Namanya permen gula sori. Di Sulawesi Selatan, permen ini dikenal luas di beberapa kabupaten, meskipun kemasan berbeda-beda tiap daerah. Permen ini adalah salah satu produk petani hutan.
Salah satu penghasil permen ini dari lereng Bulu Nene (Gunung Nenek), terletak di Desa Massewae, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Sulsel.
Berbeda dengan buatan pabrik, yang dikemas dalam plastik, kemasan permen ini dalam bambu kecil berdiameter dua cm. Bambu harus dipotong atau dibelah untuk mengambil cairan gula.
Bahtiar, petani hutan pembuat gula sori mengajak saya mengunjungi rumah produksinya. Ia berupa rumah panggung tua di Hutan Bulu Nene, Sabtu (16/4/15). Tak mudah menjangkau lokasi ini. Melewati jalan setapak, licin dan melintasi jembatan kecil terbuat dari pohon.
Saya bertemu Bahtiar, tidak sengaja di makam keramat warga di lereng gunung itu. Makam ini, konon milik penyebar Islam di sana. Ia ramai dikunjungi warga, untuk berziarah dan berdoa pada Senin dan Kamis.
Untuk mencapai makam juga tidak mudah. Berjarak sekitar lima km dari jalan poros Pinrang-Polewali Mandar (Polman), melewati jalanan setapak ditumbuhi tanaman berduri. Meski bersepeda motor, tetap susah karena jalanan mendaki dan bergelombang. Belum lagi harus melintas beberapa sungai kecil.
Bahtiar bercerita, bahan utama gula dari pohon enau, bahan sama untuk pembuatan gula merah. Proses pembuatan mirip pembuatan gula merah. Yang berbeda, hanya proses akhir. “Ini lebih kental, gula tidak membeku seperti gula merah,” katanya.
Pada proses akhir gula merah, biasa diberi minyak kelapa guna mempercepat pembekuan, juga permen gula. Membuat gula ini menjadi pekerjaan sampingan Bahtiar dan mertuanya sejak puluhan tahun silam setelah membersihkan kebun kakao di hutan. Setiap hari mereka masuk hutan, membersihkan kebun, lalu memanjat enau mengambil cairan. Sehari mereka bisa mendapat cairan enau hingga lima jerigen ukuran lima liter.
Setelah enau terkumpul, dimasak dalam wajan besar, perlu berjam-jam hingga mengental dan berwarna merah kecoklatan. “Kalau dimasak pukul 7.00 pagi, biasa pukul 12.00 siang bisa dituang ke bambu.”
Bahtiar mempraktikkan bagaimana cairan itu dituang dalam batang bambu sepanjang sekitar satu meter. Proses ini harus hati-hati agar tangan tak tersiram cairan panas.
Ismail, pengurus Koperasi Bulu Dewata, yang menemani saya mengunjungi tempat itu, mengatakan, banyak pembuat gula ini di hutan Desa Massewae. Mereka tinggal di luar hutan, namun segala aktivitas di hutan.
“Pagi-pagi mereka masuk hutan dan pulang di siang atau sore hari. Rata-rata warga sekitar hutan memiliki kebun dalam hutan.”
Sebagian petani penghasil Sori juga anggota Bulu Dewata, yang berizin pengelolaan hutan tanaman rakyat (HTR) di sana.“Paling banyak di Kampung Lamoro. Hampir semua petani pembuat gula. Ada yang bikin sori, banyak bikin gula merah. Mereka juga akan menanam jati putih kalau bibit siap.”
Dalam sehari, Bahtiar bisa memproduksi lima sampai tujuh bilah bambu gula. Sebagai bahan bakar, dia mengumpulkan ranting-ranting pohon sekitar.
Harga jual berkisar Rp30.000-Rp40.000. Biasa tak terjual habis setiap hari. “Setiap bulan paling Rp300.000-an,” kata Bahtiar.
Pasar juga terbatas. Jika petani lain banyak memasarkan di pasar tradisional, Bahtiar hanya menjual pada Senin dan Kamis, ketika banyak peziarah datang ke makam di lereng gunung itu. Sayangnya, tak semua gula laku. Beruntung, permen ini bertahan hingga berbulan-bulan.
Selain menjual gula, Bahtiar mempunyai kebun kakao dan pada saat tertentu masuk hutan mencari madu. “Di sini ada hutan lindung, tapi masuk jauh lagi kalau mau dapat madu. Itupun ada musim.”
Penghasilan dari madu hutan lumayan. Dia bisa memperoleh sampai 10 botol madu sebulan. Mereka menjual Rp100.000– Rp120.000 per botol. Namun, terkendala musim terbatas dan perjalanan ke hutan jauh dan sulit.
Bahtiar mengatakan, tak pernah mendapatkan masalah selama berkebun di hutan, meskipun baru-baru ini potensi ancaman mulai muncul, yaitu rencana ekspansi sawit di sana.
“Sudah ada datang tanya-tanya lokasi. Katanya sawit bisa lebih sejahtera. Tapi banyak warga menolak.”
Hutan Bulu Nene, dulu adalah perkampungan warga, terbukti dengan banyak makam tua. Seiring kebijakan pemerintah, seluruh warga di dalam hutan dan pegunungan dipaksa turun ke dataran lebih rendah, tempat pemukiman yang ditetapkan pemerintah.
Meski ditinggalkan, kebun-kebun mereka tetap ada. Kawasan ini tetap dikunjungi warga karena ada kuburan tua. Tempat ini sempat menjadi kontraversi. Sebab, tak jauh dari sana ada pesantren DDI Kaballangeng, yang beberapa kali melarang warga datang berdoa di tempat keramat itu.
Warga berdoa tetap berlanjut. Makam tua bahkan direnovasi setahun terakhir. Peziarah eamai menjadi berkah bagi warga setempat untuk berjualan, termasuk Bahtiar.