PLTU Celukan Bawang di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, menuai protes. Beragam masalah muncul seputar proyek infrastruktur pemerintah yang dikerjakan PT Global Energy Bali (GEB) dan China Huadian Engeering Corp. LtD, ini, dari tenaga kerja, pembebasan lahan, izin mendirikan bangunan (IMB ), tempat pembuangan limbah sampai polusi udara (debu).
Pada Rabu (27/5/15), sejumlah warga mengeluhkan polusi karena debu beterbangan dari pengerukan lahan kolam pembuangan limbah. Ubaidilah dan Surayah, warga Dusun Pungkukan, senada mengatakan, mereka sebagai warga sekitar proyek menerima dampak langsung. “Debu berterbangan kemana-mana, sangat tidak sehat, banyak anak-anak di kawasan ini. Bagaimana ini?” kata Ubaidi.
M Hashari, Kepala Desa Celukan Bawang, dan Camat Gerokgak, Ariadi, meninjau lokasi terkejut melihat pengerukan lahan yang akan dijadikan kolam pembuangan limbah ini. ‘’Kami sama sekali tidak tahu ada proyek pengerukan tanah. Selama ini, komunikasi kami terputus dengan perusahaan,” kata Hashari.
Menurut dia, berbagai permasalahan membelit PLTU, seperti tenaga kerja, pembebasan lahan belum tuntas, pembuangan limbah belum jelas , dan IMB.
Sebenarnya, katanya, kala masalah muncul, pihak desa dan tokoh masyarakat berusaha berkomunikasi dengan perusahaan, seperti pertemuan desa, Rabu (27/5/15) di Wantilan, Desa Celukan Bawang. Pertemuan itu dihadiri muspika dan aparat keamanan, empat kepala desa, yakni, Celukan Bawang, Patas, Pengulon dan Tukad Sumaga. Namun, lagi-lagi tidak ada hasil.
Sejauh ini, katanya, upaya komunikasi dengan perusahaan tidak pernah direspon. “Dalam pertemuan kali ini, PLTU yang datang perwakilan yang tidak bisa memutuskan apapun.”
Ganggu produksi tanaman
Sekitar 43 keluarga atau 23 hektar lahan, hingga kini terkatung-katung. Warga di kawasan PLTU sangat terganggu. Produksi perkebunan warga turun drastis. Surayah, warga Desa Celukan Bawang mengatakan, sebelum proyek beroperasi, bisa panen kelapa antara 700–1.000 butir per dua bulan. Namun beberapa tahun ini, hasil hanya 50–100 biji. Tanaman pisang mereka pun perlahan-lahan mati. Sedang nilai jual obyek pajak tinggi hingga pajak mahal. ‘’Hasil perkebunan tidak ada tetapi saya harus bayar pajak hampir Rp4 juta. Kalau dulu kurang Rp1 juta , hasil panen juga bagus.”