,

Kajian Perlihatkan Titik-titik Lemah Moratorium, Pesan: Perpanjangan dengan Penguatan

Kebijakan setop sementara (moratorium) izin hutan dan lahan gambut, 13 Mei ini berakhir. Pemerintah sudah memastikan perpanjangan. Kalangan organisasi masyarakat meminta perpanjangan dengan penguatan karena dalam dua periode belum menampakkan perbaikan tata kelola hutan. Hal ini diperkuat hasil kajian terbaru dari Kemitraan bersama Walhi, yang membeberkan ‘titik-titik lemah’ kebijakan ini.

Temuan analisis memperlihatkan, sejak kebijakan moratorium sesungguhnya areal dilindungi terus turun dari waktu ke waktu. Hasil kajian di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalteng, ini menunjukkan, areal moratorium gambut berkurang hingga 968.891 hektar.

Dari analisis PIPIB, khutan alam primer dan lahan gambut yang masuk moratorium sebenarnya sangat kecil. Sebab, sebagian besar areal moratorium justru di wilayah tidak terancam penerbitan izin baru seperti di hutan lindung dan kawasan konservasi. Di Kalteng, pada PIPIB revisi V, dari 3.781.090 hektar areal moratorium, 2.976.894 hektar (79%) hutan lindung dan kawasan konservasi.

Terungkap juga beda tafsir katagori lahan gambut antara pemerintah daerah dengan unit pelaksana teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kondisi ini, katanya, mengakibatkan areal yang seharusnya moratorium justru keluar pada revisi PIPIB, seperti di Indragiri Hilir (Riau) dan Pulang Pisau (Kalteng).

Temuan lain, pengurusan izin hutan kelola rakyat, baik hutan desa maupun hutan kemasyarakatan terhambat karena areal kerja masuk wilayah moratorium. Ini ditemukan di Teluk Meranti, Pelalawan, Riau dan di Musi Banyuasin, Sumsel.

I Nengah Surati Jaya, tim penganalisis mengatakan, kajian khusus PIPIB ini juga memperlihatkan, kawasan harus dilindungi karena gambut dan hutan alam selain di kawasan lindung/konservasi juga di hutan produksi konversi (HPK). “Ini luasan rentan untuk alami perubahan. Kalau dari komposisi, HPK dan non HPK, dari empat provinsi yang dikaji, HPK Kalteng cukup besar,” katanya di Jakarta.

Kajian ini, katanya, dengan empat provinsi itu sudah mewakili karena memiliki hutan primer dan gambut relatif luas. Total gambut keempat wilayah ini, 70% dari luas nasional, yang didominasi gambut sedang dan dalam. “Sesungguhnya, memang sangat tak layak dikonversi menjadi peruntukan lain  karena ekosistem rentan.”

Sumber: presentasi I Nengah Surati Jaya
Sumber: presentasi I Nengah Surati Jaya

Lalu apa yang terjadi dalam peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) I-VII? Nengah mengatakan, dari analisis terlihat penurunan besar pada empat provinsi ini selama tiga tahun revisi PIPIB.

Pengurangan luas lahan itu, katanya, di Kalteng sekitar 45%,  Riau berkurang 20% , Sumsel (11%) dan Jambi (30%). “Itu selama kurang lebih tiga tahun karena revisi setiap enam bulan,” katanya.

Kalau dilihat lebih detil lagi, katanya, pada tiap provinsi itu perubahan terbesar di lahan bergambut. Dari data terlihat, gambut Jambi turun 60.000 hektar, Sumsel (27.000 ribu), Riau (351.000), dan Kalteng (474.000). Jadi, katanya, ada sekitar 914.000 hektar lahan gambut keluar dari moratorium. “Jadi, luasan hutan moratorium menurun dan terbesar di gambut,” ucap Nengah.

Temuan lain menunjukkan, perubahan (pelepasan) dari kawasan moratorium itu mengelompok yang menunjukkan ada tekanan tertentu di lahan itu.

Tak selaras

Hasbi Berliani dari Kemitraan mengatakan, moratorium tak berjalan selaras pesan dalam inpres. Moratorium, katanya,  bertujuan mewujudkan keseimbangan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta kurangi emisi gas rumah kaca.

Namun, selama kebijakan jeda izin, terindentifikasi pelepasan kawasan hutan APL untuk pemenuhan permintaan adaministrasi daerah seluas 7,7 juta hektar di 20 provinsi. Izin HTI, katanya,  jauh lebih tinggi, dari tiga tahun sebelumnya, mencapai 1.131.165 juta hektar dan pelepasan kawasan hutan parsial untuk perkebunan seluas 1.136.956 hektar.

“Juga pinjam pakai kawasan hutan 2,2 juta hektar, jauh lebih tinggi tiga tahun lalu. Selama moratorium tak mampu menahan laju perizinan karena wilayah di luar moratorium sangat tinggi.”

Untuk itu, katanya, terkait penguatan dan perlidungan hutan maupun lahan gambut lewat moratorium ini, tim kajian memberikan beberapa rekomendasi.

Sumber: presentasi I Nengah Surati Jaya
Sumber: presentasi I Nengah Surati Jaya

Pertama, melanjutkan kebijakan moratorium untuk mempertahankan fungsi hutan dan memberikan waktu pemulihan. Juga memberikan waktu cukup bagi upaya-upaya perbaikan menuju tata kelola hutan dan lahan lebih baik, dengan periode waktu lebih dua tahun.

Kedua, kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut ke depan harus bebasis capaian dengan indikator perbaikan tata kelola hutan lebih terukur. Dia mencontohkan, penyelesaian tata batas kawasan hutan, sinkronisasi peraturan, review perizinan, penyelesaian konflik tenurial, penurunan kebakaran hutan dan lahan, serta penegakan hukum.

Ketiga, perlu memperkuat basis hukum kebijakan penundaan pemberian izin baru dan perbaikan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, tak hanya lewat inpres, paling tidak Peraturan Presiden.

Keempat, perlu memperluas wilayah cakupan moratorium dengan memasukkan hutan alam primer dan lahan gambut tersisa serta kawasan terancam seperti karts, mangrove, dan pulau-pulau kecil. “Kawasan konservasi tidak perlu masuk moratorium karena sudah dilindungi berdasarkan UU. “

Kelima, mengecualikan wilayah-wilayah potensial pemberdayaan masyarakat atau perhutanan sosial dalam kebijakan moratorium.

Target tak jelas

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, tak ada satu dokumen bicara soal target-target pemerintah, terkait penggunaan dan pemanfaatan lahan. “Apakah ini mau diteruskan, ataukah mau tingkatkan prioritas? Tanah ditempatkan sebagai barang bebas, bisa dimanfaatkan siapa saja.”

Belum lagi rezim perizinan. Organisasi masyarakat sipil, katanya, sudah mendorong perombakan rezim perizinan. “Saat ini, atas nama komoditas, pengusaha land banking. Kami duga, moratorium jadi satu soal, karena sebenarnya sudah ada land banking perusahaan besar cukup pengaruh secara politik maupun ekonomi di negeri ini.” Belum lagi, kata Abetnego, pembangunan ekonomi terkonsentrasi pada penguasaan lahan skala besar.

Arief Juwono Deputi di Kementerian Lingkungan dan Kehutanan menyatakan moratorium itu berbicara satu kebijakan publik:  sudah ada niat, ada kebijakan dan implementasi. “Kalo perlu ada penegakan hukum…tentu tiap rangkaian ada titik lemah dan titik kuat…”

Arief akan menyampaikan, kajian ini kepada Menteri Siti Nurbaya. Masukan-masukan dalam kajian ini, katanya, akan menjadi pertimbangan pemerintah. “Tentu ini harus dipelajari cermat di mana titik persoalan utama.Ingin kita kembalikan, apa sih moratorium itu? Yakni, capai tata kelola hutan yang benar.”

Sumber: presentasi I Nengah Surati Jaya
Sumber: presentasi I Nengah Surati Jaya

Modus di lapangan

Arie Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah,  menceritakan, kawasan-kawasan hutan masuk perlindungan moratorium izin tebang hutan dan lahan gambut di Kalteng, tetapi ‘sukses’ keluar dengan berbagai modus.

“Ada (hutan) dibakar dulu, dirusak dulu, baru dibuka. Karena perubahan-perubahan karena ada kepentingan itu maka dikeluarkan dari moratorium,” katanya.

Dari situ, memperlihatkan, tahapan pemberian izin dilanggar dulu, baru legitimasi lewat pengeluaran dari moratorium izin.

Modus lain, katanya, IUP di kawasan moratorium tetapi tanggal izin dimajukan ke masa sebelum ada kebijakan itu. Tujuannya, kala mengajukan peninjauan kawasan hutan itu bisa keluar dari wilayah yang dilindungi moratorium.

Dengan berbagai modus pengeluaran izin ini, terlihat subtansi moratorium untuk tak mengeluarkan izin baru tak efektif.

“Kecenderungan izin massif ada keterkaitan kuat dengan pilkada. Izin dikeluarkan dulu. Setelah menang, lalu keluar izin baru. Banyak dilakukan incumben dan bupati baru. Panjar duluan dan menagih ketika terpilih…,” ujar dia.

Dari 11 kasus kawasan moratorium yang dipantau Walhi Kalteng, katanya, tampak tak ada sanksi tegas walau terjadi pelanggaran. “Bupati langgar juga tak apa. Wilayah-wilayah terancam, justru mempercepat penghancuran kalau tak masuk moratorium. Padahal itu berfungsi ekosistem dan sosial.”

Kondisi tak jauh beda di Sumatera Selatan. Tampak pelanggaran di wilayah moratorium terjadi begitu saja. Di kawasan-kawasan moratorium malah ada izin sawit. Illegal logging juga terus jalan. Kalau tak ada penegakan hukum tak akan memberikan efek baik,” kata Hadi Djatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel.

Belum lagi, kawasan yang masuk moratorium ternyata didominasi hutan konservasi—yang tanpa kebijakan jeda izinpun sudah terlindungi aturan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,