, ,

Opini : Mencermati Peran Multinational Corporation dalam Isu Lingkungan Hidup dan Demokrasi

 *Ari Mochamad, Penilik Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Setiap tanggal 5 Juni, umat manusia di seluruh dunia merayakan hari lingkungan hidup. Sejak awal dan perkembangannya, isu dan agenda lingkungan tidak dapat dilepaskan dari bingkai kepentingan dan konflik politik dan ekonomi. Oleh karenanya untuk memperjuangkan lingkungan yang lebih baik, kedua aspek tersebut harus menjadi landasan berpikir dalam merumuskan solusi yang berjangka panjang.

Tulisan yang saya sampaikan terbagi dalam 2 (dua) bagian. Kontektualisasi dengan kondisi saat ini, rasanya masih valid jika kita berbicara dan berdiskusi mengenai diskursus perjuangan dan ideologi lingkungan.

Karakteristik konflik dan sengketa lingkungan hidup umumnya menempatkan masyarakat yang tidak berdaya (powerless) dalam posisi sebagai masyarakat korban dari perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Pada tataran praktikal penyebab dari ketidakberdayaan adalah karena mereka tidak memiliki akses terhadap ekonomi, politik dan hukum. Sebaliknya pihak yang “dituduh” penyebab perusakan dan pencemaran lingkungan adalah  justru pihak yang memiliki semua akses tadi.

Adanya kepentingan berbeda dilatarbelakangi cara pandang yang berbeda  dalam memahami persoalan lingkungan. Robbins (1993) menyebut konflik sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya pihak lainnya.

Isu lingkungan hidup memiliki  keterkaitan dan implikasi kepada ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dalam satu  wilayah tertentu. Oleh karena itu faktor yang melandasi perbedaan cara pandang pemerintah dan masyarakat terhadap  konflik dan sengketa lingkungan hidup  selalu terkandung tiga aspek tadi. Isu ekonomi, sosial serta budaya lahir sebagai revitalisasi pengelolaan lingkungan hidup yang selama ini diasumsikan memisahkan lingkungan dengan aspek kepentingan masyarakat setempat.   Dengan demikian paradigma penyelesaian sengketa lingkungan hidup dibangun berdasarkan kepentingan ketiga aspek tersebut.

Sengketa dan Konflik Sumber Daya Alam

Konflik sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat kita kategorikan asal-muasalnya menjadi; a) konflik yang diakibatkan perebutan hasil sumberdaya alam, b) konflik yang diakibatkan perubahan fungsi kawasan, c) konflik akibat tertutupnya akses masyarakat terhadap kawasan sumber daya alam dan d) konflik akibat perusakan dan pencemaran lingkungan akibat kegiatan industri dan aktivitas manusia lainnya.

Konflik di kawasan hutan hanya salah satu contoh konflik yang timbul dalam lingkungan dan kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi hutan. Sebagian besar masyarakat mencari dan menggantungkan hidupnya pada hasil hutan. Bahkan hutan   berfungsi sebagai media kehidupan  sosial dan budaya serta memiliki nilai-nilai spiritualitas yang menempatkannya sebagai wilayah yang harus dijaga dan dihormati oleh generasi selanjutnya.

Adanya perubahan fungsi dan pemilikan yang menempatkan masyarakat hanya sebagai objek yang dapat menjadi ancaman keberadaan hutan itu sendiri oleh Negara melahirkan banyak  konflik dan pelanggaran hak asasi manusia. Ironisnya pelanggaran ini tidak saja dilakukan oleh negara sebagai pemangku kepentingan yang kehadirannya jauh sebelum masyarakat setempat menempati dan memiliki kawasan tersebut, namun juga melibatkan perusahaan asing khususnya (TNC/TransNasional Corporations) bahkan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan lainnya.

Seorang anggota Kelompok Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Nagari Kajai tengah memeluk salah satu pohon kayu yang ada dalam wilayah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubout
Seorang anggota Kelompok Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Nagari Kajai tengah memeluk salah satu pohon kayu yang ada dalam wilayah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang dikeluarkan oleh Bupati Pasaman Barat, Sumbar. Foto : Riko Coubout

Masyarakat adalah sekumpulan orang yang mendiami suatu tempat tertentu, yang terikat dalam suatu norma, nilai dan kebiasaan  yang disepakati bersama oleh kelompok yang bersangkutan.  Berdasarkan  pada  tipologinya,  masyarakat  desa  hutan  adalah  masyarakat  yang  mendiami wilayah  yang berada di sekitar atau di dalam hutan dan mata pencaharian/pekerjaan masyarakatnya tergantung pada interaksi terhadap hutan.

Perubahan fungsi dan pemilikan dapat terjadi karena mereka menjual lahannya kepada pembeli, atau terjadi perampasan lahan mereka karena tidak ada bukti pemilikan dan perubahan tersebut memiliki dampak sosial, ekonomi dan lingkungan kepada wilayahnya. Apabila kita kaji (berdasarkan asumsi tersebut), maka dapat disimpulkan  bahwa konflik-konflik itu bermuara pada: 1) Belum adanya ketentuan pelaksana dalam memberikan pengakuan  hak ulayat pada masyarakat adat dan lokal (setempat), walau undang-undang telah secara jelas mengakuinya, dan 2) kebijakan yang cenderung memihak kepada kepentingan pemodal.

Gambaran kecil diatas ini merupakan kasus konflik sumber daya alam di sektor kehutanan ini yang juga banyak dialami oleh khususnya negara-negara berkembang. Ironisnya gerakan konservasi lingkungan awalnya diletakkan sebagai upaya melindungi kawasan dan peruntukkan hutan sebagai bagian penyelamatan dan perlindungan bumi dari kerusakan yang terjadi akibat eksploitasi manusia namun dalam prakteknya seringkali meminggirkan masyarakat yang mendiaminya sejak lama.

Sejarah gerakan konservasi dan lingkungan sebagai elemen arus utama pembangunan oleh Ton Dierz (1996) dikelompokkan ke dalam; pertama, paradigma kebijakan yang menempatkan lingkungan dan sumber-sumber alam dengan objek eksploitasi (Ecodevelopmentalism). Kedua, kebijakan yang membuat isolasi tertentu terhadap suatu kawasan agar bebas dari intervensi manusia sama sekali (ecototalism atau ecofasism) dan ketiga, kebijakan yang menempatkan rakyat di sekitar suatu kawasan sumber daya sebagai subjek utama (eco-populism).

Namun demikian, bukti-yang disampaikan dalam  tulisan ini (yang terbagi dalam dua bagian) juga menunjukkan bahwa peran perusahaan (corporates)  dan lembaga keuangan Internasional memainkan peran sangat penting, terutama dalam membawakan agenda Neo liberalisme. Pada bagian 1 ini akan difoksukan pada tulisan yang dibuat oleh Nosheen Ali mengenai Development; Biodiversity Conservation and Pastoral Visions in the Nothern Areas, Pakistan dan analisis analisis dan ulasan  tambahan dari penulis  yang subjektif dan interpretatif dengan tetap mengacu pada isu yang menjadi fokus bahasan.

Penebangan liar di Suaka Margasatwa Dangku dampak masyarakat makin terdesak karena ruang hidup mereka sudah menjadi 'milik' perusahaan. Foto: Taufik Wijaya
Penebangan liar di Suaka Margasatwa Dangku dampak masyarakat makin terdesak karena ruang hidup mereka sudah menjadi ‘milik’ perusahaan. Foto: Taufik Wijaya

Dalam sebuah tulisan yang dibuat oleh Nosheen Ali yang menggambarkan kasus yang terjadi di kawasan utara Pakistan menjadi potret gambaran gerakan konservasi sebagai upaya untuk mewujudkan yang oleh  Ton Dierz disebutnya sebagai ecofasism. Dalam uraian yang cukup cermat, Nosheen Ali mengatakan bahwa gerakan konservasi ini merupakan bentuk ‘penebusan dosa’ dunia barat terhadap kerusakan yang dibuatnya dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan industrinya melalui mekanisme bantuan yang dianggapnya sebagai kepedulian negara barat.

Model atau bentuk yang bertahan hampir lebih 30 tahun ini dinilai menegasikan kehadiran dan peran masyarakat setempat (lokal). Sebaliknya mereka ditempatkan sebagai pihak yang akan mengancam keberadaan kawasan konservasi. Hampir 40%  kawasan utara Pakistan dikonversi ke dalam area  kawasan lindung, seperti menjadi taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa dan kawasan berburu oleh pemerintahnya. Dengan kata lain,  mereka menginginkan kekayaan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut menjadi museum hidup untuk kehidupan margasatwa.

Gesekan mulai muncul saat masyarakat setempat (pastorals) merasakan adanya persoalan dalam konsep/gagasan proyek konservasi yang mengancam nilai dan hak masyarakat setempat. Gagasan proyek ini mereka nilai hanya hanya mengedepankan ‘ecological sovereignty’ daripada  ‘community participation’. Tentu bagi masyarakat, kondisi ini menimbulkan  pertentangan  khususnya terhadap praktek konservasi yang telah mereka yakini dan berjalan dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat meyakini memiliki nilai sendiri dalam memandang dan memperlakukan kawasan hutan. Keyakinan dan perlakukan yang ada bahkan dinilai melebihi batas-batas kepentingan material semata. Oleh karenanya justru mereka mempertanyakan  kembali argumentasi yang dipakai oleh pemerintah dan lembaga-lembaga internasional yang mendukung penetapan kawasan ini. Bagi masyarakat, nilai-nilai yang ada dan dipelihara merupakan kristalisasi dari perlakuan hormat (respect) mereka terhadap alam dan lingkungannya.

Bagi masyarakat, nilai yang paling tepat dalam menyokong kegiatan konservasi kawasan tersebut adalah nilai yang selama ini mereka praktekkan. Sebaliknya mereka meragukan nilai kegiatan konservasi keanekaragaman hayati yang menjadi landasan ditetapkannya kawasan-kawasan ini oleh pemerintah setempat. Nilai apa yang yang paling tepat untuk menjadi penyokong (yang dicita-citakan) dari kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di kawasan utara tersebut serta bagaimana dan mengapa masyarakat lokal di kawasan tersebut mengkritik dan menentang praktek konservasi global tersebut dilemparkan oleh penulis sebagai ‘tantangan’ bagi para pihak yang selama ini mengklaim mengetahui apa yang seharusnya masyarakat lakukan.

Masyarakat justru menilai bahwa penetapan kawasan ini berakibat tanah dan mata pencaharian masyarakat menjadi terancam hilang. Ketegasan mereka dalam menentang ide penetapan kawasan sangat mereka pahami dan sadari karena bagi mereka alam telah menjadi bagian dari hubungan sosial masyarakat  dan tidak dapat dilindungi tanpa pengakuan terhadap nilai, hak dan kepemilikan adat/masyarakat asli. Penegasan ini sekaligus untuk menjawab pandangan dan asumsi bahwa praktek yang dijalankan masyarakat menjadi sumber ancaman terhadap alam.

Hutan Kalimantan akibat ekspansi kelapa sawit. Foto: Greenpeace
Hutan Kalimantan akibat ekspansi kelapa sawit. Foto: Greenpeace

Justru gambaran sebaliknya menunjukkan bahwa atas nama pengelolaan sebuah kawasan konservasi dalam prakteknya ditempatkan atau ‘diperkenalkan’ sebagai aset untuk mendatangkan devisa/uang dengan meletakkannya menjadi ‘barang dagangan’ untuk para wisatawan (terutama dari negara-negara Barat). Sehingga Nosheen Ali berpendapat bahwa walau proyek-poyek itu atas nama Pembangunan Berkelanjutan (framed as initiative for sustainable development), namun justru memperkuat kekuasaan negara dan pemodal. Dalam sebuah tulisannya, Cronon (1995) melihat fenomena ini menunjukkan bahwa alam dilihat hanya sebagai keaslian (kemurnian) dari hutan belantara (yang terpisahkan dari manusia) daripada melihatnya sebagai a lived social landscape.

Bahkan Nosheen Ali balik menuding barat dengan mengatakan bahwa  terjadinya ‘social alienation’ dan ‘environmental degradation’ adalah hasil proses dari pembangunan negara maju/barat (kapitalis) itu sendiri. Sehingga perhatian  mereka terhadap isu perlindungan lingkungan, khususnya konservasi kawasan hutan merupakan pemikiran dan gagasan untuk mengembalikan romantisme mereka dengan mengatakan bahwa ’alam’ harus dilindungi, khususnya dari aktifitas kapital (pembangunan ekonomi).

Sejak konsepsi ini dikembangkan, maka sejak itu hegemoni relasi  alam dengan masyarakat telah mengalami perubahan yang signifikan dibawah  kondisi saat itu yang kental dengan neo liberal capitalism yang artinya  perubahan peran alam dari faktor produksi menjadi komoditas yang menguntungkan dibeli dan dijual sesuai keuntungannya (O’Connor, 1994). Konsekuensi dari konsep diatas, maka dunia selatan, khususnya masyarakat adat (pribumi) cenderung untuk kehilangan hak dan nilai-nilai utama mereka. Nilai-nilai neo liberal ini telah melanggar batas-batas dan hak milik mereka dan bahkan menjadi  dominan dalam rentang waktu lebih dari 30 tahun terakhir sejak dimulai tahun 1970-an

Memang dimulainya konflik ini pada tahun 1970-an saat pemerintah lokal mereka menetapkan kawasan lindung  yang dipisahkan dari masyarakatnya (baik yang ada dalam kawasan konservasi maupun masyarakat pedesaan) yang berlanjut pada era 1990-an, walau wacana tentang konservasi keanekaragaman hayati mengalami perubahan dengan cara atau pola pengelolaan sebelumnya. Hal ini terpengaruh dengan dilaksanakannya Konferensi Dunia tentang Taman Nasional dan Konservasi Lindung (World Conference on National Park and Protected Area/WCNPPA) dan Earth Summit pada tahun 1992. Pada saat itu pengelolaan bercirikan antara konservasi dengan ide/gagasan dari konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sejalan dengan kecenderungan politik pembangunan saat itu yang mulai memikirkan lingkungan hidup dan konservasi serta perlindungan terhadap ekosistem bumi, kemudian diterjemahkan oleh kelompok lembaga swadaya masyarakat dan lembaga bantuan internasional lainnya seperti Conservation International (CI), World Wild Fund (WWF) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) untuk merancang bagaimana target  target dari konservasi dapat dicapai dengan menggabungkan antara partisipasi masyarakat dengan benefit sharing atau pembagian keuntungan khususnya terhadap masyarakat lokal dan adat .

Pemakaian kawasan lindung untuk mempromosikan bisnis/usaha pariwisata, trophy hunting dan bioprospecting yang akan menjadikan alam sebagai dagangan untuk melayani konsumen negara barat tetapi juga membagi keuntungan terhadap masyarakat lokal (Breunig, 2006). Namun pendekatan ini masih diragukan kesungguhannya dalam konteks konservasi sesungguhnya. Banyak orang masih berpikir bahwa mereka  menyelamatkan alam dalam kerangka ‘menjualnya’ untuk kepentingan pengelola yang notabene adalah perusahaan yang menjalankan roda bisnis untuk meraup keuntungan besar. Tercatat bahwa  antara tahun 1986 sampai 1996 terdapat 60% pertambahan jumlah kawasan lindung di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin.

Mengkoreksi Konsepsi Konservasi Konvensional

Melihat kecenderungan pendekatan konservasi yang konvensional  kemudian memunculkan gagasan untuk mengoreksi pendekatan atau strategi konservasi. Adanya gagasan ini setidaknya memberikan positioning sangat jelas bahwa konservasi secara konsep sangat dipahami dan didukung oleh masyarakat sebagai modal keberlanjutan ekonomi mereka.

Gagasan yang ditawarkan adalah bahwa pengertian atau definisi dari ‘nature and conservation’ yang sesuai dengan praktek gerakan lingkungan hidup global harus dapat mencerminkan kepentingan dan karakteristik setiap nilai-nilai yang berkembang pada lokal atau negara atau wilayah. Dan pemahaman pengetahuan yang diterima secara global harus mencerminkan pula keahlian yang berasal dari pengetahuan lokal/asli dan merancang ulang konsepsi pembangunan yang ideal yang diterima secara global.

Masyarakat sekitar perkebunan sawit yang dirugikan akibat hilangnya fungsi ekologis hutan. Foto: Aji Wihardandi
Masyarakat sekitar perkebunan sawit yang dirugikan akibat hilangnya fungsi ekologis hutan. Foto: Aji Wihardandi

Di sisi lain, istilah definisi partisipasi masyarakat yang telah menjadi komitmen dan keputusan yang diterima dalam Earth Summit sebagai sebuah pendekatan yang mutlak dilakukan dalam setiap pembuatan kebijakan  sepatutnya dilaksanakan dengan kesungguhan dengan tidak  memanipulasi masyarakat sebagai pelengkap saja untuk menjustifikasi sebuah proyek.

Terkait dengan kasus ini langkah yang dilakukan adalah mempromosikan kepemilikan tanah beserta ekologinya kepada masyarakat pribumi atau adat (Jean Franco menyebutnya dengan ‘Struggle for Interpretative Power (1999)). Pratt (1999) dan Cornwall, Harison and Whitehead (2007) menyebutnya sebagai keterlibatan masyarakat- yang termarginalkan- dalam upaya melepaskan  upaya  diri dari paradigma (cara berpikir) yang mendominasi.

Menghadirkan strategi dan posisi mereka sendiri dalam hubungannya dengan konservasi dalam memperjuangkan suara dan nilai dan cara hidup sederhana mereka. Dengan demikian keberlanjutan dari the Natural World dan equitable access diposisikan sebagai capaian yang ideal.

Hal mendesak lainnya adalah bahwa ‘bahasa’ yang terdapat dalam konservasi lingkungan harus diarahkan secara kuat  untuk menggantikan  secara kuat konsumerisme –yang merusak tatanan sosial dan ekologi– . dengan demikian ke depannya Etika Lingkungan harus melekat pada setiap kegiatan/praktek konservasi (menggantikan ideologi pasar bebas).

Namun di sisi lain mendorong keterlibatan  masyarakat secara baik, tepat dan benar (genuine participation) dan memberikan alternatif sumber pendapatan ekonomi mereka. William Friedmann menyebutkan bahwa budaya hukum (law culture) masyarakat menjadi faktor penting terhadap perubahan kebijakan.  Demikian pula halnya dengan  Willian N. Dunn yang mempercayai bahwa masyarakat sebagai bagian dari pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus yang mempunyai andil di dalam mengaruhi suatu kebijakan (Public Policy Analysis: An Introduction Second Edition).

Demikian pentingnya keterlibatan publik dalam pembuatan dan perumusan kebijakan menyebabkan isu keterlibatan masyarakat menjadi isu penting dalam penerapan prinsip-prinsip negara demokratis. Terakhir, alternatif sumber kehidupan harus decara ideal dikaitkan dengan program dan implementasi dari kawasan karena pada dasarnya mereka atau masyarakat menyadari bahwa konservasi dapat menjadi sumber pembangunan/ekonomi mereka.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,