,

Produktivitas Lahan Sawit dan Kebijakan Moratorium Hutan, Apakah Saling Sinergi?

Dalam sebuah rilis bersama, antara perusahaan sawit multinasional Cargill dan IPB (25/05), disebutkan kedua pihak telah melakukan pemanenan pertama di kebun sawit IPB-Cargill Palm Oil Teaching Farm di Bogor. Rintisan ini diharapkan akan menghasilkan sawit yang memiliki produktivitas hingga 8-9 ton tandan buah sawit/ per hektar dan bibit yang mampu menghasilkan buah pasir pada usia tiga tahun dan produktif hingga usia dua puluh tahun. Lewat peningkatan produktivitas, upaya ini diklaim akan mampu menjawab tantangan terhadap keterbatasan lahan perkebunan sawit di Indonesia.

Pembukaan perkebunan sawit sejauh ini identik sebagai faktor utama pendorong laju deforestasi wilayah hutan alam di Indonesia. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, dua dari tiga alasan konversi hutan alam disebabkan oleh pembukaan bagi perkebunan sawit.

Mengapa ini terjadi? Alasannya jelas, selama ini pembukaan lahan (ekstensifikasi) lebih menjadi pilihan para pengusaha alih-alih serius dengan pengadaan bibit unggul (penanaman intensif) di perkebunan sawit.

Dalam paradigma lama, membuka lahan baru untuk sawit dari hutan alam akan membuat pengusaha mengeduk keuntungan di muka. Dengan hasil dari penebangan kayu yang dapat dinominalkan, selanjutnya keuntungan tebangan kayu digunakan oleh perusahaan untuk direinvestasikan dalam kebun sawit.

Masalahnya, industri sawit tidak bisa terus-menerus hidup dengan bergantung kepada orientasi konversi hutan. Selain adanya faktor keterbatasan wilayah hutan yang dapat dikonversi, hutan tidak elok untuk terus digadaikan hanya untuk mengejar rente dari keuntungan sawit semata. Apa yang terjadi jika pada suatu waktu saat harga sawit kolaps di pasar dunia? Apakah kehilangan hutan dan keragaman hayati didalamnya dapat serta merta dipulihkan?

Menegasikan sawit sebagai komoditas penting tentunya bukanlah suatu cara yang bijaksana. Sebagai tanaman buah tropis yang memiliki kompabilitas dengan iklim Indonesia, -ditambah dengan jumlah tenaga kerja melimpah dan upah buruh murah di Indonesia, jadilah sawit menjadi tanaman komoditas utama dan ekspor penting mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Komoditas ini memberikan kontribusi USD 21M dan mempekerjakan 4 juta orang. Dari pajak ekspor sawit, negara memperoleh sekitar USD 1M pertahunnya.

Klik pada gambar untuk memperbesar
Klik pada gambar untuk memperbesar

Kebijakan meneruskan moratorium (jeda tebang) hutan yang telah diluncurkan Pemerintah pada bulan Mei ini, setidaknya menunjukkan ke arah mana perkembangan pengelolaan lahan akan berlangsung. Dengan segala keterbatasannya, Inpres ini perlu didukung oleh para pihak yang berkepentingan dalam industri perkebunan dan kehutanan. Satu pesan jelas moratorium yaitu hutan tidak dapat lagi ditujukan bagi konversi semata-mata kepentingan non kehutanan.

Pesan ini harusnya mendorong industri sawit untuk mengejar upaya intensifikasi lahan. Industri harus beralih dari orientasi semula, yaitu perluasan lahan yang akan merugikan dalam jangka panjang, sebaliknya mulai meningkatkan cara pengelolaan lahan yang berpatokan pada kebijakan non ekspansi lahan dan zero-deforestasi.

Disini, peran moratorium hutan primer dan lahan gambut akan berguna untuk memaksa perusahaan untuk terus berinovasi berorientasi pada penciptaan produktivitas dan pengelolaan lahan.

Dengan jumlah lahan sawit di Indonesia lebih hampir 11 juta hektar (Ditjenbun, 2014), Indonesia adalah negara terluas bagi penanaman sawit, namun dibalik itu sebenarnya meninggalkan sebuah pertanyaan mendasar. Mengapa kita masih memerlukan lahan yang lebih luas lagi untuk perkebunan sawit? Padahal jika dibandingkan dengan Malaysia, negara yang memiliki lahan yang lebih sempit dari Indonesia, Malaysia memiliki produktivitas lahan sawit yang lebih tinggi ketimbang Indonesia.

Bayangkan dalam rasio yang terjadi saat ini, 1 hektar lahan sawit di Malaysia ekuivalen dengan 1,4 hektar lahan sawit di Indonesia. Keunggulan Malaysia dalam supply chain management, manajemen kelola lahan, pemilihan bibit unggul, -termasuk pemberian bibit unggul kepada plasma, serta transportasi dan pengolahan minyak sawit yang lebih efisien terintegrasi menghasilkan produktivitas hektar yang lebih tinggi dari Indonesia.

Contoh lain keberhasilan moratorium adalah di Brazil, yang sukses melakukan moratorium hutan tanpa mengorbankan industri pertanian kedelainya. Moratorium ekspansi kedelai di wilayah Amazon Brazil secara dramatis mengurangi laju deforestasi di bentang hutan tropis terbesar di dunia itu.

Sebelum diberlakukannya moratorium lahan kedelai, deforestasi akibat pembukaan pertanian kedelai adalah 30 persen, namun setelah moratorium dijalankan tingkat deforestasi turun drastis hanya menjadi satu persen. Sebaliknya, intensifikasi telah menghasilkan produktivitas kedelai menjadi dua kali lipat dalam periode yang sama melalui pola pembersihan lahan, teknik penanaman dan pemilihan bibit yang baik.

Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit di Riau. Foto: Rhett A. Butler

Komitmen Perusahaan

Setidak-tidaknya komitmen untuk melaksanakan zero deforestation dan green sustainability telah diutarakan dari perusahan-perusahaan yang tergabung dalam Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP), yaitu kelompok perusahaan beranggotakan Wilmar, Cargill, Asian Agri, Golden Agri Resources dan Musim Mas. Secara produksi total, kelompok perusahaan yang tergabung dalam IPOP dipercaya menguasai delapan puluh persen dari produksi minyak sawit dunia.

Seperti diutarakan dalam pertemuan bisnis/lingkungan “Sustainability: A new Profit Driver?” di Singapura pertengahan bulan Mei ini, perusahaan seperti Asian Agri berniat untuk menggandakan panen lewat peningkatan produktivitas hingga 50 persen. Caranya dengan melakukan penanaman ulang (replanting) secara bertahap menggunakan bibit unggul jenis baru (genetic modification) dan meningkatkan penanaman di lahan-lahan yang selama ini dianggap sebagai lahan marjinal. Upaya ini dilakukan untuk mengejar return profit di masa depan.

Namun demikian, perusahaan pun menyadari bahwa peningkatan produktivitas tidak semata merupakan persoalan teknis agronomi dan teknis pertanian semata, tetapi juga menyangkut permasalahan sosial dan hubungan terintegrasi dengan para stakeholders.

Dalam tataran supply chain industri sawit yang melibatkan jutaan petani plasma, pertanyaannya bagaimana melibatkan jutaan petani plasma agar juga menggunakan bibit unggul bersertifikat yang memiliki produktivitas mumpuni?

Sudah menjadi rahasia di Indonesia bahwa selama ini para petani plasma, -bahkan yang dilakukan oleh oknum di dalam perusahaan, lebih memilih menggunakan bibit sawit seadanya yang berharga murah dan mudah diperoleh. Padahal penggunaan bibit abal-abal akan merugikan selama siklus daur sawit.

Perusahaan juga bergantung kepada pasokan dari pihak ketiga yaitu petani sawit. Persoalan petani kecil sawit disini bukan persoalan sederhana di Indonesia, dengan sekitar 40 persen lahan sawit dimiliki oleh small and medium enterprise (SME) atau perkebunan rakyat, baku mutu yang seragam menjadi lebih sulit untuk dilakukan, alih-alih jika lahan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Saat ini produktivitas sawit di lahan SME sangat rendah sekitar 2-3 ton/ha saja. Perlu usaha yang keras untuk meningkatkan produktivitas lahan SME.

Di luar permasalahan di atas, komitmen perusahaan perlu diperteguh dengan kesepakatan mengikat para pihak. Kelompok-kelompok seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) maupun kelompok seperti IPOP harus membuktikan bahwa komitmen tidak hanya semata baik di atas kertas namun berbeda faktanya di lapangan.

Pembukaan lahan sawit di Riau yang membuka hutan, tampak udara. Foto: Rhett A. Butler

Dunia telah berubah, industri sawit tidak mungkin terus mengabaikan tekanan pasar global dan desakan para aktivis yang menghendaki produk yang berkelanjutan dan nir-deforestasi. Saat ini sembilan puluh enam persen dari produksi minyak sawit dunia berada di bawah komitmen nol deforestasi.

Dalam jangka panjang, upaya moratorium yang dirintis sekarang akan memudahkan industri untuk mencapai komitmennya. Dengan cara ini moratorium hutan bukan hanya jargon kosong atau suatu hal yang diratapi tetapi merupakan bagian dari prospek bisnis yang memberikan dampak berganda yang menguntungkan. Dengan produktivitas yang meningkat di lahan sawit, diharapkan hutan tidak lagi menjadi sasaran untuk koversi lahan.

Hal ini tentunya tidak dapat dilakukan semudah membalik telapak tangan, namun bukankah tidak ada yang tidak mungkin jika dilaksanakan dengan benar dan bersungguh-sungguh? [mongabay.co.id/op-ed]

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,