,

Luar Biasa! Peneliti LIPI Temukan Enam Kandidat Spesies Baru di Tambora

Tambora, nama yang terus menggema dalam sebulan terakhir. Letusannya yang terjadi pada 10 April 1815 merupakan letusan terbesar yang pernah terjadi di bumi ini. Tepat pada 10 April 2015 pula, kita memperingati 200 tahun meletusnya gunung strato vulkanik di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tersebut.

Sehari berselang, 11 April 2015, Presiden Joko Widodo secara resmi menetapkan kawasan Gunung Tambora menjadi Taman Nasional Gunung Tambora berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor SK. 111/MenLHK-II/2015 pada 7 April 2015.

Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, sejak 1937, status Tambora merupakan kawasan konservasi yang terdiri dari cagar alam (23.840,81 hektar), suaka margasatwa (21.674,68 hektar), dan taman buru (26.130,25 hektar).

Alasan kuat mengapa Tambora dijadikan taman nasional adalah kawasan ini memiliki potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa dan merupakan habitat berbagai jenis satwa. Selain itu, ada juga wilayah yang harus dilindungi kecuali untuk penelitian. Serta, potensi wisata yang menjanjikan berupa jasa lingkungan yang kedepannya patut dikembangkan.

Bagi masyarakat internasional, Tambora merupakan kiblat untuk penelitian dampak perubahan iklim. Akibat erupsinya yang memuntahkan lava hingga 100 kilometer kubik dan semburan debu 400 kilometer kubik dengan ketinggian 44 kilometer dari permukaan tanah, membuat Eropa dan Amerika Utara pada 1816 mengalami tahun tanpa kehangatan akibat partikel debunya yang menghalangi sinar mentari.

Ekspedisi LIPI                                                                                                                        

Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang tergabung bersama tim Ekspedisi NKRI coba menjawab kandungan alam yang ada di Tambora melalui ekspedisi pada 16 – 30 April 2015. Potensi besar yang belum banyak tersentuh penelitian di gunung yang secara administratif berada di Kabupaten Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat.

Hasilnya? “Tim berhasil menemukan enam kandidat spesies jenis baru di jalur pendakian Kawinda Toi, yang dipastikan endemik Tambora,” ungkap Cahyo Rahmadi, ketua tim ekspedisi LIPI, dalam keterangannya pada awak media di Media Center LIPI Jakarta, Selasa (12/05/2015).

Cahyo melanjutkan enam spesies tersebut berupa dua spesies cicak, dua spesies kupu-kupu malam (ngengat), dan dua species kalacemeti (kerabat kalajengking). Ini merupakan temuan yang mengagumkan mengingat belum banyak hasil penelitian yang dilakukan di Tambora. “Kami pastikan enam kandidat ini merupakan jenis baru yang memang belum tercatat pada penelitian sebelumnya.”

Enam kandidat spesies baru berdasarkan hasil ekspedisi yang dilakukan peneliti LIPI. Sumber: Presentasi LIPI
Enam kandidat spesies baru berdasarkan hasil ekspedisi yang dilakukan peneliti LIPI. Sumber: Presentasi LIPI

Secara rinci, dua spesies cicak tersebut adalah Cyrtodactylus sp. 1 dan  Cyrtodactylus Sp.2. Dua spesies ngengat adalah Erlonatia sp. (Bombicidae) dan Xyleutes sp. (Cossidae), serta kalacemeti adalah Stylocellus sp. dan Sarax sp.

“Memang benar, proses identifikasi, deskripsi, dan investigasi memerlukan waktu yang tidak singkat. Ketika kami berani memunculkan enam kandidat ini sebagai spesies baru tentunya ada alasan kuat. Sebelum berangkat, kami telah memiliki gambaran dan data berapa banyak spesies yang ada di Tambora dan apa saja jenisnya. Meski selanjutnya akan ada serangkaian uji coba perbandingan morfologi hingga genetika, kami pastikan enam kandidat ini akan menjadi spesies baru,” paparnya.

Secara keseluruhan, peneliti LIPI yang berkekuatan 16 personil ini berhasil mendata kupu-kupu malam (230 jenis), burung (46 jenis), kelompok tawon (27 jenis), reptil (21 jenis), mamalia (10 jenis), kalajengking (10 jenis), dan amfibi (4 jenis).

Dari temuan itu, menurut Cahyo, satu spesies kelelawar dan enam jenis burung merupakan endemik Nusa Tenggara Barat.  Untuk burung, ada cekakak tungir-putih (Caridonax fulgidus), burung berparuh merah seukuran penggaris 30 cm yang menyenangi hutan primer hingga pepohonan di ketinggian 1.469 m dpl. Juga, Otus silvicola atau celepuk wallacea yang merupakan penghuni hutan primer dan sekunder hingga ketinggian 1.350 m dpl (meter diatas permukaan laut).

Flora

Ari Hidayat, anggota tim LIPI yang khusus mengeksplorasi flora Gunung Tambora, menuturkan bahwa kondisi hutan yang ada di Tambora cukup baik hingga menuju kaldera, baik itu hutan primer, sekunder, maupun savana. “Dengan terbatasnya spesimen koleksi tumbuhan yang ada tentunya sangat penting bagi kami untuk melakukan koleksi umum seluruh jenis yang ada.”

Berdasarkan data yang dikeluarkan PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (8/04/2015), kawasan konservasi Gunung Tambora memiliki keragaman hayati yang baik. Seperti pohon (106 jenis), perdu (49 jenis), liana (39 jenis), epifit (18 jenis), dan herba (6 jenis). Wilayah ini juga merupakan habitatnya berbagai jenis satwa seperti rusa timor, biawak, kera abu, hingga delapan jenis burung yang dilindungi.

Potensi Tambora yang mengagumkan dipaparkan tim peneliti LIPI bersama Tim Ekspedisi NKRI. Foto: Rahmadi Rahmad
Potensi Tambora yang mengagumkan dipaparkan tim peneliti LIPI bersama Tim Ekspedisi NKRI. Foto: Rahmadi Rahmad

Menurut Ari, berdasarkan hasil survei yang dilakukan di jalur Kawinda Toi, timnya berhasil mengoleksi 393 spesimen tumbuhan yang berasal dari 250 jenis. Rinciannya, lumut kerak (5 jenis), lumut (5 jenis), jamur (13 jenis), tumbuhan paku (56 jenis) serta tumbuhan berbiji terbuka dan tertutup (168 jenis). “Namun, bila ditotal di seluruh jalur maka jumlahnya sekitar 277 jenis tumbuhan.”

Hal yang menggembirakan menurut Ari adalah ditemukannya satu jenis tumbuhan dari suku Gesneriaceae. Diduga, ini merupakan jenis baru dari sub family Epithemateae dari marga Monophyllaea.  Flora ini ditemukan di Hutan Suranadi Umaani pada ketinggian 230 m dpl. Cirinya hidup di bebatuan dan sesuai namanya, tumbuhan ini hanya memiliki sehelai daun saja.

Bila dibandingkan dengan yang ada, jenis ini memiliki panjang tangkai daun 10-25 cm dan ukuran lebar helai daunnya sekitar 20 cm dengan panjang 25 cm. Sementara, jenis yang kami temukan di Gunung Tambora ini panjang helai daunnya hanya 4-7 cm dan lebarnya 3-5 cm. “Meski terdapat perbedaan, kami masih melakukan penelitian dan pengujian lebih lanjut,” paparnya.

Heddy Julistiono, peneliti mikrobiologi, menuturkan bahwa peranan mikroba pasca-letusan Tambora dua abad silam patut diperhitungkan. Memang, keindahan mikroba tidak terlihat karena bentuknya yang super kecil. Namun, dari segi peranan, mikroba ini memiliki jasa luar biasa sebagai perintis awal adanya kehidupan mapan di Tambora ini. “Sebut saja Azospirillum sp bakteri penambat nitrogen bebas di udara yang sangat bermanfaat bagi tanaman untuk tumbuh kembangnya,” jelas Heddy.

Tambora yang luar biasa. Peta ketebalan abu vulkanik akibat letusannya pada 1815. Sumber: Wikipedia common
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,