Lubang-lubang tambang dari bebatuan karst (batu gamping) bertebaran. Tampak beberapa alat berat backhoe mengeruk bebatuan gamping. Truk-truk besar berlalu lalang membawa galian. Debu berterbangan. Asap mengepul dari cerobong asap pabrik. Begitulah aktivitas PT. Semen Gresik di Tuban, Jawa Timur.
Serupa di Rembang, Jawa Tengah. Bukit-bukit karst terkikis untuk pertambangan. Di sekitar tambang, warga tetap bertani. Terkadang mereka kaget bunyi ledakan besar dari tambang. “Setiap hari selalu ada ledakan dari pertambangan,” kata Suwater, warga Tegaldowo, Rembang.
Berbagai persoalan muncul dampak pertambangan di Pulau Jawa, baik sosial dan lingkungan. Bahkan, lebih dari itu, banyak perusahaan tidak membayar pajak. Tak pelak, kawasan ini menjadi salah satu perhatian KPK.
Bulan lalu, di Semarang, Jateng, KPK melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-SDA) berkoordinasi dan supervisi (korsup) serta monitoring dan evaluasi sektor pertambangan dan minerba di Jawa.
Johan Budi, Plt Pimpinan KPK mengatakan, pengelolaan pertambangan, mineral dan batubara sudah seharusnya memberikan nilai tambah nyata pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah. Hasil kajian KPK sejak 2011, ada sejumlah permasalahan dalam implementasi UU Minerba. “Belum optimal penerimaan negara dan permasalahan penataan izin usaha pertambangan,” katanya.
Menurut dia, pengembangan sistem data informasi minerba dan renegosiasi kontrak karya juga menjadi masalah. Dalam pengelolaan pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah tidak terkoordinasi baik. Setiap izin masuk, katanya, tidak ada pelaporan.
Berdasarkan data KPK, di Jateng dari 275 izin usaha pertambangan (IUP), 132 IUP non clear and clear (NCNC), Yogyakarta dari 16 IUP terdapat 15 IUP yang NCNC, Jawa Barat 619 IUP sebanyak 290 NCNC dan Jawa Timur, 337 IUP tercatat 150 NCNC. “Piutang negara di Jateng, Yogyakarta, Jabar dan Jatim Rp14 miliar berdasarkan data Dirjen Minerba 2011-2013.”
Bambang Gatot, Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan, per Mei 2015, sebelum korsup IUP pertambangan minerba 6.041 clean and clear (CNC) dan 4.877 NCNC dari total 10.918 IUP. Sesudah korsup dari 10.428 IUP, 6.149 CNC dan 4.279 NCNC.
“Dari 4.877 NCNC sedang proses yang diserahkan ke provinsi. Dari 1.601 izin batubara hanya 356 IUP direkomendasi dan 3.276 IUP mineral, baru 776 IUP proses direkomendasi.”
Berdasarkan data Dirjen Minerba per 15 Mei 2015, dari 1.254 IUP di Jateng, Jatim, Yogyakarta dan Jabar status CNC 676 dan NCNC 578 izin. Sedangkan rekapitulasi piutang negara pemegang IUP di Jawa per 8 Mei 2015 sebesar Rp16,6 miliar. Dari semua IUP, sejak konsup, hanya di Jabar, perusahaan sudah memiliki jaminan reklamasi dan pasca tambang.
Menurut Bambang, tantangan Kementerian ESDM, bagaimana koordinasi pusat dan daerah hingga provinsi membentuk pelayanan mudah dan aman dalam penerbitan IUP. Terkait peningkatan kualitas pelayanan publik, pembayaran PNBP upayakan online. Untuk eks IUP NCNC yang dicabut, katanya, akan menjadi wilayah pencadangan negara atau wilayah usaha pertambangan
Izin tambang di hutan lindung dan konservasi
Halik Sandera dari Walhi Yogyakarta, mewakili Koalisi Anti Mafia Tambang kepada Mongabay mengatakan, puluhan ribu hektar hutan lindung dan konservasi di Jabar, Jateng, Yogyakarta dan Jatim terbebani izin pertambangan. Data Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan (2014) menyebutkan, terdapat 33.645,66 hektar wilayah pertambangan masuk kawasan hutan lindung dengan izin 58 IUP. Pada empat provinsi ini ada 3.275,81 hektar pertambangan masuk hutan konservasi.
“Jabar terbesar dibebani izin pertambangan, 17.711 hektar di hutan lindung dan 3.215 hektar hutan konservasi,” katanya.
Penggunaan hutan konservasi non kehutanan jelas melanggar UU Kehutanan dan UU Konservasi Sumberdaya Hayati. Penggunaan hutan lindung hanya boleh dalam pertambangan bawah tanah, yang hingga kini tidak ada satupun pemegang izin sanggup melaksanakan praktik ini. Jadi, pemberian izin di hutan lindung dan konservasi jelas melanggar aturan. “Perlu penegakan hukum pada pemegang izin usaha.”
Data Dirjen Minerba pada Desember 2014 memperlihatkan, 47% IUP di keempat provinsi NCNC. Untuk IUP NCNC, Jateng 48%, Jabar (48%) dan Jatim (45%). Parah di Yogyakarta, dari 16 IUP, hanya satu yang CNC. Data ini, katanya, menujukkan banyak pelanggaran oleh pemegang IUP dalam menjalankan usaha pertambangan.
Pemerintah, katanya, baik daerah dan pusat masih lemah dalam memberikan sanksi hukum kepada pemegang IUP nakal.
Mengenai kewajiban jaminan reklamasi dan pasca tambang dari pemegang, katanya, keempat provinsi itu tercatat dari 1.247 IUP hanya 57 IUP memenuhi kewajiban reklamasi dan 15 IUP memiliki dokumen paska tambang. Di Jatim, 98% dan Jabar 97% yang tak memenuhi kewajiban.
“Tidak ada data di provinsi dan minimnya IUP memenuhi kewajiban reklamasi dan pasca tambang menunjukkan komitmen pengawasan pemerintah daerah dan pusat sangat rendah.”
Halik mengatakan, mereka mencatat, potensi kerugian penerimaan negara dari sewa lahan mencapat Rp8,4 miliar. Perhitungan ini, katanya, mengacu aturan tarif dan jenis penerimaan bukan pajak diperoleh selisih signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasi. Hasil perhitungan koalisi menunjukkan, sejak 2010-2013, diperkirakan kerugian penerimaan Rp6,44 miliar di Jabar, Jateng Rp1,59 miliar dan Yogyakarta Rp594,47 juta.
Untuk itu, koalisi merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan pertambangan pada kawasan konservasi dan hutan lindung serta mendesak KPK menyelidiki korupsi dalam pemberian izin ini. “Juga perlu moratorium dan mereview seluruh izin pertambangan yang diterbitkan.”
Aparat penegak hukum, kata Halik, harus memperbanyak penyelesaian kasus kejahatan dan pelanggaran HAM sektor minerba dan memperbaiki pengelolan PNBP hingga makin banyak uang negara diselamatkan.
Koalisi juga meminta korsup KPK dan pemerintah harus mengakomodir aspek keselamatan warga dan lingkungan hidup dalam penetiban, penataan izin dan penegakan hukum. Pemerintah, katanya, harus memperjelas status wilayah pertambangan pasca pencabutan IUP. “Hingga dipastikan mekanisme transparan dan dilakukan rehabilitasi.”