,

Beginilah Perjuangan Warga Bangka Mempertahankan Lingkungan

“Kami tidak habis pikir, kenapa perusahaan sewenang-wenang mau ambil tanah kami?” kata Jon Haerani. Dia menghela nafas, mata menerawang. “Sudah sejak dulu kami menempati desa ini. Nenek-moyang kami mendapatkan tidak gratis!”

Saya menemui Jon di Sekretariat Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Jakarta, dua pekan lalu. Wajah pria 41 tahun ini tirus, rambut setengah berombak.

Jon, warga Desa Kahuku, Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Lahan mereka jadi pertambangan PT Migro Metal Perdana (MMP), perusahaan asal Tiongkok yang berkantor di Jakarta.

Perusahaan ini datang ke Kahuku, membikin denah tanah mana yang bisa ditambang lebih dulu, mana yang menyusul. Surat izin eksplorasi tambang bijih besi itu dikantongi MMP, dikeluarkan Bupati Minahasa Utara Sompie Singal pada September 2008.

MMP kemudian membawa alat-alat berat. Ratusan pekerja datang. Mangrove sekitar bibir pantai ditebang. Air laut menjadi keruh.“Itu yang masuk tambang tanah miliki warga. Mereka menambang seenaknya. Bilangnya memang dibeli. Tapi tidak seperti orang jual-beli tanah sebagaimana biasa. Mereka lapor ke kepala desa. Warga punya tanah dipanggil. Langsung diminta tanda tangan di kertas. Kalau tidak tandatangan dikucilkan. Bahkan ada ancaman akan dibunuh.”

Diapun tak tahu isi dalam kertas yang ditandangani. “Tidak tahu. Kebanyakan warga Kahuku memang buta aksara. Menurut kepala desa, kertas itu berisi perjanjian jual-beli tanah, antara warga dan perusahaan. Ini saksinya,” kata Jon. Dia menunjuk pria di sebelahnya.

Theopilus, lelaki  di sebelah Jon mengangguk. Theo warga Desa Ehe, tetangga Kahuku yang juga jadi lahan pertambangan MMP. Menurut dia, tanahnya tercatat di kantor kepala desa seluas 15 hektar. “Itu tanah warisan nenek-moyang. Tidak boleh dijual karena kami hidup dari situ.”

Pernah suatu siang dia diundang ke kantor kepala desa untuk jual-beli tanah. Saat diminta membubuhkan tandatangan, dia menolak. “Tidak dijual. Sampai kapanpun tidak akan dijual.”

Dia lantas meninggalkan kantor kepala desa. Di tengah perjalanan menuju pulang, dia melihat rombongan truk dan traktor menuju arah sama. Jumlah tidak sedikit. Aparat kepolisian dan tentara tampak mengiringi rombongan. Dalam hati Theo membatin, alat-alat itu mungkin dipersiapkan untuk eksplorasi.

Sesampai di rumah Theo tidak diam. Khawatir lahan dirusak, dia menjaga dengan sebilah parang. Tiga hari tiga malam. “Mau bagaimana lagi? Saya sudah susah percaya aparat. Hanya parang itu yang bisa jadi pertahanan terakhir!”

“Itu mungkin cara buruk yang dilakukan warga. Tapi akhirnya kami sadar, yang membekengi perusahaan kuat. Tidak mungkin dilawan dengan otot. Maka kami ke Jakarta. Kami tempuh juga jalur hukum ini,” kata Jon.

Jon Haerani, warga Desa Kahuku, Pulau Bang, Sulut, datang ke Jakarta, memberi kesaksian dalam sidang melawan Kementerian ESDM. Foto: Hari Wibowo
Jon Haerani, warga Desa Kahuku, Pulau Bang, Sulut, datang ke Jakarta, memberi kesaksian dalam sidang melawan Kementerian ESDM. Foto: Hari Wibowo

***

Perjuangan warga mempertahankan wilayah hidup begitu berliku. Pada 18 Januari 2012,  10  warga Bangka menggugat ke PTUN Manado menuntut pembatalan izin eksplorasi MMP. Pulau Bangka sebagai pulau kecil sebagaimana dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang tak boleh ada eksploitasi skala besar. Namun, Agustus 2012, tuntutan berbuah pahit bagi masyarakat. PTUN Manado menolak tuntutan masyarakat karena melewati tenggat waktu pangajuan gugatan.

Warga tak patah arang. Mereka banding ke PTUN Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 1 Maret 2013, PTUN Makasaar memberikan putusan menjungkir balik putusan PTUN Manado. Hakim PTUN Makassar menerima semua poin keberatan warga. Bupati dan MMP maju ke Mahkamah Agung.

Sejalan dengan upaya naik banding, pada 17 Oktober 2012, MMP mengajukan tuntutan ganti rugi Rp32 milliar terhadap empat penduduk Bangka di PN Airmadidi dengan alasan menghambat pekerjaan eksplorasi perusahaan. Terhadap tuntutan ini, empat warga mengajukan tuntutan balik Rp6 trilliun dan Rp2 milliar ke MMP yang menimbulkan masalah dan ketegangan di masyarakat. Buntutnya, perkara ini dinyatakan selesai karena MMP mencabut tuntutan tanpa syarat.

Setahun kemudian, angin segar juga berembus pada masyarakat Bangka. Pada 24 September 2013, MA menolak permohonan banding Bupati Minut dan MMP. Putusan MA sama: memerintahkan bupati mencabut izin tambang MMP.

Namun, putusan hukum seakan tak berarti di negeri ini, di mata aparat pemerintah maupun pengusaha. Di lapangan, keputusan MA tidak dipatuhi. “Bupati Minahasa Utara Sompie Singal justru memberikan izin MMP memulai tahap awal pertambangan,” kata Jon.

Akhir September 2013, MMP mencoba melabuhkan peralatan pengeboran secara paksa di Kahuku. Penolakan tegas datang dari ratusan penduduk Bangka dan dukungan masyarakat Pulau Kinabuhutan dan Talise.

Penolakan dijawab dengan mengirim dua batalion kepolisian Provinsi Sulawesi Utara ke Desa Kahuku. Sebuah ancaman juga dilayangkan: jika masyarakat tetap membuat aksi penolakan maka akan diambil tindakan tembak mati di tempat.

Ancaman ini tidak membuat mundur masyarakat, malah sebaliknya: masyarakat memberikan batas waktu sehari kepada MMP menarik peralatan pengeboran. Akhirnya, peralatan ditarik dan polisi meninggalkan Kahuku, meski hanya sementara.

Perjuangan ke pusat dilakukan. Warga mendatangi berbagai kementerian. Pertemuan-pertemuan digagas UKP4 berjalan. Sekali lagi, kla pertemuan-pertemuan itu menghasilkan rekomendasi penghentian sementara operasi MMP, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) malah mengeluarkan izin usaha produksi 17 Juli 2014. Alhasil, Kementerian ESDM menghadapi gugatan warga di PTUN Jakarta. Kini, persidangan sedang berlangsung.

Jon dan Theo, ke Jakarta untuk mengikuti persidangan. Mereka memberikan kesaksian di PTUN Jakarta. Mereka menggalang dukungan dari berbagai elemen, mengundang wartawan guna menuturkan tindakan brutal aparat, dan kesewenang-wenangan MMP.

Jon menekankan, surat izin Kementerian ESDM tidak punya landasan kuat. Sebab, MA sudah memerintahkan izin dicabut.

Nasibmu Pulau Bangka, tambang datang, alam pulau ini menderita. Pemerintah, di manakah peranmu ?  Foto: Save Bangka Island
Nasibmu Pulau Bangka, tambang datang, alam pulau ini menderita. Pemerintah, di manakah peranmu ? Foto: Save Bangka Island
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,