,

Kenapa Kejahatan Tambang Masih Terus Terjadi di Indonesia?

Janji Joko Widodo untuk mengawal kejahatan tambang di Indonesia dinilai tidak pernah terealisasi sejak dia resmi dilantik menjadi presiden di negeri ini. Yang terjadi, Jokowi justru membiarkan kejahatan tambang semakin merajalela dan tak bisa dibendung oleh siapapun, hingga saat ini.

Fakta tersebut terungkap dalam peringatan Hari Anti Tambang (Hantam) 2015 yang jatuh pada Jumat (29/05/2015). Dalam peringatan yang digelar di Kantor KONTRAS, Jakarta, itu terungkap bahwa keterlibatan Negara dalam kasus tambang yang terjadi di Tanah Air tidak pernah ada. Fakta tersebut berbeda saat Jokowi masih melakukan kampanye untuk mencalonkan diri menjadi presiden.

Fakta itu bertentangan dengan kampanye pilpresnya di hadapan masyarakat korban Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2014, bahwa Negara harus hadir dalam kasus tambang sebagai representasi kedaulatan rakyat.

“Namun, ungkapan tersebut langsung berubah begitu Jokowi dilantik menjadi Presiden. Dengan lantang, dia mengatakan dalam pidato di KTT APEC 2014, bahwa Indonesia mengundang secara terbuka investor tambang untuk berinvestasi di Indonesia,” ujar Manager Emergency Response Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Ki Bagus Hadi Kusuma.

Ajakan Jokowi untuk investor di sektor tambang itu, lanjut Bagus, akan mengeruk sumber daya alam yang masif dan itu berarti terjadi perusakan alam dan sekaligus ruang hidup masyarakat.

“Bukan hanya itu, pemerintahan Jokowi juga mendukung eksplorasi tambang dengan dibangunnya akses transportasi menuju kesana. Itu memudahkan para investor untuk mengeruk tambang dari Indonesia. Ini sangat disayangkan sekali,” ungkapnya.

Bagi JATAM, apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah tidak berusaha menghentikan kejahatan tambang yang sudah berlangsung lama.”Ini yang disesalkan oleh kami sebagai rakyat. Padahal, jika eksplorasi tambang terus dilakukan, sudah jelas alam akan jadi taruhannya,” tegas Bagus lagi.

Kejahatan Korporasi yang Terstruktur Rapi

Menurut Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Edo Rahman, pembiaran eksplorasi tambang oleh Jokowi, menegaskan bahwa dia mendukung terjadinya kejahatan korporasi yang sudah terstruktur sangat rapi.

“Presiden sudah mengkampanyekan program Nawa Cita yang bertujuan menegakanna kedaulatan pangan dan reformasi agraria. Namun, kenyataannya itu bertolak belakang karena konversi lahan masih terus terjadi dan tidak terbendung sama sekali,” ungkap Edo kepada Mongabay.

Kasus yang paling hangat terjadi dan mengekspresikan Negara tidak peduli, adalah saat PT Semen Indonesia masuk ke kawasan pegunungan Kendeng Utara yang ada di di sebagian wilayah Kabupaten Pati, Rembang dan Blora di Jawa Tengah. Perusahaan tersebut masuk ke sana untuk mengeksplorasi tambang di kawasan resapan air itu.

“itu sudah tidak terbendung walaupun jika itu dilakukan ekosistem di sekitar pegunungan akan rusak. Status daerah resapan air juga akan terancam karena akan rusak nantinya. Dalam kasus ini, Negara sama sekali tidak muncul dan terkesan absen,” tegas dia.

Eksplorasi Energi Picu Perubahan Iklim

Dengan mendorong banyak eksplorasi di berbagai daerah, maka Indonesia mendorong terjadinya perubahan iklim lebih cepat lagi. Hal itu, karena eksplorasi energi yang sedang dilakukan saat ini berpotensi mempercepat perubahan iklim.

Padahal, dalam Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of The Parties (COP 19) UNFCCC, Indonesia sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26% pada 2020. Komitmen tersebut harusnya diwujudkan dengan terus menjaga kelestarian hutan Indonesia dari berbagai bentuk eksplorasi.

“Namun yang terjadi saat ini sebaliknya. Pemerintahan Jokowi justru mendorong terwujudnya program penyediaan pembangkit listrik tenaga batubara berkapasitas 35.000 MW. Program ini pasti akan mempercepat proses eksploitasi hutan dan memicu percepatan kerusakan hutan dan mengancam emisi gas rumah kaca semakin tinggi,” papar Muhammad Reza Shahib dari Koalisi Rakyat Hak Atas Air (Kruha).

Tari Soya-soya untuk Lumpur Lapindo

Peringatan Hari Anti Tambang 2015 juga dilakukan di depan Istana Merdeka di Jakarta, Jumat (29/05/2015) siang. Dalam peringatan tersebut, massa dari berbagai elemen berkumpul untuk menyuarakan keprihatinan atas apa yang terjadi dalam sektor pertambangan di Indonesia saat ini.

Aksi keprihatinan itu diperlihatkan dengan melakukan orasi dari sejumlah organisasi massa dan juga melakukan aksi teatrikal yang dibawakan sejumlah mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta dan STT Nusantara, Tangerang Selatan.

Tarian Soya-soya dari Ternate, Maluku Utara menghiasi peringatan Hari Anti Tambang (Hantam)2015 di depan Istana Merdeka Jakarta pada Jumat (29/05/2015). Foto : M Ambari
Tarian Soya-soya dari Ternate, Maluku Utara menghiasi peringatan Hari Anti Tambang (Hantam)2015 di depan Istana Merdeka Jakarta pada Jumat (29/05/2015). Foto : M Ambari

Selain itu, peringatan Hantam juga diselipi dengan tarian Soya-soya yang berasal dari Ternate, Maluku Utara. Tarian tersebut mengisahkan tentang patriotisme pasukan Maloko Kieraha dalam upaya mengusir penjajah dari Maloko Kieraha.

Pementasan tarian itu menjadi simbol perlawanan yang dilakukan masyarakat peduli tambang terhadap penjajahan era baru dari sektor pertambangan.

“Kami disini karena kami tidak merasa didampingi oleh Negara dalam kasus eksplorasi tambang di Pulau Bangka. Kami ingin keadilan. Izin tambang sebenarnya sudah lama dicabut, namun kenapa eksplorasi masih terus terjadi. Pemerintah tolong hentikan ini,” ungkap orator yang berasal dari Pulau Bangka, Sulawesi Utara, Jull Takaliuang.

Artikel yang diterbitkan oleh
,