,

Ini Dia Biosolar Ramah Lingkungan Dari Yogyakarta

Tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) ternyata banyak sekali kegunaannya. Selain sebagai alternatif pakan ternak, limbahnya bisa digunakan sebagai campuran biosolar.

Berawal dari pengenalan bahan bakar nabati (BBN) oleh Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta pada 2008 sebagai dukungan kebijakan bauran energi 5 persen pada 2025, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta mengintesifkan penelitian mempersiapkan benih unggul dari tanaman berendemen minyak tinggi.

Peneliti utama BBPBPTH, Dr. Budi Leksono mengatakan nyamplung dipilih karena bijinya memiliki rendemen minyak tertinggi dari 12 tanaman berpotensi yaitu antara 37-58 %,  lebih tinggi dibandingkan jarak pagar 25-40%, saga hutan 14-28%, kepuh 24-40%, kesambi 30-40% dan kelor 39-40%.

Nyamplung yang merupakan tanaman asli dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dipilih karena bukan tanaman pangan dan sudah mulai dibudidayakan.

“Dari 12 populasi nyamplung di 7 pulau di Indonesia yang tertinggi dari Dompu (NTB) sebesar 58% yang saat ini ditanam di areal KPH Yogyakarta,” papar Budi Leksono didepan Gubernur Yogyakarta DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, saat kunjungan kerja dan tutup tanam tanaman nyamplung seluas 25 hektar di petak 74, Resort Pemangku Hutan Gubuk Rubuh, BDH Playen, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta menggunakan benih unggul hasil penelitian (BBPBPTH) Yogyakarta pada awal Mei 2015.

Disebutkan bahwa satu liter minyak standar SNI 04-7182-2006 dihasilkan dari 2 – 2,5 kg biji nyamplung.  Sedangkan jarak pagar membutuhkan 4 kg untuk menghasilkan satu liter minyak.

Hasil pengolahan minyak dari berbagai tanaman termasuk nyamplung oleh BBPBPTH Yogyakarta. Nyamplung memiliki tingkat rendemen minyak tertinggi. Foto : Forda MOF
Hasil pengolahan minyak dari berbagai tanaman termasuk nyamplung oleh BBPBPTH Yogyakarta. Nyamplung memiliki tingkat rendemen minyak tertinggi. Foto : Forda MOF

Limbah nyamplung juga berpotensi dimanfaatkan sebagai briket arang, asap cair untuk pengawet kayu, bungkil untuk pakan ternak, resin/getah untuk obat-obatan dan pewarna tekstil, serta sabun.

Sumber benih unggul nyamplung telah dikembangkan di beberapa lokasi, seperti di Wonogiri dan Pangandaran seluas 5 hektar dan di Gunung Kidul yang benihnya berasal dari Dompu (NTB) seluas 25 ha.

Nyamplung di Gunung Kidul digunakan untuk mensuplai bahan baku biodisel pada Unit Pengolahan Bahan Bakar Nabati di “Baron Techno Park” di Pantai Baron, Gunung Kidul.

Mesin pengolah minyak nyamplung menjadi campuran biosolar di BBPBPTH Yogyakarta. Foto : Forda MoF
Mesin pengolah minyak nyamplung menjadi campuran biosolar di BBPBPTH Yogyakarta. Foto : Forda MoF

Penanaman nyamplung dengan pola tumpangsari dengan jagung, ketela, rumput pakan ternak, kacang tanah dan kedelai,  dilakukan secara integratif dengan melibatkan insititusi terkait yaitu BBPBPTH Yogyakarta, BPDAS SOP Yogyakarta, BPKH Wilayah XI Yogyakarta, Dishutbun DIY, KPH Yogyakarta dan kelompok tani Wono Lestari Menggoran, Desa Menggoran, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul.

Produktivitas tanaman pertanian di lokasi tersebut dapat memberikan tambahan penghasilan petani sebesar Rp. 217 juta per tahun.

Sebagai bentuk dukungan, pemerintah DIY akan menanam nyamplung di lahan seluas 100 hektar. “Saya sudah berkomunikasi dengan Pemerintah Pusat akan melaksanakan program energi berkelanjutan non fosil. Kita berharap produksi buah dapat menyuplai kebutuhan di Baron Tekno Park,” kata Sri Sultan.

Ia menambahkan, jika unit produksi pengolahan minyak nabati di Baron Techno Park tidak segera dioperasikan, mesin yang ada akan rusak. “Untuk itu kita berharap ada suplai buah nyamplung dari daerah lain yang sudah bisa dimanfaatkan,” katanya.

Bio-Diesel Dari Minyak Jelantah

Tidak mau kalah, Pusat Studi Energi (PSE) UGM merintis produksi  “Biosolar B15”,  biodiesel dari jelantah / limbah minyak goreng dari pedagang kaki lima. Dinamai B15 karena menjadi campuran solar sebanyak 15 persen biosolar.

Peneliti utama BBPBPTH, Dr. Budi Leksono mencobakan biosolar B15 di kendaraan. Foto : Forda MoF
Peneliti utama BBPBPTH, Dr. Budi Leksono mencobakan biosolar B15 di kendaraan. Foto : Forda MoF

Kepala PSE UGM, Dr. Deendarlianto mengatakan minyak jelantah dipilih karena melihat potensi Yogyakarta sebagai daerah kawasan wisata kuliner yang memiliki ribuan pedagang kali lima, dengan limbah 10-15 liter minyak jelantah per hari per pedagang.

“Ada 3,6 ton minyak jelantah yang bisa dihasilkan setiap harinya dan bisa dimanfaatkan jadi energi biodiesel,” katanya.

Saat ini, PSE UGM hanya mampu memproduksi 150 liter biosolar dengan harga dibawah solar Pertamina. Tetapi bakal ditingkatkan produksinya dengan menggandeng lebih banyak PKL dan perusahaan otobus.

“Biodiesel ini sumber energi terbarukan. Kita juga akan memanfaatkan dari limbah kayu bakar. Apa yang kita lakukan ini sebagai langkah awal dari upaya mewujudkan  kemandirian energi nasional,” katanya.

Sementara itu, Peneliti Sumber Energi Alternatif, Arief Budiman, mengatakan pengolahan biosolar  sangatlah sederhana, sehingga PKL bisa membuat dan digunakan sendiri atau dijual kepada pemilik kendaraan, yang dapat menambah penghasilan mereka.

Biosolar B15 dibuat dengan mencampur jelantah dengan metanol disertai katalis, yang dipanaskan dengan suhu diatas 70 derajat celsius. Setelah lebih dari satu jam, hasil campuran itu akan menghasilkan dua lapisan yakni biodiesel dan gliserol.

“Satu liter jelantah bisa menghasilkan 90 persen biodiesel dan sisanya gliserol,” katanya

PSE telah melakukan uji laboratorium dan uji mesin sesuai standar SNI pada Biosolar B15.  Dengan dukungan USAID, Biosolar B15 dikembangkan bekerja sama dengan Warung spesial Sambal dan Asosiasi PKL, beberapa perusahaan otobus seperti Trans Jogja dan Bimo Transport.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,