,

Batu Kuyu dan Kearifan Masyarakat Sebadak Raya Menjaga Hutan

Matahari pagi terasa hangat menerpa kulit. Namun, sangat kontras dengan dinginnya air gunung yang kami rasakan di kediaman Kepala Desa Sebadak Raya, Mikael Edi Sairundi (42). Pagi di awal Mei 2015 itu, Edi bersama beberapa warga; Silvanus Minsol, Samad, Supawi, dan Ason Nelos, memang telah berjanji akan mengajak kami melihat Bukit Kuyu, hutan adat di Desa Sebadak Raya, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Perjalanan memang harus dilakukan pagi hari, karena bila siang, mentari akan panas menyengat. Apa yang membuat Bukit Kayu istimewa? Menurut Ason, Kepala Urusan Desa Sebdak Raya, di hutan tersebut terdapat batu besar. Ukurannya sama dengan bangunan tingkat lima. Namanya Batu Kuyu.

Daerah Bukit Kuyu ini merupakan wilayah adat masyarakat Dayak Kayong yang berasal dari Kalimantan Tengah. Mereka menghuni kawasan hulu Kabupaten Ketapang, berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Kata Ason, asal muasal mengapa Dayak Kayong berada di Nanga Tayap, karena leluhur mereka kala itu mencari daerah baru untuk dijadikan permukiman dengan menelusuri sungai.

Desa Sebadak Raya sendiri, menurut Edi, telah ada sejak 1800-an. Keluarganya sudah empat generasi tinggal di daerah tersebut saat masih berupa hutan rimba. Beberapa kepala keluarga, mendirikan rumah di daerah tersebut. Mereka membuka lahan di sekitar pemukiman untuk bercocok tanam. Jumlah penduduknya saat ini sekitar 2.000 jiwa, dengan sekitar 600 kepala keluarga. “Sebadak Raya juga dikelilingi tujuh buah sungai yaitu Intip, Sediung, Sekirik, Sendurian, Pampang Duo, Kebuai, dan Macian yang semuanya ini sebagai sumber air bersih warga,” ujar Edi.

Saat penjajahan Belanda, Sebadak Raya pernah mengalami regrouping dengan beberapa warga yang hidup di dekatnya. Tahun 1980-an, diubah menjadi dusun, karena wilayahnya dianggap kecil. Baru lah pada 1990-an, Sebadak Raya kembali ditetapkan menjadi Desa, dengan tiga dusun yaitu Kebuai, Tanjung Beringin, dan Tanjung Bunga.

Ason Nelos dan Minsol menunjuk pohon ulin yang menjadi pohon keramat warga Desa Sebadak Raya. Foto: Aseanty Pahlevi
Ason Nelos dan Minsol menunjuk pohon ulin yang menjadi pohon keramat warga Desa Sebadak Raya. Foto: Aseanty Pahlevi

Wilayah keramat

Bukit Kuyu merupakan dataran tinggi berbatu. Tanaman keras tumbuh di tanah yang bercampur dengan humus dari dedaunan yang membusuk. Di beberapa bagian, berupa tanah berlumpur. Tingkat kemiringan bukit ini mencapai 45 derajat, sehingga harus berjalan dengan berpegangan akar pohon. Di wilayah tersebut, tidak banyak yang berani membuka lahan pertanian. “Kecuali di punggung bukit yang dekat permukiman,” tukas Ason. Kenapa? “Wilayah itu terbilang keramat,” lanjutnya.

Warga desa yang datang ke Bukit Kuyu, hanya sekadar mencari tanaman obat. Misalnya pohon kebuas, pohon yang getahnya bisa menyembuhkan luka bakar. Bagi masyarakat, setiap pohon memiliki manfaat sehingga pantang bagi Dayak Kayong menebang pohon.

Kami sempat singgah di sebuah pohon raksasa yang menurut masyarakat disebut jenis pohon pelaik. Menurut Ason, pohon ini diduga yang paling tua, umurnya ratusan tahun dan paling besar ukurannya. Diameternya hampir tujuh rentang tangan orang dewasa.

Ada juga pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) yang berdiri tegak, tak jauh dari pelaik. Diameternya sekitar 30 centimeter. Pohon tersebut patah dan di sela patahannya, tumbuh ulin baru. “Mungkin baru 30 tahun. Pohon ini tumbuhnya lama. Tetapi tidak pernah kami tebang,” kata Ason.

Upacara adat pengobatan penyakit. Foto: Rahmawati Santoso/FFI Ketapang
Upacara adat pengobatan penyakit yang dilakukan warga. Foto: Rahmawati Santoso/FFI Ketapang

Leluhur

Sebuah batu besar sebagaimana digambarkan gedung bertingkat lima telah menanti kami. Tampak sebuah celah di bagian bawahnya yang merupakan pintu masuk yang biasa digunakan warga. “Inilah Batu Kuyu. Lewat celah tersebut, kita akan naik ke atasnya. Di atas batu ini ada sebuah gua. Kami yakin ini merupakan gua yang dijadikan tempat berlindung leluhur dahulu,” tukas Ason.

Untuk naik Batu Kuyu ini terrnyata harus memiliki keahlian layaknya memanjat tebing. Pasalnya, dinding batu nyaris tegak lurus, praktis hanya akar pohon yang merambat di sekitarnya yang dijadikan pegangan. “Warga desa bahkan mengira batu tersebut peninggalan zaman Megalitikum. Hal ini didukung dengan temuan sebuah lempengan besi, seperti alat untuk membajak lahan. Walau demikian, belum ada yang menyelidiki berapa usia lempengan besi tersebut secara ilmiah,” giliran Edi yang berucap.

Batu Kuyu mempunyai bagian yang menjorok ke depan, sehingga membentuk teras. Bagian bawah teras ini yang tidak terkena air hujan. “Memang tidak ada hukum adat untuk masuk wilayah ini. Yang penting, tidak menebang pohon dan merusak,” tukas Supawi.

Di atas Butu Kuyu, pemandangan luar biasa indah terlihat. Hamparan bukit yang mengelilingi Desa Sebadak Raya terlihat jelas. Meski tengah hari, warna hijau terlihat cerah, bersalut awan yang menyelimuti punggung bukit yang tinggi. Pemandangan hutan hujan tropis yang eksotis.

Supawi juga sempat menunjukkan jamur berwarna merah dan kuning kepada kami yang menurutnya, jamur berwarna merah itu bisa dikonsumsi. Pawi pun memperlihatkan beberapa jenis anggrek hitam yang merupakan kekayaan tumbuhan yang ada di hutan adat mereka.

Bagaimana dengan satwa? Di hutan Bukit Kayu ini, ada burung enggang dan murai batu yang hidup dengan nyaman. Enggang masih bisa dilihat karena pepohonan di sini tinggi dan ukurannya juga besar. Kancil, rusa, kijang, hingga beruang madu juga masih ada. Kami bangga dengan hutan adat kami, begitu juga dengan pepohonan dan satwa yang semua itu memang harus kami lindungi. “Pohon perlambang kehidupan, setiap pohon melambangkan sebuah jiwa,” papar Edi seraya mengajak kami pulang.

Desa Sebadak Raya dan kehidupan warga keseharian. Foto: Aseanty Pahlevi
Desa Sebadak Raya dan kehidupan warga keseharian. Foto: Aseanty Pahlevi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,