, , ,

Cerita dari Hutan Ulin Mungku Baru

Matahari sudah hampir tenggelam. Udara sejuk sehabis hujan. Saya berjalan menyeberangi dermaga, menaiki kelotok. Beberapa penumpang lain ke tujuan sama, Kelurahan Mungku Baru, Kecamatan Rakumpit, Palangkaraya.

Meskipun secara administratif, Kelurahan Mungku Baru masuk Palangkaraya tetapi infrastruktur di Hulu DAS Rungan ini, jauh dari kata kota. PLN belum mengalirkan listrik ke siini. Sebagian warga menggunakan solar panel menerangi rumah mereka kala malam. Sebagian lagi terpaksa menggunakan genset.

“Sehari kami harus membeli bensin dua liter untuk listrik. Satu liter Rp10.000. Itupun hanya bisa sampai pukul 9.00 malam,” kata Anton, warga Mungku Baru, satu kelotok bersama saya.

Penduduk kelurahan ini sangat membutuhkan perhatian pemerintah agar segera membangun listrik. Begitupun sarana telekomunikasi, sulit mendapatkan signal.

Kelurahan ini dihuni 200 keluarga. Sebagian besar sebagai petani. Mereka menanam karet. Sesekali masuk hutan mencari madu dan obat tradisional. Kehidupan mereka benar-benar sangat bergantung hutan.

“Kami biasa tanam padi tadah hujan. Setahun sekali. Tanam Oktober, panen Maret. Padi disini asli organik. Kami tak pakai pupuk kimia.”

Kelotok melaju membelah Sungai Rungan. Sepanjang perjalanan terlihat pohon-pohon rindang. Begitu menyejukkan mata. Ini kontras dengan suasana Palangkaraya, yang panas.

Namun keindahan pemandangan itu terganggu dengan banyak tambang emas yang mencemari Sungai Rungan. Sebagian besar mereka menggunakan merkuri.

Saya tiba di Kelurahan Mungku Baru, sekitar pukul 17.00. Armadiyanto, warga sekaligus pengelola hutan ulin menyambut hangat.

Pohon ulin banyak tumbuh di hutan adat ini. Foto: Indra Nugraha

Kedatangan saya ke sini untuk mengunjungi hutan ulin. Kayu yang bernama latin Eusideroxylon zwageri itu kini sudah langka. Menariknya, pohon kayu keras itu banyak dijumpai di hutan adat ini.

“Hutan ulin tersisa cuma ada di sini, secara administratif masuk Kabupaten Gunung Mas. Tetapi lebih dekat ke sini,” kata Armadiyanto.

Keesokan hari, Redie Cornelis dan Setiawan, sudah berada di rumah Armadiyanto. Mereka berdua kerabat Edo, nama panggilan Armadiyanto, yang juga pengurus hutan ulin. Mereka hendak mengantarkan saya berkeliling hutan keramat ini.

Kabut turun perlahan memecah suasana pagi. Beberapa ekor burung beterbangan mengiringi perjalanan. Kami bergegas ke dermaga menaiki cess (sampan kecil dari kayu). Redie dan Setiawan mendayung. Cess melaju perlahan membelah sungai yang tenang. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk lain juga menggunakan cess. Mereka menuju ladang. Menyadap karet, atau sekadar memberikan perawatan berkala pada tanaman mereka.

Tak lama, kami tiba di seberang Sungai Rungan. Redie dan Setiawan, segera mengambil sepeda motor yang terparkir depan rumah warga. Mesin dinyalakan. Sepeda motor melesat meninggalkan jalanan berpasir putih. Sepanjang perjalanan tampak ladang karet garapan warga.

Satu jam kemudian, kami tiba di pos pemeriksaan milik PT Taiyoung Engreen. Sebagian wilayah hutan adat ulin Mungku Baru memang masuk konsesi HPH ini. “Perusahaan tak pernah mengganggu hutan ulin kami. Jadi masih terjaga baik,” kata Redie.

Kami bergegas menembus hutan nan lebat. Tumbuhan bervariasi. Tak hanya ulin. Ada meranti, tengkawang, resak, benuas, pelepek, karuing dan lain-lain.

Sungai, jalur paling mudah menuju hutan ulin. Foto: Indra Nugraha
Sungai, jalur paling mudah menuju hutan ulin. Foto: Indra Nugraha

Suasana hutan berbeda dari kebanyakan. Pohon-pohon berdiameter besar masih kokoh berdiri. Aman dari aksi perambahan ilegal.Tak ada jalan setapak. Sebab, warga jarang masuk hutan ulin. Saat-saat tertentu saja mereka beraktivitas disana. Suara burung, serangga dan hewan lain saling bersahutan menyambut kedatangan kami.

“Warga jarang kesini. Maka hutan masih bagus. Terjaga dengan baik. Karena hutan ini sangat keramat bagi kami,” kata Setiawan.

Setelah berjalan hampir setengah jam, Redie dan Setiawan menunjukkan pohon ulin diameter lebih dari 20 sentimeter. Ulin ini terlilit pohon beringin. Suatu waktu ulin pasti akan mati tergantilkan beringin yang kokoh.

Tak lama berjalan, beberapa pohon ulin juga ditemukan. Ia tersebar di berbagai penjuru. Hasil survei pengelola hutan memperlihatkan, ada sekitar 50 ulin besar dan 192 pohon berdiameter 20 cm.

Setiawan mengatakan, di dalam hutan masih banyak satwa liar, seperti beruang hitam, kancil, babi hutan, orangutan, owa-owa, bekantan, bangkui, trenggiling, landak, dan lain-lain.

“Biawak, buaya, apalagi di Sungai Rakumpit, burung-burung juga banyak. Dulu disini banyak ikan, sekarang sudah jarang.”

Di hutan, selain ulin dan kayu lain, ada juga tumbuh-tumbuhan obat tradisional, seperti iro (sejenis pakis untuk obat liver),  tusuk kesong (kayu akar tunggal tanpa dahan untuk obat ashma), dan kelanis (akar untuk bahan baku bedak). Lalu, pasak bumi, tabat Barito sejenis ginseng (untuk pegal linu), kulit belawan (diare), kantung semar (ashma), sarang semut (penyakit gondok), akar seluang belum (pegal linu tambah nafsu makan, daya tahan tubuh).  Akar ulin dipercaya warga untuk menambah daya tahan tubuh.

“Obat-obatan tak kita jual ke luar. Kita manfaatkan untuk kebutuhan sendiri. Ke depan rencana untuk industri rumahan,” kata Redie.

Warga juga biasa mencari kulit gemur untuk bahan obat nyamuk. Kulit dijemur, setelah kering dijual Rp8.000 per kilogram. Warga juga mencari kelanis, bahan membuat bedak, Rp4.000 per kilogram. Namun mereka jarang mencari itu di dalam hutan ulin. Biasa mereka mendapatkan di area lain.

Aktivitas perusahaan HPH. Hutan ulin juga berada di konsesi HPH ini. Foto: Indra Nugraha
Aktivitas perusahaan HPH. Hutan ulin juga berada di konsesi HPH ini. Foto: Indra Nugraha

Hester Talajan, Mantir Adat menceritakan sejarah hutan ulin. Dulu, katanya,  kakek nenek kami berladang bersama anak cucu. “Hutan ulin itu dari dulu tidak diganggu. Kakek nenek kami meminta jangan dimusnahkan.”

Dulu, katanya,  pernah ada perambahan. Banyak ulin ditebang orang yang tidak bertanggungjawab. Kini warga sudah satu pandangan, bersama-sama menjaga hutan ulin yang tersisa.

“Kakek tak setuju. Tak mau ulin musnah. Ingin dikembangbiakkan. Sampai sekarang ini kami mau meneruskan perjuangan nenek moyang.”

Hester mengatakan, dulu hutan ulin pernah dicuri Temanggung Buleng, saudara kakeknya. Karena tak mau dicuri lagi, sang kakek bersumpah,” Siapa yang berani ganggu akan dimangsa roh pebubggu disana.”  Karena itulah hingga kini warga tak berani mengganggu kawasan hutan ulin. “Pernah kejadian yang mencuri kena sumpah, dapat musibah. Termasuk keturunannya juga.”

Ada hukum adat berlaku di hutan mereka. Siapapun tak boleh masuk sembarangan tanpa izin. “Harus sepengetahuan kami. Kalau hanya melihat tak apa. Kalau merusak, tak akan diizinkan. Begitu juga perusahaan. Mereka sudah sadar kalau merusak bisa kena sanksi adat. Perusahaan justru kerjasama dengan masyarakat untuk jaga hutan ulin.”

Jika melanggar, siapapun akan kena sanksi adat berupa kati. Satu kati setara Rp100.000. Besaran kati tergantung besar atau kecil pelanggaran. Para tokoh adat dan pengelola hutan ulin akan berdiskusi menentukan besaran kati jika terjadi pelanggaran.

“Kalau hutan tak dijaga, nanti saat musim kemarau, bisa hancur. Kami tak mau sampai kebakaran hutan,” katanya.

Guna menjaga hutan ini, masyarakat Mungku Baru membentuk kelembagaan pengelola hutan ulin 27 September 2014. Ia melalui serangkaian diskusi dengan seluruh masyarakat dan kelurahan, diketahui Camat Rakumpit. Namun hingga kini belum ada SK resmi dari pemerintah.

Dengan lembaga pengelola hutan ulin, diharapkan bisa mengaktifkan kembali tim serbu api yang dulu pernah dibentuk dan sempat tidak  berfungsi.

“Jarang patroli karena keterbatasan biaya. Masyarakat selama ini masih mengandalkan dana swadaya.” Kala SK kepengurusan lembaga pengelola hutan ulin disahkan, dia berharap pemda lebih memperhatikan hutan ulin dengan memberikan dana berkala,” kata Edo.

Pengelola hutan ulin juga bertugas memonitor rutin keadaan hutan. Saat ini, memang belum terlalu sering karena masih menunggu SK pemda. Ke depan,  patroli rutin akan sering.

Dia berharap,  dalam pengelolaan hutan ulin, bisa terjalin kerjasama erat antara masyarakat dengan pemerintah, KLHK maupun Kementerian Pariwisata.

Di daerah ini, pemetaan wilayah adat sudah dilakukan, yang difasilitasi Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Kalteng.

Kawasan hutan di Kelurahan Mungku Baru seluas 18 .000 hektar. hutan adat ulin 500 hektar. Ditambah wilayah Kaleka (peninggalan nenek moyang ditandai tiang-tiang rumah betang dan pohon besar) seluas empat hektar, sumber air bersih satu hektar, Danau Kahui dua hektar, Danau Luja delapan hektar dan Danau Kante delapan hektar.

“Kaleka hingga kini masih dipelihara warga sebagai cagar budaya. Danau biasa buat warga mencari ikan juga untuk wisata.”

DI sepanjang sungai banyak tambang-tambang emas rakyat. Foto: Indra Nugraha
DI sepanjang sungai banyak tambang-tambang emas rakyat. Foto: Indra Nugraha

Ancaman

“Harapan kita tinggi. Kita ingin jaga hutan dan dibudidaya. Bisa kerjasama dengan berbagai pihak. Maksud kami itu memang ini belum ada kekuatan hukum selaku pengelola. Tapi kan kita sudah di ambang pintu,” kata Aries Antoni, Lurah Mungku Baru.

Rencana ke depan kelurahan akan membuat program budidaya pohon ulin. Budidaya bisa menjadi alternatif melestarikan pohon ini.

“Selama ini kami gencar menolak investasi sawit. Kami mau hutan lestari. Kalau sawit masuk, hutan bisa habis.”

Ia berkomitmen untuk tetap menjaga kelestarian hutan adat ulin. Karena hutan itu lah yang tersisa saat ini. Tak boleh lagi ada pengrusakan.

Ancaman lain hutan ulin, adalah ada LSM yang mengklaim pemilik sah hutan adat ulin.

“Itu tak benar. Mereka mengklaim tanpa ada koordinasi dengan masyarakat. Kami sempat adu mulut dengan mereka. Di dalamnya justru bukan orang Mangku Baru. Mereka mengklaim hanya untuk kepentingan mereka.”

Aries mengatakan, masuknya hutan ulin ke konsesi Taiyoung juga ancaman. “Takutnya karena hutan ulin masuk wilayah mereka, kalau kayu sudah habis, bisa saja merambah ke hutan ulin. Maka saya berharap pemerintah segera mengeluarkan SK. Kami ingin disahkan sebagai hutan adat.”

Jalan konsesi HPH yang membelah hutan. Foto: Indra Nugraha
Jalan konsesi HPH yang membelah hutan. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,