Dari Time 100 2015 : Kisah tentang Mereka yang Mengubah Dunia Keberlanjutan

 *Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance  Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Setiap tahun, majalah Time punya ritual yang sangat penting.  Dewan redaksinya memilih seratus tokoh yang dianggap punya kontribusi penting mewarnai dunia sepanjang setahun terakhir, lalu meminta para tokoh lainnya—yang mengenal baik mereka yang terpilih—untuk menuliskan esai pendek soal jasa mereka yang terpilih.

Karena kontribusi mewarnai dunia adalah sebuah kategori yang sangat luas, maka mereka yang terpilih bisa jadi bukan tokoh panutan, namun pengaruhnya sangat kuat dan tak bisa diabaikan.  Untunglah, selama bertahun-tahun penulis mengikuti daftar yang dikeluarkan, sebagian besar isinya bukanlah para perusak dunia.

Demikian juga daftar yang dikeluarkan Time pada edisi 27 April – 4 Mei tahun ini. Ada banyak tokoh yang punya kontribusi positif terhadap dunia, walaupun tetap ada di antara mereka para tokoh yang sesungguhnya berbuat kerusakan. Pandangan para penulis esai singkat yang menjelaskan peran masing-masing tokoh sendiri sangatlah subjektif, terutama karena majoritas penulisnya memang mengenal sang tokoh secara pribadi dan sangat dekat.

Dengan pendekatan itu, sesungguhnya pembaca juga diundang untuk memberikan sudut pandang subjektif atas para tokoh terpilih ini.  Bisa saja kita tak setuju dengan daftarnya, tetapi bila setujupun kita bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.

Tulisan ini sendiri hendak menimbang beberapa tokoh yang masuk daftar tersebut dari sudut pandang keberlanjutan, CSR, dan bisnis sosial, sesuai dengan bidang yang penulis geluti selama ini.  Kanye West, yang menjadi sampul majalah ini—ataupun istrinya yang juga masuk daftar, Kim Kardashian—tak jelas benar bagaimana kontribusinya pada dunia keberlanjutan, jadi tak akan didiskusikan di sini.

Diskusi pertama adalah tentang kontribusi Tim Cook, sang CEO Apple.  John Lewis, aktivis HAM dan anggota kongres dari Partai Demokrat di AS, yang menuliskan esainya melihat jasa Cook dari keberaniannya menyatakan diri sebagai homoseksual, dan memperjuangkan persamaan hak kaum lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT) di dalam dunia korporasi.  Lewis menyatakan bahwa Cook adalah tokoh tanggung jawab sosial perusahaan karena itu.

Namun, jasa Cook terbesar untuk keberlanjutan dan CSR sesungguhnya jauh lebih besar dari itu. Cook adalah satu-satunya CEO yang pernah menyatakan secara lantang pembelaannya terhadap energi terbarukan.  Pada RUPS Apple 2 tahun lalu, seorang investor mempertanyakan komitmen Apple pada energi terbarukan, yang menurutnya disandarkan pada pengetahuan yang belum solid tentang perubahan iklim, dan ini berpotensi mencederai keuntungan perusahaan yang akan berakibat pada menurunnya dividen yang diterima pemegang saham.

Cook tak ragu menjawab pertanyaan itu.  Bukan saja menyatakan keyakinannya pada perubahan iklim antropogenik dan tanggung jawab perusahaan untuk menurunkan emisi, dia juga menyatakan bahwa dia tak menginginkan adanya uang investor yang tak peduli pada dampak perubahan iklim di dalam perusahaannya!

Di tangan Cook pula penyelidikan asal-usul timah yang dipergunakan untuk membuat ponselnya dilakukan, dan membuat Apple mendarat di Provinsi Bangka Belitung, Indonesia. Dari sudut pandang ini, Cook telah mendorong konsep extended CSR untuk dipraktikkan secara sungguh-sungguh, terutama terkait dengan rantai pasokan.

Kisah Elizabeth Holmes bisa terbaca seperti para jenius teknologi informasi.  Ia men-DO-kan dirinya di tahun kedua dari Universitas Stanford.  Mungkin karena kesamaan kisahnya dengan para raksasa teknologi informasi seperti Bill Gates dan Steve Jobs dan generasi sesudah mereka, Henry Kissinger melihat Holmes sebagai seorang visioner teknologi.

Apa teknologi yang dikembangkan perempuan cantik berumur 31 tahun ini? Pengujian segala penyakit yang bisa dideteksi dari darah. Dan bukan sekadar metode pengujian yang baru, melainkan juga harus sangat murah dan bisa dikerjakan dengan mobilitas yang sangat tinggi.  Dia melakukannya karena percaya bahwa perawatan kesehatan adalah bagian dari HAM.  Theranos, perusahaan sosial yang dibuatnya, kini sedang berusaha keras agar layanannya bisa diakses oleh seluruh dunia.  Dengan bekal utama yang dimiliki Holmes—sebagaimana yang digambarkan oleh Kissinger—yaitu “…fierce and single minded dedication with great charm….” setiap pojok dunia bisa berharap pada keajaiban teknologi dan tanggung jawab sosial yang dibawa oleh Theranos.

Chai Jing adalah kisah berikutnya.  Sama dengan Ma Jun yang menulis esai tentang dirinya, ia adalah seorang jurnalis.  Memanfaatkan keahliannya dalam menggali dan mempresentasikan data, Chai Jing membuat film dokumenter mengenai polusi yang terjadi di negeri asalnya, Cina.

Film berjudul Under the Dome itu baru saja dirilis awal tahun ini, namun hasilnya luar biasa.  Bukan saja masyarakat Cina dan pemerintahnya yang sangat tertarik dengan film tersebut lalu bertindak untuk mengatasi polusi, seluruh dunia menyaksikannya dan juga bertindak di tempat masing-masing.  Dalam bilangan hari, penonton filmnya mencapai 200 juta orang!

Yang sangat dahsyat dari kisah Chai Jing adalah bagaimana kemampuan jurnalisme investigatif digabungkan dengan isu-isu ilmu pengetahuan dan kebijakan publik yang kompleks bisa benar-benar diterima dan menggerakkan orang.  Ma Jun menyatakan bahwa bukan hanya pemerintah Cina membuka pintu perdebatan publik tentang polusi untuk pertama kalinya lantaran film itu, namun juga orang-orang yang tadinya sinis dan indiferen kini mulai berubah menjadi pejuang penanganan polusi.

Jurnalisme juga merupakan latar belakang John Oliver.  Namun, berbeda dengan Chai Jing yang memanfaatkan film dokumenter sebagai media pendidikan massa, Oliver punya acara televisi yang sangat popular, Last Week Tonight, di saluran HBO.  Acara tersebut ia pergunakan untuk membawakan isu-isu yang sangat serius, dengan cara yang kocak luar biasa.

Penulis esai tentang Oliver, Elizabeth Bierman adalah pimpinan Society of Women Engineers yang mendapatkan manfaat besar karena diangkat di acara Oliver.  Namun, dari sudut pandang keberlanjutan, jasa Oliver tidak datang dari situ.  Setelah ia mendapatkan informasi bahwa sesungguhnya 97% ilmuwan perubahan iklim sepakat tentang penyebabnya yang antropogenik, dia melancarkan kritik terhadap acara-acara TV lainnya yang berupaya menghadirkan pandangan ‘seimbang’ antara yang percaya dan yang tidak.  Keseimbangan pandangan—atau cover both sides dalam istilah jurnalisme—diwujudkan oleh banyak saluran TV lain dengan cara menghadirkan masing-masing wakil yang percaya dan yang tidak.  Menurut Oliver itu adalah kebodohan luar biasa.  Maka, di acaranya ia tampilkan 3 orang yang tak percaya dengan perubahan iklim antropogenik di satu sisi, melawan 97 orang di sisi lainnya.

Oliver juga terkenal dengan kata-katanya yang tajam terhadap korporasi yang tak beretika.  Ia membongkar perilaku industri rokok yang menjual produk mematikan itu kepada anak-anak—yang ia ambil kasusnya di Indonesia—dan yang menuntut berbagai negara yang ingin mempromosikan kesehatan warganya, terutama dengan perjanjian dagang.

Ia tampilkan iklan terbaru Marlboro di acaranya itu, dan ia nyatakan bahwa iklan tersebut adalah horse shit.  Ia bilang tak pantas Marlboro Man menjadi ikon produk rokok—yang empat di antaranya sudah meninggal karena penyakit terkait rokok—dan mengusulkan Jeff the Diseased Lung sebagai gantinya. Paru-paru rusak berpakaian koboi, menurut Oliver, lebih tepat menjadi maskot Marlboro.

Industri gula dan farmasi yang juga banyak melakukan tindakan tak terpuji juga ia bongkar habis-habisan.  Dengan caranya itu penontonnya bukan saja menjadi lebih sehat tubuhnya lantaran tawa yang tak kunjung selesai sepanjang acara, namun juga sehat benaknya lantaran pengetahuan kokoh yang ia berikan.

Thomas Piketty adalah penulis handal, selain tentu saja adalah seorang ekonom yang sangat handal.  Seandainya ia ‘hanya’ seorang ekonom handal, tentu buku teksnya yang setebal hampir 700 halaman, Capital in the 21st Century, tak akan bisa terjual lebih dari 500 ribu eksemplar dalam waktu yang sangat singkat.

Apalagi, tema yang diusungnya, yaitu ketimpangan pendapatan, boleh dikatakan tabu bagi kebanyakan ekonom.  Hanya mereka yang sekelas Joseph Stiglitz dan Paul Krugman saja yang selama ini berani menyentuhnya.  Tapi, ekonom Prancis berusia 43 tahun ini memang istimewa.  Ia tak khawatir menjadi tidak popular—dan penjualan bukunya sudah membuktikan bahwa dia memang tak perlu khawatir—lantaran ia percaya betul pada kebenaran ilmiah yang ia upayakan.

Kalau Karl Marx meyakini bahwa ketimpangan yang semakin memburuk adalah keniscayaan Kapitalisme, maka Piketty lah yang bisa membuktikannya dengan data time series sepanjang satu abad terakhir.  Ia mendapati bahwa pertumbuhan ekonomi (growth) yang bisa dinikmati kebanyakan orang tumbuh 1-1,5% per tahun, sementara hasil dari investasi (return on investment) yang hanya bisa dinikmati oleh pemilik modal tumbuh 4-5% per tahun.

Namun ia tak berhenti di situ, ia juga mengusulkan secara terperinci bagaimana ketimpangan itu bisa dikikis dan keadilan bisa diperoleh.  Oleh karena itu, menurut Grover Norquist yang menulis esai tentang dirinya, “Perhaps Piketty has brough not Marx but John Rawls back to center stage.”  Tentu, perjuangan untuk mencapai keadilan ekonomi mustahil tanpa melihat derajat kedalaman ketimpangan yang terjadi.  Mungkin Piketty adalah titisan Marx dan Rawls sekaligus, dan oleh karena itu dari dirinya kita bisa belajar banyak tentang keberlanjutan ekonomi dan sosial.

Paus Francis adalah seorang pastor yang sangat menarik.  Bukan saja ia sangat rendah hati dengan pengakuannya sebagai manusia pendosa, ia menyampaikan banyak sekali hal yang sangat dalam dengan cara yang ringan, bahkan kerap penuh canda.  Humor bukanlah ciri khas Gereja Katholik sebelum Francis duduk di tahta Vatikan, namun kini rasanya menjadi hal yang alamiah.

Apa yang dilakukan Francis untuk keberlanjutan sangatlah dahsyat.  Ia menyatakan bahwa perubahan iklim harus diatasi oleh seluruh umat manusia, termasuk umat Katholik.  Ini bukan saja pertanda ia menerima ilmu pengetahuan yang menjadi basis klaim tentang terjadinya perubahan iklim, ia juga menyatakan pentingnya transformasi hati dan benak manusia untuk mengatasinya.  Isu perubahan iklim bahkan ia masukkan ke dalam agenda resmi Gereja mulai tahun ini.

Dan, ketika organisasi pendusta perubahan iklim nomor satu di dunia, Heartland Institute, hendak mencegah jangan sampai Gereja Katholik mengeluarkan agenda dan pernyataan resmi tentang perubahan iklim, Paus Francis tak menggubrisnya.  Dengan begitu, ia telah menggembalakan umatnya dengan bijak, menghindari bencana yang sangat membahayakan bukan saja umatnya, tapi juga seluruh umatNya.

Masih ada beberapa kisah lagi yang bisa dipandang terkait dengan keberlanjutan. Kisah Chandra Kochhar, misalnya.  Ia adalah CEO dari ICICI Bank, yang merupakan bank swasta terbesar di India.  Bukan saja ia bisa membawa bank tersebut menjadi semakin besar pendapatan dan keuntungannya, namun ia juga berhasil menghadirkan layanan perbankan ke pedesaan yang tadinya tak terjangkau.  Ia memecahkan masalah akses permodalan masyarakat desa di seantero negerinya.

Emma Watson bukan ‘cuma’ Hermione Granger di serial Harry Potter.  Ia kini telah menjelma dari penyihir cilik menjadi pembela keadilan gender melalui kampanye HeForShe-nya.  Ia mengajak kaum pria memerangi ketidakadilan gender, dan untuk itu, ia pun telah didaulat untuk menyampaikan pemikirannya di Davos.  Pidatonya di PBB  kini telah ditonton lebih dari 8 juta kali.

Vikram Patel adalah seorang psikiater yang sangat sadar bahwa orang-orang miskin yang mengalami masalah kejiwaan kerap tak bisa mendapatkan pertolongan psikiatri.  Ia mendirikan LSM bernama Sangath dan juga Center for Global Mental Health di London untuk keperluan tersebut.  Ia mengajari kepada kita semua rasa cinta dan hormat kepada mereka yang mengalami masalah kejiwaan.

Terakhir, remaja putri berumur 17 tahun yang telah dianugerahi Nobel Perdamaian tahun lalu, Malala Yousafzai, juga merupakan tokoh keberlanjutan dan keadilan yang penting.  Ia memperjuangkan pendidikan untuk anak-anak perempuan di negerinya, lalu menjadi ikon pendidikan untuk anak-anak di seluruh negara berkembang.

Kisah perjuangannya yang gigih itu bahkan tak berhenti ketika Taliban menembak kepalanya hingga ia terluka parah.  Dari Inggris, tempatnya menuntut ilmu sekarang, ia terus berjuang untuk keadilan dan hak memperoleh pendidikan. Ia adalah bukti nyata bahwa sesungguhnya tak pernah ada kata terlalu muda untuk menjadi agen perubahan dunia ke arah yang lebih baik.

Kisah-kisah di atas adalah tentang kemuliaan yang datang dari kesadaran mengenai keberlanjutan dan/atau keadilan serta usaha keras untuk mewujudkannya. Namun, seperti yang dinyatakan di bagian awal tulisan ini, pengaruh besar bisa juga berarti negatif.

Charles dan David Koch, atau yang lebih dikenal sebagai Koch Bersaudara, juga nangkring di daftar Time 100 tahun ini. Penulis esainya Rand Paul, adalah seorang senator AS dari Partai Republik yang telah menyatakan diri sebagai kandidat Presiden AS pada pemilu tahun depan. Yang dituliskan Paul tentang Koch Bersaudara bukan sekadar puja dan puji yang kelewatan, namun benar-benar adalah kebohongan luar biasa.

Di situ Koch Bersaudara dinyatakan terkenal di antaranya karena filantropi dan lobi yang konsisten untuk menentang special interest politics.  Ini jelas kebohongan luar biasa yang dinyatakan secara telanjang.  Terlampau banyak publikasi ilmiah yang sudah menemukan bahwa Koch Bersaudara adalah pendana utama organisasi-organisasi penyangkal (denier) dan penunda (delayer) tindakan atas perubahan iklim.

Studi Robert Brulle bertajuk Institutionalizing Delay: Foundation Funding and the Creation of US Climate Change Counter-Movement Organizations (2013) menemukan bahwa dana yang diguyurkan untuk aktivitas penyesatan informasi tentang perubahan iklim mencapai lebih dari USD900 juta setiap tahunnya, dan banyak di antaranya yang bisa dilacak kepada Koch Bersaudara.

Alih-alih philanthropy—yang dari asal katanya berarti cinta kepada kemanusiaan—apa yang dilakukan oleh Koch Bersaudara mungkin bisa dikatakan sebagai villainthropy, atau musuh dari kemanusiaan.  Koch Bersaudara memang musuh kemanusiaan, seperti juga Kim Jong Un dan Benyamin Netanyahu yang juga masuk ke dalam daftar Time 100 tahun ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,