Terungkapnya kasus upaya penyelundupan burung kakatua jambul kuning dalam botol mineral dari Papua dan Maluku di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, mengundang keprihatinan masyarakat luas. Dukungan untuk melindungi kakatua jambul kuning pun terus bergulir seiring berjalannya kasus tersebut di meja hukum.
Salah satu dukungan itu datang dari organisasi dan LSM yang tergabung dalam Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi DPR RI, dengan membuat petisi di situs www.change.org/kakatuabotol. Harapannya kasus penyelundupan satwa langka dan dilindungi tidak terulang lagi.
Pokja konservasi yang terdiri dari Kehati, FKKM, ICEL, WCS, WWF-Indonesia, PILI, POLIGG, FFI, YABI dan Burung Indonesia, bersepakat meneriakkan penyelamatan kakatua jambul kuning dari sekarang, oleh siapa saja, tidak hanya pemerintah.
Hanom Bashari dari Burung Indonesia mengkhawatirkan kepunahan kakaktua itu jika tidak dilakukan penyelamatan. “Karena penyelundupan satwa ini sudah dilakukan sejak lama dan sangat sulit dideteksi oleh hukum Indonesia ataupun dilakukan pencegahan dari penyelundupan,’’ katanya pada jumpa pers di Kantor Kehati di Jakarta, Senin (11/05/2015).
Dia meminta pemerintah dan semua stakeholder terkait bisa bersama-sama segera melakukan penyelamatan dengan cara melindungi satwa tersebut dari perdagangan ilegal di dalam maupun ke luar negeri.
‘’Ingat, kakatua jambul kuning ini populasinya akan terus berkurang jika perdagangan ilegal terus dilakukan. Padahal, harga per ekor spesies ini dari penangkap juga tidak seberapa. Itu sangat merugikan dari materi dan konservasi satwa langka,’’ ungkap Hanom.
Kejahatan Satwa Liar
Sebagai satwa yang dilindungi, kakatua jambul kuning memang tak ternilai harganya. Keindahan rupa dan keelokan tubuh dari satwa yang masuk marga Cacatua dan famili Cacatuidae mengundang decak kagum para pecinta satwa dari seluruh dunia. Karenanya, banyak yang menginginkan untuk memiliki satwa yang sudah masuk populasi kritis itu.
Peluang tersebut kemudian ditangkap oleh para pemburu satwa langka sebagai celah bisnis menggiurkan. Karenanya, kemudian ada perdagangan ilegal yang berjalan baik sejak lama dari pulau di kawasan Timur Indonesia ke pulau lain di kawasan Barat Indonesia dan bahkan ke luar negeri.
‘’Perdagangan satwa langka seperti kakatua jambul kuning ini sudah masuk kategori kejahatan satwa liat (wildlife crime). Ini harus dihentikan segera karena bisa mengancam populasi spesies tersebut. Padahal, keberadaannya jelas dilindungi dan saat ini juga spesies tersebut masuk dalam kategori kritis populasinya,’’ ujar Wildlife Trade and Policy Program Manager Wildlife Conservatory Unit/Wildlife Crime Unit, Sofie Mardiyah.
Saat ini perdagangan satwa liar sudah masuk dalam tiga besar kasus kejahatan di dunia setelah perdagangan narkoba dan perdagangan senjata. Kondisi tersebut, katanya, harus segera dihentikan karena berdampak signifikan dan sistemik bagi Indonesia, sebagai negara asal satwa tersebut.
Segera Revisi UU No 50 Tahun 1990
Untuk bisa mewujudkan keinginan para pecinta satwa di Indonesia dan seluruh dunia agar kejadian seperti kasus kakatua dalam botol terulang lagi, hanya dengan merevisi Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Menurut Kasubdit Program, Evaluasi dan Pengamanan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Exploitasia, setiap tahunnya kasus penyelundupan ataupun perdagangan ilegal satwa liar dan dlindungi mencapai 70 kasus. Fakta tersebut sangat memprihatinkan karena berati penangkapan satwa dilindungi masih terus dilakukan.
“Hanya dengan revisi UU No 5 Tahun 1999, perdagangan ilegal bisa dicegah. Karena, dalam revisi nanti bisa dimasukkan item-item yang menjadi kebutuhan dari dasar perlindungan satwa liar di Indonesia. Dalam UU yang berlaku saat ini, item yang dibutuhkan tidak ada,’’ ungkap Indra.
Salah satunya mengenai tugas, fungsi dan kewenangan dari Polisi Hutan (Polhut) dalam menangani kasus perdagangan satwa ilegal. Saat ini, kewenangan Polhut hanya sebatas mengawasi dan memantau saja.
“Sementara untuk menangkap dan menahan tidak bisa dilakukan oleh Polhut. Itu kewenangan yang seharusnya ada saat ini, sehingga Polhut bisa bekerja lebih maksimal lagi. Sekarang ini, Polhut hanya sebatas menjaga hutan saja,’’ tandas Indra.
Namun demikian, walau kebutuhan revisi UU No 5/1990 sudah sangat mendesak, pada kenyataannya draf naskah revisi UU tersebut hingga saat ini belum masuk ke DPR RI. Menurut Koordinator Pokja Kebijakan Konservasi Andri Santosa, draf naskah revisi UU saat ini masih ada di tangan KLHK.
‘’Jadi bolanya masih ada di mereka. Kalau DPR RI sudah menerima sejak lama, mungkin akan masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) yang diprioritaskan. Saat ini, kenyataannya revisi UU No 5/1990 masuk urutan 67 Proleglas. Masih sangat jauh,” ujar Andri.
Karena fakta tersebut, Andri merasa pesimis tahun 2015 ini revisi bisa mulai dibahas dan bahkan diselesaikan. Dia memprediksi baru tahun 2016 pembahasan revisi akan mulai dilakukan.’’Semoga tahun depan dibahas dan diselesaikan. Tapi syaratnya draf harus sudah masuk ke Pokja,’’ tandas dia.