9 Tahun Lumpur Lapindo, Negara Masih Absen

Banyak orang terlihat berkumpul di sekitar kolam penampungan lumpur Lapindo yang mulai mengering. Berbagai aktivitas dilakukan orang-orang tersebut, dari membawa poster, ogoh-ogoh sampai dengan berjualan.

Inilah aktivitas “Pulang Kampung” yang dilakukan warga korban lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jatim, memperingati 9 Tahun Tragedi Luapan Lumpur Panas, pada Jumat (29/05/2015) lalu. Juru bicara aksi, Rere Christanto mengatakan kegiatan Festival Pulang Kampung merupakan penanda bahwa sebelum lumpur menyembur, kawasan ini merupakan wilayah permukiman warga yang ramai dan terdapat kehidupan.

Namun akibat semburan lumpur panas dari sumur pengeboran Banjar Panji 1 milik PT. Lapindo Brantas, masyarakat belasan desa di 3 Kecamatan yaitu Porong, Tanggulangin dan Jabon, harus tercerai berai dan meninggalkan kampung halamannya sendiri.

“Peristiwa itu juga yang merusak sendi-sendi sosial masyarakat, kekerabatan, serta hubungan tetangga. Festival Pulang Kampung ini mengajak mereka untuk melihat kembali, setidaknya sekali lagi mereka bisa berkumpul, saling bertemu dengan tetangga yang lama, menjalin ikatan sosial yang dulu pernah ada,” ujar Rere.

Seorang korban lumpur dari Desa Siring, Umi Salami, mengatakan “Pulang Kampung” mengingatkan kehidupannya sebelum tenggelamnya rumah pekarangannya seluas 126 meter persegi hasil dia bekerja di Singapura, sawah, pekerjaan atau sumber penghidupan, serta kehidupan sosial budaya warga.

“Dulu kami hidup dari berjualan, ada juga teman-teman yang bekerja di pabrik, di sawah. Setelah semua terkena lumpur panas, kami mengungsi dan pindah ke tempat yang aman. Sekarang ini pekerjaan tidak tentu,” tutur Umi yang dulu biasa berjualan kue kering dan basah, dan sekarang terpaksa menjadi tukang ojek.

Umi belum menerima pelunasan sekitar Rp50 juta, dari nilai aset Rp290 juta. Dia berharap pemerintah segera menuntaskan dengan membayar tunai seluruh kerugian mereka. Sementara seorang korban lain, Munif, pasrah dengan ketidakpastian skema pembayaran ganti rugi, dan enggan mengambil uang muka 20 persen. Hingga kini Munif mengaku belum menerima sedikit pun uang ganti rugi dari Lapindo.

“Awalnya dijanjikan dibayar 20 persen dari total nilai aset Rp1,3 milyar, lalu 3 minggu kemudian dijanjikan 80 persen lunas. Tapi faktanya tidak ditepati janjinya,” ujar Munif warga Desa Siring yang rumahnya masih berdiri di pinggir jalan raya Porong meski kondisinya rusak parah.

Bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, menimbulkan kerugian tidak hanya material, namun juga kerugian di banyak aspek kehidupan masyarakat yang terdampak langsung maupun tidak langsung. Selain ribuan rumah, sawah dan kebun, terdapat 24 pabrik, 31.000 usaha mikro kecil dan menengah, serta 33 bangunan sekolah dan puluhan fasilitas umum tenggelam oleh lumpur.

Lumpur telah berimbas pada perekonomian seperti hilangnya tenaga kerja, pertanian dan tambak, serta berbagai bidang usaha. Tanpa kehadiran negara, kata Rere, para koraban justru mampu mengupayakan sendiri haknya yang hilang akibat semburan lumpur.

“Pemerintah sendiri tidak pernah hadir untuk warganya. Jadi selama 9 tahun ini seluruh hak warga yang hilang mulai ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Padahal seharusnya ini menjadi tanggungjawab dan beban pemerintah untuk memastikan hak warga negaranya itu tercukupi,” terang Rere dari Walhi Jatim.

Ogoh-ogoh Lapindo

Mengangkat tema “Rakyat Berdaya Meskipun Negara Alpa”, peringatan 9 Tahun Lumpur Lapindo ingin menggambarkan perjuangan korban lumpur, yang tidak kenal menyerah mengupayakan hak mereka dan tanpa menunggu aksi dari pemerintah.

Ogoh-ogoh wujud pemilik Lapindo Brantas, Aburizal Bakrie  diarak dan ditanam di kolam penampungan lumpur oleh warga korban lumpur  Lapindo dalam peringatan 9 tahun Luapan Lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski
Ogoh-ogoh wujud pemilik Lapindo Brantas, Aburizal Bakrie diarak dan ditanam di kolam penampungan lumpur oleh warga korban lumpur Lapindo dalam peringatan 9 tahun Luapan Lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Peringatan 9 Tahun Lumpur Lapindo pada 29 Mei ditandai dengan diaraknya ogoh-ogoh raksasa berbaju kuning setinggi 5 meter berwujud pemilik Lapindo Brantas, yakni Aburizal Bakrie, dari bekas Pasar Porong menuju tanggul titik 21.

Boneka raksasa itu tampak terikat tangannya oleh rantai, dan dipasak di atas kolam penampungan lumpur. Beberapa warga melempari ogoh-ogoh itu dengan bunga tabur untuk makam, sambil mengeluarkan kalimat hujatan dan serapah. Musik patrol yang dibawakan anak-anak dari sanggar Al-Faz Desa Besuki, mengiringi prosesi arak-arakan itu.

“Kami akan selalu mengingat kejahatan yang dilakukan oleh keluarga Bakrie terhadap warga korban lumpur, kami akan terus berjuang dan menuntut apa yang menjadi hak kami,” teriak Abdul Rokhim, salah satu koordinator aksi warga korban lumpur.

Selain berorasi, anak-anak korban lumpur Lapindo juga membacakan puisi, yang berisi cerita kerusakan serta penderitaan yang dialami warga akibat lumpur panas.

“Dahulu damai kotaku, dahulu tenteram negeriku, tapi setelah peristiwa itu, hancur lebur lingkunganku, sawah-sawah yang dahulu hijau, alam indah yang memukau, kini semakin rusak,” lantun Hesti dalam puisi yang dibawakannya.

Peringatan juga diikuti Paguyuban Ojek Portal titik 21, Ibu-ibu Korban Lumpur Lapindo Ar-Rohma, serta ratusan korban lumpur dari berbagai desa yang terdampak.

Rere Christanto mendesak pemerintahan Jokowi mengambil langkah nyata menangani korban lumpur, melalui penyediaan layanan jaminan kesehatan, pendidikan, serta pemulihan lingkungan serta sosial budaya. Selama ini belum ada tindakan dari pemerintah selain mengurusi persoalan ganti rugi aset warga yang terdampak lumpur.

“Jadi jawabannya itu ada di jaminan pelayanan, jadi tidak harus berupa uang dalam bentuk cash, tapi dia berupa jaminan, misalnya untuk kesehatan pemberian layanan khusus BPJS untuk korban Lapindo, kemudian Kartu Indonesia Pintar untuk anak-anak, itu bisa jadi bagian dari solusi penyelesaian,” tuntutnya.

Sementara itu Bambang Catur Nusantara dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mendesak pemulihan kondisi lingkungan yang memburuk akibat lumpur Lapindo. Industri bisa kembali bila dampak dan hak korban lumpur belum tertangani.

“Dampak lumpur Lapindo multi dimensi, persoalan pemburukan lingkungan berdampak pada persoalan lain yang mengganggu hak dasar warga. Pemerintah harus membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo, dengan memasukkan pemulihak hak-hak korban lumpur menjadi perhatian utama,” tandasnya.

Manusia-Lumpur-di-tengah-kolam-penampungan-lumpur-sambil-membawa-bendera-Merah-Putih-dengan-latar-belakang-kepulan-asap-dari-pusat-semburan-lumpur
Manusia lumpur di tegah kolam penampungan lumpur membawa bendera Merah Putih dengan latar belakang kepulan asap dari pusat semburan. Foto: Petrus Riski 

Aksi Manusia Lumpur

Seminggu sebelumnya,  9 orang melakukan aksi teatrikal melumuri sekujur tubuhnya dengan lumpur hangat Lapindo, sambil berjalan beriringan membawa sebatang tongkat berbendera Merah Putih, yang kemudian ditancapkan di suatu titik di kolam penampungan lumpur.

Seniman dan penggagas aksi, Dadang Christanto mengatakan 9 manusia lumpur itu menandakan 9 tahun persoalan lumpur Lapindo yang belum tuntas, dengan penderitaan masyarakat korban lumpur.

“Peringatan Lapindo ke 9 tahun ini yang utama adalah ziarah ke makam keluarga, dan barusan kita lakukan. Dan ini koordinat dimana titik makam (desa) Siring berada,” ujar Dadang yang pada peringatan ke 8 tahun lumpur Lapindo membuat patung Survivor.

Setelah memanjatkan doa, warga bersama-sama menaburkan  bunga pada titik yang diyakini sebagai lokasi makam desa yang telah  tenggelam oleh lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski
Setelah memanjatkan doa, warga bersama-sama menaburkan bunga pada titik yang diyakini sebagai lokasi makam desa yang telah tenggelam oleh lumpur Lapindo. Foto : Petrus Riski

Panasnya sinar matahari pada Minggu (24/5) dan bau menyengat dari pusat semburan lumpur Lapindo, tidak menjadi penghalang bagi sebagian warga untuk melakukan ziarah ke makam leluhur, menaburkan bunga dan berdoa di titik yang telah ditandai dengan bendera Merah Putih.

Sutrisno, korban lumpur dari Desa Kedungbendo, Tanggulangin, Sidoarjo mengatakan ada sedikitnya 9 kuburan warga dari 8 desa di 3 kecamatan di areal 800 hektar kolam penampungan lumpur.

Mereka juga berharap proses ganti rugi cepat diselesaikan sebelum lebaran, sesuai pernyataan Presiden Jokowi. “Kalau nanti molor lagi sampai 10 tahun, bagaimana jadinya warga korban Lapindo ini. Sekarang ini saja banyak korban Lapindo yang meninggal, yang sakit-sakitan, karena terlalu mikir pembayaran yang belum juga lunas,” tukas Sutrisno.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,