawasan perikanan di seluruh Indonesia. Walaupun kinerja masing-masing petugas sudah dilaksanakan hingga maksimal, kata dia, namun itu belum maksimal karena masih banyak celah yang tidak terpantau.

“Selain itu masih terjadi resistensi pelaksanaan pengawasan di lapangan, seperti penggunaan VMS (Vessel Monitoring System) lebih dari 30 GT (Gross Tonnage) di Karangsong dan Kapal-kapal Inka tanpa dokumen,” tandas Asep.

Namun, di luar itu, Asep mengatakan bahwa dengan keterbatasan tersebut, pihaknya berhasil memproses 62 pelaku illegal fishing  yang terdiri dari 28 kapal perikanan Indonesia dan 34 kapal perikanan asing (KIA). Dari jumlah kapal asing tersebut didominasi Vietnam, Filipina, Thailand dan Malaysia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,