Setelah Transshipment, Indonesia Terapkan Monitoring Kapal

Pasca pelaksanaan moratorium eks kapal asing dan pelarangan transshipment, Pemerintah akan fokus melaksanakan pengawasan terhadap pergerakan kapal-kapal yang ada di perairan di seluruh Indonesia. Pengawasan dilakukan dari pelabuhan yang menjadi port perikanan di Indonesia.

Plt Dirjen Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Narmoko Prasmadji, mengaku persiapan untuk pelaksanaan monitoring kapal sudah dilakukan di sejumlah pelabuhan perikanan. Namun, dari semuanya, pelabuhan yang dinilai paling siap baru Pelabuhan Benoa di Bali.

“Walau di Benoa sudah siap dari segi infrastruktur dan fasilitasnya, namun kita belum tentukan pelaksanaan akan dimulai dari sana. Kita akan tentukan lebih teliti lagi di pelabuhan mana saja,” ungkap Narmoko di Jakarta, Kamis (04/06/2015).

Menurut Narmoko, Pelabuhan Benoa dinilai siap karena fasilitas perikannya sudah bagus dan itu akan mendukung pelaksanaan monitoring nantinya. Karena itu, jika sudah siap tenaga observer dan nemunerator, pelaksanaan monitoring di Benoa bisa segera dimulai.

Narmoko menjelaskan, dalam pelaksanaan monitoring, pemerintah akan menggunakan kapal dari dalam negeri dengan muatan tidak lebih dari 200 gross tonnage (GT). Penentuan syarat penggunaan kapal untuk monitoring tersebut, dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan di lapangan.

“Kita monitor menggunakan VMS (vessel monitoring system) plus yang bersifat visual, yang baru ini kita menyebut CCTV (close circuit television) dan kita akan menentukan mana alat yang kita pakai secepatnya,” tutur dia.

Untuk pemilihan kapal operasional monitoring, Narmoko mengungkapkan, akan dilakukan dengan memilih kapal-kapal terbaik yang berukuran maksimal 200 GT dan status kepemilikannya jelas. Kapal-kapal tersebut akan dipilih dari mana saja, termasuk  dari kapal pengusaha seperti milik Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI).

“Walau mereka akan dilibatkan nantinya, tapi tetap kita akan berlakukan aturan dan syarat yang sama. Kapal mereka tidak bisa jalan begitu saja dan harus dilakukan pengukuran ulang agar bisa sesuai dengan kriteria yang ditetapkan,” tandasnya.

Narmoko menambahkan, setelah pemberlakukan moratorium berjalan, pihaknya juga akan fokus memberikan akses besar kepada masyarakat untuk bisa memanfaatkan sumber daya laut sebaik mungkin. Karena, meski sudah diketahui prediksi potensi kerugian yang bisa diselamatkan sekitar Rp300 triliun, namun kekayaan ikan di lautan harus bisa dimanfaatkan bersama.

Pelarangan Transshipment Tetap Diberlakukan

Selain fokus untuk melaksanak monitoring, KKP juga menegaskan bahwa pelarangan transshipment akan tetap diberlakukan. Hal itu diungkapkan Narmoko Prasmadji dalam kesempatan yang sama. Namun, pelarangan tersebut dinilai harus segera diperjelas karena bisa mengganggu aktivitas perikanan di Tanah Air.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando
Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Penilaian tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra. Menurut dia, saat ini pihaknya harus bisa bekerja sebaik mungkin setelah pelarangan transshipment diberlakukan oleh KKP sejak November 2014 lalu.

“Terjadi gejolak saat ini karena transshipment terlalu lama diberlakukan. Kita minta dari menteri (KKP) untuk segera dibuat juklak dan juknisnya. Karena, dengan cara demikian persoalan transshipment bisa diatasi,” ujar Dwi yang akrab disapa Black ini.

Sejak pemberlakuan pelarangan transshipment, Black mengakui kalau sebanyak 57 kapal angkut sudah diberhentikan operasionalnya sejak November 2014. Karena berhenti beroperasi, kru yang ada di kapal-kapal tersebut otomatis berhenti dan langsung dialihkan ke operasional kapal tangkap yang saat ini beroperasi.

“Padahal kalau ada kapal angkut yang beroperasi, kebutuhan kerja juga menjadi lebih nyaman di lautan. Karena, jika hanya mengandalkan kapal tangkap saja untuk operasional di lautan, biayanya terlalu tinggi,” tutur dia.

Untuk sekali jalan kapal tangkap saat ini, dijelaskan Black, dibutuhkan solar 250-300 liter. Padahal, dalam setiap pelayaran itu prosesnya sangat panjang dan bisa membutuhkan berkali-kali untuk mendapatkan spot mencari ikan yang bagus.

Produksi Menurun Tajam

Sementara itu, walau kebijakan moratorium kapal eks asing dan pelarangan transshipment dirasakan manfaatnya oleh nelayan kecil, namun tidak demikian dengan pengusaha perikanan yang ada di Bitung, Sulawesi Utara.

Menurut Ketua Asosiasi Kapal Perikanan Nasional Sulawesi Utara Rudi Waluko, hasil tangkapan ikan saat ini menurun antara 70 hingga 80 persen. Kondisi tersebut mulai dirasakan setelah transshipment mulai diberlakukan.

“Memang dirasakan sekali oleh kami di Bitung dan Sulut umumnya. Kita berharap ada perubahan aturan karena kalau seperti ini terus tangkapan ikan akan terus menyusut,” tutur Rudi.

Dia menjelaskan, di Sulut hasil tangkapan ikan masih didominasi oleh ikan cakalang dan sudah ada pabrik pengalengan ikan cakalang sejak lama yang jumlahnya ada 7 pabrik. Namun, sejak transshipment diberlakukan, pabrik-pabrik mulai kesulitan mendapatkan pasokan ikan dan itu terus berlangsung hingga sekarang.

“Ikan cakalang itu dalam sehari butuh 800 ton. Namun, dengan berkurangnya kapal angkut setelah transshipment diberlakukan, maka sekarang pasokan berkurang jadi hanya 300 ton saja,” tandas dia.

Ikan-ikan tersebut, kata Rudi, didapat dari laut Pasifik, laut Sulawesi, laut Maluku dan Pangkalan Bintung.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,