Dingo Markus galau. Sudah dua minggu, istrinya, Katarina Ina (32) terbaring sakit. Dia terpaksa melarikan ke Rumah Sakit Umum Ahmad Diponegoro Putussibau sejak 5 Mei 2015. Padatnya urusan pemerintahan membuat Kepala Desa Tanjung ini abai dengan keluarganya sendiri.
“Saya terlalu konsentrasi di pemerintahan desa sehingga urusan keluarga terabaikan. Tapi syukurlah keadaan istri saya sudah membaik setelah dapat perawatan medis,” katanya ketika Mongabay Indonesia membesuknya di Ruang Bougenville RSU Ahmad Diponegoro Putussibau, Kamis (7/5/2015).
Kesibukan Dingo di desa, bukan hal sepele. Dia ingin mengantar Desa Tanjung menjadi desa hijau. Namun ini bukan perkara mudah. Pasalnya, langkah awal yang harus dibenahi adalah mengubah paradigma berpikir warganya.
Desa Tanjung secara administratif berada di Kecamatan Mentebah, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Desa ini merupakan perkampungan paling ujung dan terletak sekitar 75 kilometer lintas selatan Kota Putussibau. Eksotisme Desa Tanjung kian merekah lantaran posisinya yang berada di Pegunungan Muller.
“Sumber daya alam kami melimpah. Irosnisnya, Desa Tanjung masuk sebagai desa miskin. Masyarakat hanya menggantungkan hidup dari ladang dan kebun karet. Namun, ruang kelola masyarakat terbatas lantaran status kawasan di sekitar desa yang masuk kawasan lindung,” ucap Dingo.
Menyikapi kenyataan pahit yang dialami warganya saban hari, Dingo tak berdiam diri. Ayah tiga anak ini coba melakukan langkah-langkah strategis agar warga desa hidup sejahtera dan bisa membebaskan diri dari “kutukan” kemiskinan.
Dalam perjalanannya, upaya tersebut kerapkali tersandung. Bahkan, kebuntuan total mengintai. Sebagai pucuk pimpinan desa yang dipercaya sejak 2009 lalu, Dingo menginisiasi pertemuan para tokoh masyarakat, agama, dan adat untuk merumuskan kemaslahatan rakyat di Balai Desa Tanjung.
“Saya undang para tokoh untuk mencari solusi agar warga sejahtera tanpa harus merusak hutan. Banyak ide, tapi tak bisa diterapkan jika tidak dibarengi solusi yang tepat. Misalnya, warga dilarang membuka hutan. Kalau cuma dilarang, itu gampang. Tapi solusinya apa?” urai Dingo.
Sejauh ini, dia mengakui masyarakat sangat menggantungkan hidupnya dari hutan. Tak jarang warga membukanya untuk kepentingan ladang. Setelah panen, ladang bekas garapan itu ditinggalkan dan mereka membuka kawasan baru.
Sistem perladangan gilir balik seperti ini menjadi momok bagi pemerintahan desa. “Mau melarang warga membuka hutan tanpa solusi, juga dinilai kurang bijak. Akibatnya, hutan lindung di sekitar desa juga akan tetap rusak karena aktivitas warga,” kata Dingo.
Dia ingin melihat desanya maju dan mandiri dengan tingkat perekonomian masyarakat yang juga mamadai. “Saya sadar, jika tingkat perekonomian masyarakat masih berada di bawah standar, laju kerusakan hutan pasti kian cepat.”
Alasannya sederhana. Masyarakat tidak akan pernah bisa dikendalikan untuk membuka hutan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat tak akan pernah mau tahu apakah status kawasan itu dilindungi atau tidak. Sebab, yang ada di benak mereka adalah hidup harus berlanjut.
Tidak ada pilihan lain bagi Dingo kecuali mendorong peningkatan kapasitas warganya melalui sejumlah aksi. Di antaranya, peningkatan kemampuan di sektor perkebunan, pertanian, ekowisata, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Tapi, bagaimana cara menggapai semua itu?
Tak dipungkiri pula, sejauh ini ada tawaran dari perusahaan sawit yang ingin masuk ke Desa Tanjung sekitar 2010-2011. “Kita tidak tahu dari mana mereka, tapi mayoritas warga menolak. Kata orang, kalau sawit masuk duit akan mengalir. Beruntung kami tak berpikiran ke situ. Yang kita pikirkan adalah dampak lingkungannya. Hutan akan ditebang, dan air sungai pasti kotor,” ucapnya.
LSM hadir
Ibarat kata pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Di tengah kebuntuan ide untuk bergerak ke arah yang lebih baik, WWF-Indonesia Program Kalbar hadir di tengah warga Desa Tanjung. “Kawan-kawan LSM ini seperti membawa angin segar di tengah sepinya sentuhan pemerintah setempat,” kata Dingo.
Dia mengenang bagaimana seorang Uray Muhammad Hasbi dari WWF membawa Program Muller-Schwaner di 2011. Urung rembuk antar-warga dengan aparat desa dihelat. Akhirnya, pemerintah desa menerima kehadiran lembaga itu. “Kita menyadari tanpa bantuan dari pihak lain, Desa Tanjung sulit berbenah,” kata Dingo.
Dari sisi manfaat, Dingo mengakui banyak hal yang bisa dipetik warga dari program yang sudah berjalan. Masyarakat dilatih memiliki kemampuan okulasi karet unggul dan pembuatan persemaian. “Secara otomatis ini berdampak langsung bagi perekonomian masyarakat,” katanya.
Selain itu, masyarakat juga dididik soal manajemen perkebunan karet seperti Internal Control System (ICS) dalam usaha bahan olahan karet (Bokar) bersih. Pengusulan hutan desa, penguatan jaringan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Semangai Desa Tanjung secara nasional dengan menjadi anggota Aliansi Organik Indonesia (AOI), serta Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
Hutan desa
Setahun setelah WWF masuk ke wilayah Desa Tanjung, lembaga lainnya, People Resources and Conservation Foundation (PRCF) Indonesia pun hadir. Kolaborasi dua lembaga tersebut mengantar desa berpenduduk 1.031 jiwa ini menuju gerbang desa hijau mandiri.
Muller Schwaner Field Officer WWF-Indonesia Program Kalbar, Uray Muhammad Hasbi mengatakan, potensi hutan yang berada di Desa Tanjung ini relatif masih baik. “Tidak hanya memberikan jasa air dan lingkungan, tetapi juga keuntungan secara ekologis,” katanya.
Atas dasar usulan Pemerintah Desa Tanjung yang dibantu lembaga pendamping, pada Januari 2014 Hutan Desa Tanjung mendapat Penetapan Areal Kerja (PAK) Hutan Desa seluas 2.520 hektar dari Kementerian Kehutanan Melalui SK Menhut RI Nomor: 66/Menhut-II/2014.
Proses pendampingan berlanjut. Kali ini masyarakat desa diperkuat kapasitasnya guna membentuk Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD), pembuatan peraturan desa (Perdes) LPHD dan membuat Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD).
Dokumen-dokumen tersebut diperlukan untuk mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dari Gubernur Kalimantan Barat. Sayang, hingga kini HPHD tak kunjung diterbitkan.
Harapan di ujung kampung
Rabu (6/5/2015), suasana di Balai Desa Tanjung tak seperti malam-malam biasanya. Sejumlah aparat desa dan tokoh muda setempat berkumpul. Hadir pula Sekretaris Desa Tanjung, Sugianto Tamin.
Sudah menjadi tradisi, setiap kali ada tamu yang berkunjung di ujung perkampungan itu, para tokoh akan berkumpul di balai desa. Mereka tak segan berbagi informasi terkait desa dengan segala problematikanya.
“Kami hidup dari ladang dan kebun karet. Tapi akhir-akhir ini, harga karet terjun bebas hingga Rp5.000 per kilogram. Sementara jumlah maksimum torehan warga per hari hanya berkisar enam kilogram. Ini yang membuat Pak Kades berpikir keras dan berupaya mencari tahu solusinya,” kata Tamin.
Beruntung, urai Tamin, sejumlah lembaga swadaya masyarakat datang membantu. Mereka mengajarkan teknik okulasi karet unggul, budidaya kopi, dan cokelat. Selain itu, masyarakat juga dipacu kemampuan manajerialnya dalam mengelola ekowisata dan hutan desa. Semua bermuara pada satu tujuan besar. Yakni, Desa Tanjung yang hijau dan mandiri.