, ,

Menaker Tekankan Bebas Pekerja Anak sampai Nol Deforestasi di Perkebunan Sawit

Soal angka pekerja anak di perusahaan perkebunan sawit yang tinggi, kerusakan lingkungan, deforestasi, serta upah buruh sawit rendah, menjadi pembahasan serius dalam pertemuan antara M. Hanif Dhakiri, Menteri Ketenagakerjaan dengan organisasi masyarakat sipil, serta Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), di Medan, pertengahan Mei 2015.

Hanif mengatakan, selama ini isu-isu ketenagakerjaan perkebunan belum banyak disentuh. Dia mulai menjadikan ini isu prioritas.

Menurut dia, ada sekitar 9 juta tenaga kerja perkebunan sawit di Indonesia, dan masih banyak ditemukan laporan perusahaan mempekerjakan anak bawah umur. Baik buat memanggul tandan buah segar, dan pemupukan serta panen.

Anak-anak bekerja tanpa menggunakan alat keselamatan kerja dan mengerjakan tugas orang dewasa.“Kedepan tidak ada lagi kasus serupa, perusahaan mempekerjakan anak bawah umur.”

Padahal, katanya, UU sudah melarang hingga perusahaan perkebunan harus mengikuti aturan. “Jika tak ditaati, akan ada sanksi tegas.”

Kementerian Ketenagakerjaan, katanya, membuat program pengentasan pekerja anak, dan deklarasi daerah bebas pekerja anak bawah umur sektor perkebunan. Konsep ini, sudah siap di Bali. “Pemerintah sudah memiliki roadmap hingga 2022 tak akan ada lagi perkebunan sawit mempekerjakan anak bawah umur.”

Masalah lain, kata Hanif, upah pekerja perkebunan tak terlalu dinikmati tenaga kerja. “Sektor ini isu seksi tingkat nasional maupun regional. Setiap ada kenaikan upah, buruh pasti demo, terbanyak perkebunan. Masalah ini pelan-pelan kita selesaikan,” katanya.

Hanif juga menyinggung persoalan lingkungan. Dia mengingatkan, dalam mengembangkan bisnis, industri sawit harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Selama ini, pertumbuhan perkebunan berdampak pada lingkungan, dan menyebabkan deforestasi. “Ini harus diantisipasi pemerintah dan investor perkebunan.”

Dalam pengelolaan sumberdaya alam, katanya, mau tidak mau harus memperhatikan lingkungan demi keberlanjutan hidup mendatang. “Kebijakan dan pengelolaan harus berorientasi penuh terhadap lingkungan. Soal operasional seperti apa, kementerian terkaitlah harus menyusun agar tidak ada konflik, baik pekerja, antara masyarakat dan perusahaan ataupun perambahan hutan.”

M hanif Dhakiri. Foto: Ayat S Karokaro
M hanif Dhakiri. Foto: Ayat S Karokaro

Jefri Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan,  luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 14,3 juta hektar, dengan produksi mintak sawit (crude palm oil/CPO) 27,1 juta ton per tahun.

Konsumsi CPO 2004,  sebesar 30 juta ton. Jika dilihat begitu tinggi ekspansi perusahaan ini, diperkirakan bakal naik tajam pada 2030 sampai 50 juta ton. “Tahun 2015 ini, produksi CPO Indonesia 33 juta ton, dengan konsumsi domestik 10,8 juta ton.” ,

Dengan luas itu, katanya, banyak harus diperhatikan, mulai kawasan hutan tak rusak, hingga menjalankan bisnis dengan baik tanpa pelanggaran hukum apalagi konflik dengan masyarakat adat.

Sawit perbatasan

Menurut Jefri, perluasan kawasan menjadi sawit, bukan hanya di Sumatera Utara, juga di daerah lain.  Salah satu rencana pemerintah yang bersepakat dengan swasta, yakni perusahaan perkebunan sawit (PKS), membuka perbatasan terutama di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

Data Sawit Wacth, memperlihatkan, ada upaya mengubah kawasan hutan sepanjang 584 Km² di perbatasan Indonesia-Malaysia, seluas lebih dari 1,8 juta hektar untuk jadi kebun sawit.

Alasan utama pemerintah, katanya, meningkatkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan wilayah perbatasan, serta memudahkan dan memastikan kontrol keamanan nasional sepanjang perbatasan.

Bagi dia,  rencana ini tak masuk akal dan mengabaikan berbagai aspek, salah satu kerusakan alam dan masyarakat adat terancam. Ia juga mengancam keragamanhayati disana.

Rencana membuka sawit perbatasan ini, katanya, berpotensi menyingkirkan masyarakat adat. Tak kurang dua juta masyarakat adat akan terkena dampak, baik langsung maupun tak langsung.

“Ini akan menjadi pembuktian kepada Pemerintahan Jokowi-JK, untuk benar-benar mewujudkan dan menghadirkan negara sebagaimana tertuang dalam Nawacita, terutama memproteksi kelola masyarakat adat, dan mewujudkan pemerataan kesejahteraan mereka.”

Carlo Nainggolan, Kepala Departemen Lingkungan Sawit Watch menambahkan, rencana perluasan ini ancaman besar bagi ekosistem hutan tropis di Kalimantan. Kerusakan hutan dan ekosistem pendukung akan memicu kepunahan spesies endemik dan daya dukung lingkungan hilang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,