, , ,

RSPO Larang GAR Buka Kebun Baru, Mengapa?

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) melarang salah satu anggota top mereka, Golden Agri-Resources (GAR) untuk memperoleh maupun mengembangkan kebun baru. Larangan ini sampai menunggu penyelesaikan kasus atas laporan Forest Peoples Programme (FPP), terhadap PT Kartika Prima Cipta (KPC),  anak usaha sawit Sinar Mas Grup ini di Kalimantan Barat, Indonesia.

FPP pada 9 Maret 2015, melayangkan komplain ke RSPO yang menyebutkan, GAR telah mengabaikan beberapa standar RSPO dalam operasi perusahaan di Kalbar. Antara lain, tahun lalu GAR mengajukan perluasan perkebunan di 18 anak perusahaan di Kalimantan. Padahal, salah satu anak usaha,  KPC, mengambil tanah masyarakat tanpa persetujuan dan gagal melakukan penilaian kawasan bernilai-konservasi tinggi (high corservation value/HCV).

Setelah mendapat pandangan dan GAR dan FPP, pada 15 April 2015, panel komplain RSPO pun menyatakan, GAR atau KPC tak mendapat persetujuan penuh masyarakat di wilayah konsesi untuk menggunakan lahan mereka buat perkebunan sawit. “Jadi, berdasarkan itu, semua pembangunan GAR/KPC dihentikan sampai penyelesaian pengaduan dan memberikan jawaban pada panen atas semua tuduhan. Kami menanti respon sampai 20 Mei 2015,” begitu bunyi surat RSPO yang ditandatangani Ravin Krishnan, selaku koordinator panel komplain RSPO pada 6 Mei 2015.

Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior FPP mengatakan, Kartika Prima saja yang merupakan pilot project komitmen nol deforestasi GAR seperti itu. Hingga FPP mempunyai alasan untuk tak percaya pada anak usaha lain.

Dia berharap, keputusan RSPO ini membuat GAR bernegosiasi dengan masyarakat yang lahannya diambil tanpa memperhatikan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC).

“Kami sangat mendorong RSPO menjunjung tinggi standar mereka. Kita harus menghilangkan semua perampasan tanah dari rantai suplai RSPO,” katanya dalam rilis kepada media.

Sebelum itu, survei lapangan FPP bersama organisasi lokal, LinkAR-Borneo, menemukan perusahaan mengajukan ekspansi operasi setelah mereka mengambil lahan warga tanpa persetujuan penuh, tak memenuhi penilaian HCV dan legalitas dipertanyakan. Hasil surveipun disampaikan dan perusahaan lamban merespon meskipun beberapa kali disuarakan, hingga akhirnya ke RSPO.

Colchester mengatakan, GAR juga harus mengambil langkah maju untuk memperbaiki segala kekurangan dalam proses pengambilalihan lahan yang berdampak pada masyarakat. “Juga mendesak GAR harus menghormati komitmen mereka buat mengalokasikan 20% lahan buat petani skala kecil seperti yang telah dijanjikan.”

Agus Sutomo, Direktur  Eksekutif LinkAR Borneo mengingatkan, pemerintah agar mencatat keputusan RSPO ini. Bahwa, penegakan hukum lemah dan membagi-bagi lahan masyarakat adat lewat izin buat kebun sawit tanpa meminta persetujuan mereka lebih dulu berdampak buruk bagi manusia, hutan dan Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,