,

Hutan Desa Semende Untuk Jaga Tradisi Kebun Kopi Bukit Barisan

Ribuan keluarga di Semende, Kabupaten Muaraenim yang sejak awal tahun 2000-an mengalami kesulitan berkebun kopi di sekitar hutan lindung, saat ini memiliki harapan. Pemerintah memberikan izin hutan desa untuk 12 desa di Semende. Namun hutan desa tersebut belum dapat digarap karena Rencana Kerja Hutan Desa harus diajukan untuk mendapat izin kelola lahan dari Gubernur Sumsel.

Di ketinggian sekitar 1.200 m dpl suara siamang bersahutan, dan sesekali terdengar suara burung dari kawasan Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan, yang merupakan hutan lindung di Kecamatan Semende Darat, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan. Udara terasa sejuk, meski saat itu tengah hari, pepohonan lebat seperti tenam, pinus, dan beragam jenis pohon buah.

“Di bukit itu masih banyak kijang, siamang, beruang, beragam jenis burung, dan sering ditemukan jejak harimau,” kata Rizal (39), warga Desa Gunung Agung. Rizal, merupakan generasi keenam di Semende. Bersama keluarganya, satu istri dan tiga anak,  selain berkebun kopi Rizal juga menanam sayuran, seperti kol dan daun bawang.

Semende merupakan satu wilayah yang berada di Pegunungan Bukit Barisan, pegunungan yang panjangnya mencapai 1.650 kilometer, dengan puncak tertingginya Kerinci yang menjulang hingga 3.805 meter. Dari Lampung hingga Aceh pegunungan ini membentang.

Suku Semende merupakan satu suku yang cukup besar yang hidup di sekitar Bukit Barisan. Suku ini terbentuk setelah dilakukan musyawarah masyarakat di Pardipe Pagaruyung Marga Lubuk Buntak Pasemah pada Abad ke-17. Sebagai pemimpinnya saat itu Puyang Awak  atau Nurqadim. Selain di Sumatera Selatan, suku Semende tersebar di Lampung, Bengkulu dan Jambi. Dalam adat Semende, dikenal budaya “tunggu tubang” yakni budaya yang mengatur anak perempuan tertua sebagai ahli waris utama lahan.

“Mereka membuka kebun kopi. Hanya itu yang dilakukan wong Semende sejak beratus tahun lalu. Mereka menanam pohon buah hutan, seperti durian, duku, manggis atau petai,” kata Muhammad Fahtudin, tokoh masyarakat Semende sekaligus penggerak Hutan Desa (HD) di wilayah tersebut.

Hutan Desa Kota Padang seluas 1.110 hektar berupa bukit dalam kawasan HL Bukit Jambul Asahan yang kejauhan tampak gundul. Kondisi karena sebelumnya tekah digunakan warga selama ratusan tahun berkebun kopi.
Hutan Desa Kota Padang seluas 1.110 hektar berupa bukit dalam kawasan HL Bukit Jambul Asahan yang kejauhan tampak gundul, karena sebelumnya tekah digunakan warga selama ratusan tahun berkebun kopi. Foto: Taufik Wijaya

Kegiatan berkebun kopi ini dilakukan mereka di hutan adat, yang sudah ditetapkan saat kolonial Belanda menguasai Indonesia. Sementara bersawah dilakukan pada lahan yang tidak jauh dari pemukiman.

Konflik mulai muncul saat pemerintah menetapkan wilayah hutan lindung,  yakni hutan lindung Bukit Jambul Gunung Patah, Bukit Jambul Asahan, Bukit Nanti, Mekakau, dan Air Tebangka pada awal tahun 2000-an. Kawasan hutan lindung ini diklaim merupakan register yang telah ditetapkan sejak zaman Belanda.

“Awalnya banyak warga yang ditangkap karena melakukan aktifitas di hutan adat yang dimasukan dalam wilayah hutan lindung. Masyarakat kemudian disebut sebagai perambah,” kata Fathudin.

Sejak konflik tersebut, kesejahteraan masyarakat Semende menurun. Sebagian besar kehilangan atau berkurangnya kebun kopi. Tekanan kian bertambah dengan meningkatnya jumlah penduduk, dan harga kebutuhan pokok yang terus tidak seimbang dengan pendapatan.

Lalu muncul skema Hutan Desa yang diajukan pemerintah. Meskipun awalnya sedikit mendapat penolakan warga, skema ini akhirnya diterima masyarakat di Semende. Sebab skema ini membuka peluang bagi masyarakat untuk meneruskan tradisi berkebun kopi.

Ada 15 desa yang mengajukan hutan desa, tapi hanya 12 desa yang menerima surat keputusan persetujuan dari Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK), yaitu Desa Gunung Agung, Kota Padang, Muara Tenang, Seri Tanjung, Tenam Bungkuk di Semende Darat Tengah, dan Pelakat, Danau Gerak, Tanjung Tiga, Tanjung Agung, Cahaya Alam dan Segamit di Semende Darat Ulu. Total izin Hutan Desa di 12 desa adalah 20.930 hektar.

Sementara desa yang belum mendapatkan izin hutan desa yakni Swarna Bumi dan Rekimai Jaya di Semende Darat Tengah, serta Desa Penindaian di Semende Darat Ulu. Meskipun ditolak, tapi sejumlah wilayah di dua desa yang sebelumnya ditetapkan sebagai hutan lindung dibebaskan.

Sejalan dengan Keputusan Menhut No SK.866/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014, sebagian Hutan Lindung di Desa Swarna Dwipa, Rekimai Jaya dan Tanjung Tiga diubah menjadi Area Peruntukan Lain (APL). Keputusan Menhut berasal dari usulan Revisi RTRWP Sumsel yang diajukan oleh Gubernur No 522/1297/Bappeda/2011 tanggal 2 Mei 2011.

Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan yang dibebaskan berada di Desa Rekimai dan Desa Swarna Dwipa, Kecamatan Semende Darat Tengah. Luasan hutan lindung yang dibebaskan di Desa Swarna Dwipa adalah 13 hektar dan 18 hektar di Desa Rekimai Jaya.

Sedangkan hutan lindung yang dibebaskan di Desa Tanjung Tiga seluas 790 hektar yang berada di Desa Tanjung Tiga. “Tapi itu baru di atas peta. Sifatnya masih sementara sebab bisa lebih atau kurang,” kata Rustam Effendi, kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muaraenim, kepada pers pada Kamis (26/02/2015) lalu.

Meskipun dibebaskan dari hutan lindung, tapi masyarakat dilarang melakukan penebangan, kecuali hasil hutan bukan kayu seperti buah-buahan.

Pemandangan umum di Semende, Kabupaten Muaraenim, Sumsel, saat musim kopi warga menjemur kopi di jalan. Foto Taufik Wijaya
Pemandangan umum di Semende, Kabupaten Muaraenim, Sumsel. Saat musim kopi warga menjemur kopi di jalan. Foto Taufik Wijaya

12 Desa Menunggu Izin Kelola

Kini keduabelas desa yang sudah mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) terkait hutan desa, masih belum dapat menggarap hutannya, sebab hingga kini mereka belum mendapatkan izin mengelola lahan dari Gubernur Sumatera Selatan.

“Izin baru akan diberikan setelah mengajukan RKHD (Rencana Kelola Hutan Desa) ke Gubernur Sumsel. Saat ini warga dan kawan-kawan dari WBH (Wahana Bumi Hijau) yang mendampingi masyarakat tengah menyusun RKHD,” kata Fathudin.

Salah satu yang dikaji atau dibahas dalam RKHD tersebut mengenai potensi ekonomi yang akan dikembangkan. “Sementara tengah dilakukan pendataan potensi, tapi yang paling utama terkait dengan perkebunan kopi. Sebab berkebun kopi merupakan aktifitas pertanian yang sudah dipahami masyarakat sejak ratusan tahun lalu,” ujar alumni Universitas Sriwijaya ini.

Bagaimana perilaku warga selama menunggu izin kelola dari Gubernur Sumsel?

“Kami tidak pernah mengganggu hutan adat yang diklaim sebagai hutan lindung, sebelum kami benar-benar diizinkan mengelolanya sebagai hutan desa,” kata Rizal.

Pengakuan tersebut mungkin ada kebenarannya, tapi ratusan hektar sawah tetap dikelola masyarakat di Desa Gunung Agung, yang diklaim pemerintah sebagai hutan lindung.

“Kalau tidak membuka sawah mereka tidak dapat makan. Sawah itu juga sudah dikelola masyarakat ratusan tahun lalu, sebelum pemerintah mengklaim sebagai hutan lindung,” kata Fathudin. “Yang jelas mereka tidak merambah hutan lindung yang dijaga mereka sejak masa kolonial Belanda dulu. Buktinya aliran air di wilayah ini masih bagus,” tambahnya.

Selain kopi, hutan desa tersebut akan dimanfaatkan mereka untuk menanam buahan hutan seperti durian, duku, manggis atau petai. “Selama beratus tahun, pohon buahan tersebut mampu menjadi tanaman sela di antara kebun kopi,” ujarnya.

Kebun kol dan daun bawang di Desa Gunung Agung. Foto Taufik Wijaya
Kebun kol dan daun bawang di Desa Gunung Agung, sumber mata pencarian masyarakat. Foto Taufik Wijaya

Mengandalkan Kopi dan Buahan Hutan

Kopi tampaknya menjadi andalan masyarakat Semende dalam mengelola hutan desa. “Kami ini hanya paham menanam kopi. Sejak dahulu Semende dikenal sebagai daerah kopi. Produksi kopi menurun seperti dirasakan saat ini sejak pemerintah menetapkan hutan adat kami sebagai hutan lindung,” kata Rizal.

Harga jual kopi yang kurang baik, saat ini kisaran Rp20 ribu per kilogram, juga menyebabkan banyak petani di Semende membuka kebun baru atau “merambah” wilayah lain di Sumatera. “[kalau pemerintah tidak mau kami merambah] bantulah kami dalam mengelola kebun kopi yang baik. Jadi dengan lahan terbatas, tapi kopi yang dihasilkan lebih banyak,” kata Sarmanuddin, warga Desa Muara Danau. “Dan yang terpenting pemerintah mampu menjaga pemasarannya, sehingga harganya bagus dan stabil,” katanya.

“Kalau produksi dan harga kopi seperti sekarang ini, kebun kopi dari hutan desa mungkin hanya cukup menutupi beberapa tahun ke depan. Selanjutnya kami tidak tahu,” ujar Sarmanuddin.

Fathudin mencemaskan hal yang sama. Dia pun berharap, selain memberikan pengetahuan dalam mengelola kebun kopi, menciptakan pasar yang baik untuk kopi, pemerintah juga harus mengembangkan potensi lainnya di Semende.

Misalnya pengelolaan hasil buah durian, yang hampir setiap tahun hasilnya cukup melimpah di Semende. “Durian dapat dijadikan bahan makanan. Coba pemerintah mengoptimalkan potensi ini sebagai komoditas ekspor khas dari Semende. Seperti dijadikan tempoyak (buah durian yang difermentasi) atau dijadikan lempok atau dodok durian,” katanya.

“Tujuan adanya hutan desa ini, selain menjamin akses masyarakat terhadap hutan, juga sebagai upaya pencegahan perambahan hutan dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya,” jelas Fathudin.

Dia benar, hutan desa menjadi harapan bergantung masyarakat. Jika masyarakat tidak mendapat manfaat dari keberadaanya, bukan tidak mungkin kedepannya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi luntur dan alam lingkungan pun akan terancam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,