, , ,

Komnas HAM Ungkap Ketidakselarasan UU Terkait Hutan dan Masyarakat Adat (bagian 1)

Komnas HAM merilis penelitian yang mengungkapkan ada ketidakselarasan antarperundang-undangan yang mengatur soal hutan dan masyarakat adat. Aturan saling tumpang tindih dan kurang mengakomodir hak-hak masyarakat adat.

“Kajian Komnas HAM mencoba menelusuri apa akar masalah dari pelanggaran HAM tertentu yang terpola. Kami memberikan rekomendasi peraturan-peraturan mana yang harus direvisi, atau kebijakan yang harus dibuat,” kata Kominisoner Komnas HAM Sandra Moniaga di Jakarta, Rabu (13/5/15).

Penelitian ini, katanya dilatarbelakangi peraturan mengenai kehutanan acapkali menimbulkan konflik. Indikasinya, ada pola pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.

“Terdapat ketidakselarasan peraturan mengenai pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat di dalam UU yang mengatur kehutanan,” kata peneliti Komnas HAM Fauziah Rasad.

Fauziah meneliti berbagai peraturan bidang kehutanan, pertanahan dan lingkungan hidup antara lain UU Kehutanan, UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H), UU Pokok-pokok Agraria, dan UU Pengadaan Tanah Demi Kepentingan Umum. Lalu, UU Perkebunan, UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, dan UU Perlindungan Petani. Dia juga meneliti UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut dia, tak semua perundang-undangan memberikan definisi kokoh mengenai masyarakat adat. Padahal,  di dalam substansi berisi tentang masyarakat adat. Definisi tidak saling melengkapi.

“Dalam hutan adat, sebagaimana putusan MK-35, hutan adat tak masuk hutan negara. Tetapi perundang-undangan belum diubah. Belum tersedia peraturan operasional mengenai hutan adat sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 67 UU Kehutanan.”

Dia mencontohkan, keberadaan lembaga, pranata dan peradilan adat menjadi satu kriteria bagi pengakuan masyarakat adat sebagaimana UU Kehutanan dan UU P3H. Namun dalam UU ini tidak mensyaratkan keberadaan peradilan adat.

“Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dapat dilakukan untuk tujuan khusus maupun membentuk Kesatuan Pemangku Hutan Adat. Namun peraturan mengenai ini belum ada.”

Selain itu, pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat terkait hutan tak diikuti kerangka peraturan sistematis.

Dalam UU Kehutanan, ada lima persyaratan seperti, ada paguyuban, kelembagaan bentuk perangkat penguasa adat, wilayah hukum adat jelas, pranata dan perangkat hukum termasuk peradilan adat, serta masih mengadakan pemungutan hasil hutan untuk kehidupan sehari-hari.

“Ini berbeda dengan UU P3H yang tidak memasukkan keberadaan wilayah dan peradilan sebagai kriteria masyarakat adat,” katanya.

Sampai kini, katanya, belum ada aturan operasional mengenai tata cara pengakuan masyarakat adat. Padahal, ada dalam mandat Pasal 67 UU Kehutanan. Bahwa, harus ada peraturan pemerintah mengenai tata cara penelitian, pihak yang ikutserta, materi penelitian dan kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.

“UU P3H mengecualikan perladangan tradisional dan penebangan kayu untuk keperluan sendiri sebagai bagian dari tindakan pidana. Namun, ketentuan pengecualian hanya berlaku jika masyarakat mendapatkan izin dari pejabat berwenang.”

Ketentuan mengenai pengecualian itu,  seharusnya diatur dalam peraturan pemerintah untuk mencegah pelanggaran hak masyarakat adat.

“Hingga kini belum ada. Banyak ketentuan dalam UU P3H berlaku bagi setiap orang. Jadi banyak masyarakat dikriminalisasi dengan UU ini.”

Fauziah mengatakan, dalam UU sektor kehutanan tak ada peraturan mengenai mitigasi jika terjadi pelanggaran hak masyarakat adat. “Ada ketidaksinkronan pengaturan mengenai penetapan hutan adat dalam perundang-undangan mengenai kehutanan. Satu sisi UU Kehutanan beri kewenangan pemerintah pusat tetapkan kawasan hutan. Sisi lain kewenangan penetapan masyarakat adat di pemerintah daerah.”

Dalam UU PA dan UU Pengadaan Tanah, katanya, tidak ditemukan kriteria dan definisi masyarakat adat. Definisi masyarakat adat ditemukan dalam UU Perkebunan.

“UU Perkebunan perlu masuk ke peraturan perundang-undangan pertanahan karena tidak hanya berisi pengelolaan perkebunan, juga penggunaan tanah untuk usaha perkebunan.”

Pohon-pohon hutan yang tumbang dan tanah menjadi lapang. Hutan adat Long Isun di Kalimantan Timur, ini sudah mulai bersih oleh operasi perusahaan. Keberadaan dan hak-hak masyarakat adat tak diakui. Foto:Tekla Tirah Liah

Sedang dalam UU PPLH tampak lebih baik dari perundang-undangan yang lain. “Aspek-aspek pendekatan HAM lebih representatif. Sudah dinyatakan dalam UU ada perlindungan terhadap masyarakat adat dan pelibatan mereka dalam membuat kebijakan sektor lingkungan hidup. UU lain masih kurang,” katanya.

Menurut Fauziah, UU PPLH menjabarkan hak asasi berkaitan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hak masyarakat adat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bagian tak terpisahkan.

UU PPLH juga mengakui praktik-praktik perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup oleh masyarakat adat yang disebut kearifan lokal. Ini menjadi pengecualian bagi beberapa tindakan yang dilarang oleh UU ini, seperti pembukaan lahan dengan cara membakar yang merupakan kebiasaan masyarakat adat. Membakar lahan dikecualikan dalam UU ini sebagai bagian kearifan lokal.

” UU PPLH, tidak ada aturan khusus dan langsung untuk perlindungan hak masyarakat adat. Namun peraturan umum juga relevan dikaitkan perlindungan hak masyarakat adat.”

Dalam UU ini, menentukan tindakan pemerintah memberikan teguran tertulis, paksaan, pembekuan, hingga pencabutan izin lingkungan bagi perusahaan yang melanggar hak-hak masyarakat adat dan merusak lingkungan.

“Dalam pemulihan hak, UU PPLH lebih baik. Apabila mengalami kerugian akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup,  ada jaminan gugatan dan diatur lebih baik.”

Secara umum, kata Fauziah, sebagian peraturan perundang-undangan bidang kehutanan, pertanahan dan lingkungan hidup,  sudah mengatur penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas wilayahnya. Namun belum memadai hingga menyebabkan berbagai konflik.

“Perlu ada harmonisasi dan sinkronisasj perundang-undangan mengenai kehutanan agar mampu menghormati, melindungi dan memenuhi hak masyarakat adat.”

Rekomendasi dari penelitian itupun, katanya, meminta pemerintah menyusun konsep pertanahan nasional yang mengakomodir hak masyarakat adat dan dilegalkan melalui perundang-undangan.

“Pemerintah perlu mengintegrasikan konsep perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas wilayahnya.”  (Bersambung)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,