,

Greenpeace: Jokowi, Pilihlah Energi Bersih Untuk Atasi Perubahan Iklim

Presiden Joko Widodo kembali diingatkan tentang komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen atau 41 persen dengan bantuan internasional.

Salah satu yang telah ditetapkan pemerintah sendiri, adalah dengan pengembangan energi terbarukan dan memperkuat kebijakan moratorium kehutanan. Oleh karena itu, Greenpeace menyerukan kembali, agar Jokowi mulai serius mengembangkan energi bersih tersebut.

“Jika pemerintah gagal mengurangi emisi karbon dari dua sumber emisi terbesar tersebut, maka bisa dipastikan Indonesia tidak bisa memenuhi komitmen penurunan emisi yang telah disampaikan pemerintah kepada dunia,” kata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Menurutnya, saat ini pemerintah bermaksud mengembangkan program nasional energi sebesar 35.000 Mega Watt untuk Indonesia, dimana 60 persen energinya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara. Hal ini menujukkan bahwa sampai 20 tahun ke depan Indonesia masih akan bergantung pada batubara sebagai sumber energi.

Padahal, energi batubara adalah salah satu sumber energi fosil paling kotor, salah satu penyebab perubahan iklim dan berdampak sangat merugikan. Cadangan geothermal di Indonesia mencapai 40 persen dari total cadangan dunia. Sayang sekali pemerintah tidak mengembangkan potensi energi terbarukan yang lebih bersih seperti geothermal, panas matahari dan angin.

Tuntutan soal energi bersih ini merupakan aksi Greenpeace sebagai bagian dari Global Day of Action yang merupakan mobilisasi lebih dari 30 negara di seluruh dunia untuk menyerukan tindakan mengatasi perubahan iklim.  Aktivis greenpeace melakukan aksi flash mob atau aksi seni kreatif di tengah keramaian beberapa kota di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Padang, Yogyakarta, Purwokerto dan Pekanbaru, pada Sabtu (30/05/2015).

“Aksi ini juga membawa pesan untuk menyoroti rencana pembangunan PLTU Batang yang diklaim terbesar se-Asia Tenggara. Kami mendesak Presiden Jokowi membatalkan PLTU Batang yang akan merugikan ribuan nelayan dan petani karena kehilangan mata pencahariannya,” tambah Hindun.

Selama ini, sudah empat tahun lebih warga Batang yang tergabung dalam UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban) melakukan berbagai cara untuk menolak pembangunan proyek kotor ini. Lebih dari 25 aksi warga lakukan dan beraudiensi dengan Kementerian Perekonomian, Kementerian Kelautan dn Perikanan, Komnas HAM, DPR RI hingga ke Jepang untuk bertemu langsung investor.

Hindun menambahkan, hingga saat ini warga bersih mempertahankan 25,4 hektar lahan dari 336 hektar lahan yang akan dipakai untuk membangun PLTU. Adapun sebagian besar lahan tersebut meliputi persawahan produktif dan wilayah perikanan tangkap produktif.

“Pembangunan PLTU bertenaga batubara ini bertentangan dengan salah satu Nawacita Presiden Jokowi yakni kedaulatan pangan. Sudah saatnya presiden memimpin revolusi energi baik, aman, bersih, hijau dan berkelanjutan,” kata Hindun.

Adaptasi Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan. Berbagai peristiwa seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang semakin sering terjadi banyak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian ekonomi dan ekologi. Karenanya upaya adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi perubahan iklim perlu menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan.

Prof. Gabriel R. Kassenga, ahli lingkungan Ardhi University, Tanzania, pada  Senin (25/05/2015) di Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada (UGM) saat International Guest Lecture menyampaikan salah satu langkah adaptasi perubahan iklim yang dilakukan penduduk Dar es Salaam di Tanzani contohnya adalah dengan melakukan pencarian sumber-sumber air bersih. Selain itu juga tidak sedikit masyarakat yang melakukan diversifikasi pertanian untuk meminimalisir risiko kegagalan panen karena banjir, kekeringan, dan faktor lainnya.

“Masyarakat juga ada yang merubah aktivitas mata pencaharian dan melakukan penyesuaian kegiatan lain untuk menemukan sumber pendapatan yang berbeda,” kata Kasengga.

Ia mengatakan, kapasitas adaptasi rumah tangga di wilayah pinggiran kota terkait dengan  keanekaragaman sumber pendapatan, modalitas dalam mengakses air, tanah dan sumber daya lainnya. Kebanyakan dari strategi adaptasi mandiri yang dilakukan masyarakat tergantung pada kehadiran karakteristik perkotaan dan pedesaan di daerah pinggiran kota. Adanya campuran karakteristik desa dan kota tersebut memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan strategi mata pencaharian campuran.

Akses terhadap tanah dan air memainkan peran penting dalam pembentukan praktik adaptasi rumah tangga peri-urban. Sebagian besar masyarakat berupaya memenuhi kebutuhan air secara mandiri guna memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pertanian.

Kassenga mengatakan berbagai upaya adaptasi semestinya dilakukan oleh seluruh masyarakat dunia yang memiliki kerentanan terhadap bencana akibat perubahan iklim.

“Langkah adaptasi yang dilakukan disesuaikan dengan kondisi dan tantangan masing-masing wilayah. Dengan pengembangan adaptasi tersebut diharapkan masyarakat akan lebih siap saat menghadapi bencana,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,